The Last Princess (2016) Movie Review - LEMONVIE

The Last Princess (2016) Movie Review

, , 2 comments


Korea Selatan terkenal dengan soap opera drama yang cukup mendunia terutama di Indonesia. Dimulai dari kisah asmara sepasang kekasih dari benci hingga cinta, sampai yang hits bertajuk drama perang yang terdengung sebagai drama televisi termahal di Korea Selatan. The Last Princess pun lewat sinema besar mencoba peruntungan lebih dari sekedar tetek bengek film asmara maupun drama keluarga yang membumi. Bertemakan sejarah kolonialisme Jepang dan merupakan adaptasi novel karya Bi-Young Kwon berjudul "Princess Deok-hye", Hur Jin-ho meletakkan kesempatan terbaiknya mentengahkan kisah nyata perjuangan besar wanita dalam sejarah yang hampir dilupakan oleh negaranya sendiri berjudul The Last of Princess (Deokhyeongju).

Bercerita di tahun 1912 Princess Deok-hye (Son Ye-jin) adalah pewaris kerajaan terakhir Joseoung (Korea). Semenjak ayahnya King Gojong (Baek Yoon-Sik) meninggal Deok-hye bersama ibunya terpaksa bertahan hidup dibawah kekuasaan Jepang. Saat beranjak usia 13 tahun Doek-hye dipaksa dikirim ke Jepang, ditemani handmaiden bernama Bok-soon (Ra Mi-ran). Bertolak belakang dengan keinginan hatinya sendiri, Deok-hye harus rela meninggalkan negara kelahirannya dan dijadikan sebagai alat kepentingan politik di negara Jepang. Suatu ketika Kim Jang-han (Park Hae-il) yang memiliki hubungan dengan Deok-hye sejak kecil muncul di Jepang, menyamar sebagai tentara. Jang-han membawa misi untuk “menyelundupkan” Deok-hye dan membawanya kembali ke Joseon.

Sebetulnya saya tidak begitu peduli bagaimana cara sebuah film digulirkan, meski teknik dan penceritaan Jin-ho lebih mirip soap opera ketimbang konsep yang diperkaya secara lebih tegas dan mulia. Tapi sayangnya The Last Princess jauh mementingkan aspek melodramatik ketimbang struggle yang menjadi kekuatan utamanya, yang justru overdramatic yang tidak efektif. Sedikit-sedikit Jin-ho menghasilkan air mata yang tumpah terlalu banyak dan tidak tepat sasaran. Dan ini ditemukan sepenuhnya dalam film, seolah metode ini dipergunakan sebagai amunisi utama Jin-ho untuk menghabiskan satu kotak tisu penontonnya, melalui serentet penderitaan yang dialami tokoh utamanya. Dan ini di "amin"kan oleh sang sutradara sekaligus penulis naskah yang keroyokan antara Hur Jin-ho, Lee Han-eol, dan Seo You-min, makin banyak penderitaan maka film yang dihasilkan lebih baik.


Tapi, beberapa scene saya menjumpai heroism dan keberanian dari tokoh utamanya, meski awalnya Jin-ho dibentuk melalui tokoh egosentris, naif dan distressing. Perangkatnya dikembangkan melalui yel-yel serta pidato menyentuh Jin-ho ditengah rakyat Korea yang ditindas dan dipekerja paksakan oleh Jepang. Tapi, setelah itu semangatnya kembali pudar dan akhirnya kembali diseret melalui tugas Deok-hye untuk berjuang kembali ke kampung halamannya yang selama ini ia rindukan. Beriringan kesedihan dan air mata terus-menerus menjadi pesan yang disampaikan oleh Jin-ho, hingga akhirnya air mata menjadi hal yang saya sepelekan. Apalagi penindasan ini dilakukan oleh antagonis yang buat saya terlalu dilebih-lebihkan kemunculannya, Yoon Je-Moon sebagai karakter bengis dengan tatapan jahatnya sebagai Han Taek-Soo.

Dan inipun diperburuk melalui kemampuan penyutradaraan Jin-ho yang terasa compang-camping. barisan cerita terasa tumpang tindih disetiap adegan, apalagi berharap film ini mampu membagi kisah antara dua alur cerita antara Kim Jang-Han sewaktu tua di tahun 1961 dengan kisah Deok-hye di tahun 1961, sayang diantara keduanya tidak saling menyeimbangkan, setiap film ini mencoba berkilas-balik hasilnya menjadi tidak rapih dan hasilnya sedikit berantakan.


Tapi, Jin-ho punya beberapa kelebihan untuk menutupi kekurangannya meliputi segi teknis dan art decoration-nya hampir menyamai "The Handmaiden". Juga pemilihan busana yang vintage tanpa membuatnya lebih kuno dan jauh lebih mencerminkan pesona yang lebih modern. Dan untuk segi aktingnya sendiri seperti Son Ye-jin meski terlalu banyak aura pesimistis dan kesedihan tapi saya sedikit suka aktingnya yang solid terutama dibagian akhir cerita saat digambarkan melalui realitanya di masa depan yang kelam selain aktingnya di A Moment to Remember. Dan juga Park Hae-il dalam perjuangannya menyelamatkan kekasih hatinya, meski film ini tidak didukung dengan cerita yang lebih romantis dan jauh lebih banyak mengandung aksi pun cukup mendukung chemistry antara keduanya.

Well, setidaknya film ini cukup punya ambisi menjadi film yang mencoba menjadi sebuah blockbuster Asia, meski realitanya film ini adalah segumpal biografi yang tercermin melalui penderitaan, air mata, hingga berujung pada kegilaan dan keputusasaan. Meski menyempit melalui persentasi yang kurang tepat dalam membentuk emosi dan empati. Saya kira film ini sedikit banyak menggambarkan realita yang ada antara tragedi eksploitasi wanita dan hak asasi manusia di Korea Selatan, semuanya cukup relevan tersaji melalui haluan kerja keras penyutradaraan Jin-ho meski dirasa dengan segala pernak-pernik melodramatisasi cerita film ini tampak klise dan sedikit berlebihan.



| Director |
Hur Jin-ho
| Writer |
Hur Jin-ho, Lee Han-eol, Seo You-min
| Cast |
Son Ye-jin, Ra Mi-ran, Park Hae-il, Yoon Je-Moon, Jeong Sang-hun
| Rating |
Not Rated
| Runtime |
127 minutes (2h 7min)



OFFICIAL RATING | THE LAST PRINCESS (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes

2 comments:

  1. Korea emang keren-keren dramanya, saya juga suka banget.. tapi sampai sekarang baru nonton sekitar 25 film drama, dan ada juga yg drama action...

    ReplyDelete
    Replies
    1. terutama thriller & mystery... kebanyakan endingnya dibuat nyesek.

      Delete