LEMONVIE: Adventure
Showing posts with label Adventure. Show all posts
Showing posts with label Adventure. Show all posts


Tepat 1 dekade setelah Marvel menerobos kesuksesan melalui MCU (Marvel Cinematic Universe) dengan mampu memboyong fanatisme masif dunia. Tentu saja ini bukan sekedar euforia semata, melainkan impian nyata dari segenap penonton yang dulu mungkin berangan-angan adanya crossover, termasuk saya ketika dulu masih berseragam abu-abu membayangkan akan adanya pertemuan antara Superman, Wonder Woman dan Batman dalam satu tim. Kesuksesan ini pun dibayar lunas ketika genap 10 Tahun Marvel terus-menerus membuktikan ketajaman mereka merangkul setiap film tanpa ada yang collapse. Dan puncaknya pasca Avengers: Infinity War, saya penasaran apa yang akan coba Marvel tawarkan, mengingat masih ada dua film lagi yaitu "Ant-Man and the Wasp" dan "Captain Marvel" sebelum nantinya kulminasi Avengers ke-4 tiba. Mengingat Avengers: Infinity War sendiri, saya seperti sedang menyaksikan major war atau klimaks cerita yang melibatkan antar-galaksi, ras alien dan dewa-dewa mitologi yang lebih melar. Dan ketika semuanya terjadi, kita pun bertanya apa / kemana peran Ant-Man dan setiap karakternya pada saat itu absent?

Dr. Hank Pym (Michael Douglas) dan anaknya Hope Van Dyne (Evangeline Lilly) mendapatkan misi baru untuk mencari Janet Van Dyne (Michelle Pfeiffer) istri Pym yang diduga masih hidup terjebak di Quantum Realm. Tentu saja pencarian mereka tidaklah mudah, pertama, mereka sedang diburu oleh FBI menyangkut konflik pasca film Captain America: Civil War. Kedua, musuh baru yang mampu menembus partikel padat, Ava aka Ghost (Hannah John-Kamen) yang mencoba mencuri teknologi milik Pym. Sedangkan sang tokoh utama, Scott Lang aka Ant-Man (Paul Rudd) pun sedang menjalani tahanan rumah, sehingga ia juga sedang terjebak dan mengalami hambatan untuk turut membantu misi mendesak tersebut.

 

Masih dengan sutradara yang sama, Peyton Reed beserta tim penulis naskah Chris McKenna, Erik Sommers, Paul Rudd, Andrew Barrer dan Gabriel Ferrari. Ant-Man and The Wasp memiliki warna yang hampir sama dengan film sebelumnya, ringan dan ceria dengan segala komedi pengobat lara di tiap menitnya. Hadir dalam sentuhan cerita soal keluarga juga tetek bengek menyoal new hi-tech hingga pengenalan lebih dalam dunia quantum realm yang pernah dimasuki Scott saat menyusut ke ukuran subatom. Eksplorasi dunia dilakukan oleh Marvel dari skala terkecil sampai skala terbesar semakin menembus dimensi yang tak terjamah akal dan kemampuan manusia, seperti ketakjuban kita tentang alam semesta dunia MCU di film Doctor Strange.

Film yang tampak sederhana ini mungkin di isi dengan dialog-dialog yang terdengar saintifik dengan istilah yang mungkin terdengar asing seperti subatom, quantum realm dsb. Tapi, filmnya tidak tampil begitu nge-jelimet dan memusingkan semacam "Interstellar" karya Christopher Nolan, tersirat pula dari wajah bengong dan ketidakpahaman Scott yang kerap kali terjebak dengan ocehan para jenius karakter membicarakan yang kadang kitapun hampir tidak paham. Komedi masih tetap mengguncang tawa, entah dalam keadaan normal atau keadaan kritis dan serius, bahkan sesekali mengandalkan kostum Ant-Man hingga repetisi lelucon ikonik Luis (Michael Peña) yang tetap banyol. Saya pun suka akan daya tarik baru tentang abstraksi visual, sajian porsi small-big swap events kostum Ant-Man yang tidak saja keren tapi dibuat lucu, debut The Wasp aka Hope dengan gaya rambut baru casual-nya, bersamaan kokohnya chemistry antara Scott aka Ant-Man dengan keterlibatannya dalam aksi yang lebih intens. Plus, Michelle Pfeiffer, pesona artis senior berusia 60 tahun yang tak kalah enchanting dan youthful, membuat saya terpikat untuk melihat lebih dinamika aksinya di film ini.


Selain itu, hadir pula Ava aka Ghost sebagai villain kedua wanita setelah Hela. Mungkin banyak yang mengecap buruk perihal karakter dan motifnya yang sentimentil, apalagi para pemuja Thanos, si big boss karismatik kerap dijadikan pembanding yang tak seimbang. Pemilihan tokoh yang kadangkala terbesit soal ability-nya melawan hukum fisika dan logika, namun saya mengamini Marvel membuatnya tanpa obsesi semata, melainkan masih mempergunakan efektifitas dan mencoba memainkan sisi kemanusiaan dan sentimen kehidupan tanpa memandang hitam-putih karakternya. Ada pula Dr. Bill Foster (Laurence Fishburne) rekan lama Hank Pym yang terlihat tak akur, dan selalu menganggap Hank Pym adalah rekan yang keras kepala dan egois. Trio Luis (Pena), Kurt (David Dastmalchian) dan Dave (T.I.) masih tetap tim yang tak ketinggalan untuk menambah adegan aksi dan humor menggelitik disetiap tempat. Dan tak lupa lupa keluarga Scott yang selalu tampak begitu erat dan harmonis, terutama little chemist dengan anaknya Cassie (Abby Ryder Fortson) yang semakin menggemaskan memadu kedekatan dengan ayah yang dicintainya.

Mencoba menetapkan genre family sebagai suntikan varian barunya, Ant-Man and The Wasp adalah wadah paling cocok untuk memperlihatkan secara subtil bahwa Marvel adalah studio yang tahu caranya menawarkan sesuatu tanpa terpengaruh euforia. Meski sekuel Ant-Man tidak terlalu istimewa, tapi sama seperti Thor: Ragnarok, cenderung memiliki cerita progresif dan terbuka, lelucon-lelucon segar, dan koloborasi kuat dua protagonisnya, hingga sentuhan manis soal keluarga begitu kental mengisi ruang-ruang cerita, meski kerap ada pula memandang sinis akan kebiasaan Marvel tentang konsep filmnya yang masih kurang berani dan kurang dark. Tapi, buat saya MCU sudah terkonsep dengan brilliant, cerdas dan berani, sehingga bukan mustahil jika MCU akan tetap mampu bersinar untuk 1 dekade lagi, jika mereka mau.







Mengadaptasi sebuah game kedalam film memang bukan perkara gampang. Berulang kali menciptakan film yang sesukses atau setidaknya mendekati keberhasilan versi game-nya nyatanya tidak sebaik yang diharapkan, bahkan gagal meski mencoba berupaya tetap konsisten menyuntikkan berbagai hal ikonik dan otentik dari set piece background cerita, desain karakter, hingga stunning aksi yang hampir menyerupai standard game aslinya, seperti Assassin Creed dan Warcraft. Upaya menjaga orisinalitas agar tetap dapat dinikmati para fans bahkan memperkenalkan kepada non-gamers sekalipun ternyata tetap tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, bahkan untuk big franchise bernama Tomb Raider ini hanya sekedar daur ulang materi dalam game dengan segala cerita dan aksi yang sangat minim dan tidak sebombastis yang dibayangkan.

Karena saya sudah pernah menikmati game Tomb Raider dan Rise of the Tomb Raider hingga tamat. Mungkin lebih afdol jika saya sedikit membandingkan antara versi game (yang juga reboot) dengan versi live action-nya, jadi saya tidak akan mencoba membandingkan dengan versi milik Angelina Jolie, karena diantara versi Alicia Vikander yang berperan sebagai new Lara Croft ini dibangun dengan image yang berbeda. Setelah 17 tahun berselang new Tomb Raider ini memaksa kita mengenal lebih awal Lara Croft yang sungguh masih sangat hijau dan minim pengalaman. Sebagaimana Lara yang kita kenal pun masih bekerja sebagai kurir, bahkan Lara samasekali tidak memiliki kematangan sebagai petualang, sebagaimana hal ini baru ia dapat ketika ia mencoba mencari ayahnya Richard Croft (Dominic West) yang hilang selama 7 Tahun disebuah pulau misterius bernama Yamatai. Sebuah pulau yang menyimpan misteri legenda makam kuno Jepang, sang ratu Himiko yang konon dikenal sebagai cenayang yang memiliki kekuatan sihir yang besar. Dan Lara harus terseret kedalam bahaya tersebut.


Saya sebenarnya tidak begitu peduli dengan berbagai komentar sinis tentang pemilihan Alicia Vikander sebagai Lara. Sedangkan yang lain membandingkannya dengan Angelina Jolie yang memang tampak lebih sensual. Hei! ini bukan film semi-porn yang hanya menjual sensualitas belaka, kenyataannya ini adalah film garapan serius yang menampilkan adegan aksi penuh kekerasan, bukan film yang sedikit-sedikit mencoba mengumbar payudara dan bokong besar, jadi karena saya tidak begitu sentimen dengan fan service yang terlampau sexist, saya sebagai penikmat franchise ini pun menganggap Alicia memiliki cukup eyecandy yang memikat dengan caranya sendiri meski tampil penuh lumpur, luka dan darah disekujur tubuhnya. Ya, menarik tidak selalu tentang fisik bukan?

Sebagaimana franchise besar, dibawah naungan sang pemilik lisensi game, Square Enix dan sutradara Roar Uthaug. Keinginan untuk memberikan pengalaman sinematis intens sebagaimana keseruan dalam game didapat pula dalam LA-nya ternyata tampil begitu corny. Semua maksimalitas di hampir setiap adegan ikonik dan familiar dipastikan diketahui oleh fans (bagi yang pernah memainkan game-nya) hanya sekedar mengenalkan semua itu kepada khalayak awam yang baru mengenal Tomb Raider reboot, tanpa sedikitpun berpengaruh pada apakah semua itu bisa lebih seru dan menegangkan seperti dalam game? Mencoba lebih tegang dari sejak pertemuannya dengan Lu Ren (Daniel Wu) hingga bertemu dengan sindikat organisasi besar yaitu Trinity yang dipimpin oleh psikopat berdarah panas Mathias Vogel (Walton Goggins), potensi untuk meraih ketegangan itu memang terasa namun gagal mengikat hingga akhir, sebagai satu-satunya perempuan yang bertualang atau lebih dari sekedar life survival movie seorang diri ditengah dominasi kaum pria memang terasa menakjubkan melihat Lara seorang yang cerdik, berani dan tangguh. Tapi sayang, melemparkan rantaian adegan stunning action di dalam hutan hingga makam kuno, ternyata hanyalah terapi visual penuh kebetulan dan terlampau dipaksa, dimana nyawa Lara yang tampak berkali-kali seharusnya meregang nyawa tapi bak kucing 9 nyawa hanya karena hal-hal diluar dugaan dirinya terselamatkan begitu saja, seolah hidup berpihak padanya.


Tapi, hal tersebut sebenarnya masih bisa saya maklumi, karena masalah terbesar dari film ini adalah plot yang terlampau sederhana. Dramatisasi hubungan ayah-anak antara Lara dan Richard mungkin cukup emosional mengundang empati, namun karena ini adalah kisah Lara Croft yang terkenal mengandung teka-teki dan kunci arkeologis bak film Indiana Jones atau Treasure Hunter, hampir sepanjang film samasekali tidak menantang penonton ikut tertarik dan penasaran dengan plot yang sungguh predictable selain otot Lara yang justru jauh lebih memikat ketimbang puzzle itu sendiri. Semua pecahan puzzle yang dituntaskan hanya sekedar puzzle biasa tanpa membuat penonton ikut memutar otak, semua puzzle diselesaikan tanpa ada hal menarik didalamnya, seperti anak kecil yang mencoba membuka toples selai dan mengambil isinya tanpa harus bersusah payah membukanya, semua sudah diberi clue dan semua sudah diberi petunjuk, dengan sedikit akal dan otot Lara bisa melakukan semuanya begitu mudah. Cerita Tomb Raider hanya soal petualangan linear yang teramat biasa dan kerap kali terasa membosankan.




🙶Hulk like raging fire. Thor like smouldering fire.🙷

Bagaimana jika sutradara indie macam Taika Waititi diberi proyek besar untuk menangani film blockbuster macam Thor: Ragnarok. Menyuntikkan unsur cerita, petualangan dan komedi macam "Hunt for the Wilder People" terus membuat semua petualangan sederhana itu dengan bumbu kosmik kental yang menceritakan soal dewa-dewa berkekuatan besar. Di industri Marvel saat ini rasanya kita tak meragukan lagi kemampuan studio besar ini menangani dan memilih tim kru untuk proyek-proyek superhero besar lainnya. Jika dibandingkan dua film Thor lainnya, ini seperti transformasi besar buat kisah solo si raja petir dari Asgard, Thor (Chris Hemsworth). Tentu saja melalui cita rasa berbeda, Thor: Ragnarok seperti film kulminasi epik yang menunjukkan jati diri sebenarnya dari film-film Marvel.

Thor harus terlibat dengan masa lalu kelam ayahnya Odin (Anthony Hopkins) yang dulu pernah mengurung kekuatan jahat bernama Hela (Cate Blanchett) sang 'queen of death' yang berencana menguasai Asgard dan dunia. Tapi, saat Thor mencoba menghentikannya, kekuatan Hela jauh melebihi diatasnya dan membuat senjata andalan Thor pun, palu Mjolnir hancur berkeping-keping. Disaat Asgard dikuasai kekuatan jahat, Thor yang melarikan diri terdampar di sebuah planet 'garbage' bernama Sakaar yang dikuasai oleh pemimpin gila bernama Grandmaster (Jeff Goldblum). Thor yang disekap dan ditangkap oleh seorang wanita Valkyrie (Tessa Thompson), ditengah keputusasaan saat Asgard terancam bahaya, Thor dipaksa menjadi petarung gladiator dan melawan rekan satu timnya di Avengers, Bruce Banner aka Hulk (Mark Ruffalo).


Sebelum Marvel menunjukkan pertarungan epik dengan Thanos di The Avengers: Infinity War, Thor: Ragnarok seakan ingin menunjukkan kapasitas villain sesungguhnya, semenjak kegagalan Ultron yang disangka kuat ternyata lembek, konyol dan memalukan. Kini hadir Hela, sebagai villain wanita pertama sekaligus terkuat dengan menunjukkan taringnya langsung menghancurkan senjata terkuat, Mjolnir. Tidak hanya villain kuat, intimidasi serta momok menakutkan yang berhasil mencuri perhatian lewat akting Cate Blanchett pun sangat menggembirakan, tak ada yang jauh lebih cocok memerankan akting Blanchett saat tatapannya yang kadang seksi pun menyimpan sorot mata tajam yang seakan membunuh.

Bukan Marvel jika tidak memiliki rentetan komedi, memajang Taika Waititi beserta penulis skenario Eric Pearson, Thor: Ragnarok memberi pesona Guardians of the Galaxy dengan cita rasa fantasy sci-fi '70-'80-an. Meski tahu bahwa filmnya bisa sedikit kelam karena berisi disaster dari kekacauan, kejatuhan, dan kehancuran Asgard. Filmnya ternyata lebih ringan dengan tingkah konyol para karakternya. Sehingga jika menginginkan film sedikit lebih serius dan emosional, maka jangan harap filmnya akan membawa gejolak perasaan lebih dalam atau setidaknya lebih menegangkan.


Tentu saya tidak menganggap komedi Thor: Ragnarok jelek, meski beberapa masih juga terasa garing, tapi tetap konsisten untuk menyedapkan pita tertawa saya bergema hingga film berakhir. Tapi, ini seperti 'trigger' yang menghilangkan nuansa atmosferik dan emosional. Meski saya sangat menyukai Waititi tidak menghancurkan penokohan Hela dengan sebuah trik kekonyolan dan terus membuat villain ini tetap sesuai dengan perwatakkannya yang serius, fully-evil dan hot. Tapi, moment by moment lenyap karena terlalu banyak banyolan yang dirasa sedikit mengganggu, membuat saya berpikir apa jadinya jika Thor: Ragnarok tidak memiliki komedi? Maka film ini sesuram jalan ceritanya yang tidak terlalu istimewa.

Tapi, film ini tidak terlalu mengecewakan, Thor: Ragnarok adalah renovasi dan evolusi terbaik dari trilogi Thor disaat banyak yang mengatakan Thor adalah yang terburuk dari film solo superhero lainnya. Universe semakin luas, kemunculan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang sebentar, Loki (Tom Hiddleston) yang selalu identik dengan moralitas ambigu sebagai villain dan saudara Thor, Bruce Banner yang sepenuhnya dikuasai oleh si monster hijau, Hulk dengan tingkahnya yang childish dan polos tapi juga bisa sensitif. Thor, dengan gaya rambut barunya tampak lebih kece', dipotong oleh bukan orang biasa. Dan dua karakter baru yang cukup banyak menarik perhatian, Valkyrie, wanita yang suka mabuk tapi punya segudang rahasia dan latar belakang menarik, Korg (Taika Waititi), monster batu yang sangar tapi suara mirip robot Chappie, dan Grandmaster, pria berusia jutaan tahun yang punya watak aneh dan sangat gila.


Seperti yang saya bilang, Thor: Ragnarok adalah jati diri Marvel sebenarnya. Memanfaatkan semua formulasi yang sudah ada seperti komedi, tema futuristik, comic relief dan semua hal yang sudah tidak lagi menghebohkan, terbilang ini adalah masa kejayaan Marvel Cinematic Universe. Meski tak bisa dipungkiri seperti kurangnya suntikan emosi dan atmosferik yang kental, hingga terlalu bermain aman dalam cerita. Tapi tentu saja berharap The Avengers: Infinity War dan tahun-tahun kedepannya nanti Marvel tidak terjebak dalam situasi yang sama. Karena saya paham bahwa Marvel menyadari kekurangannya, menambalnya berkali-kali, hingga dapat dibuktikan Marvel hingga saat ini belum luput dari kegagalan.

Well, secara keseluruhan Thor: Ragnarok cukup memuaskan, tidak istimewa, tapi sangat menghibur. Setidaknya hal yang membuat saya memuji kesuksesan Waititi dan Pearson terletak pada referensinya, seperti penggunaan komedi yang interkoneksi dengan film Marvel sebelumnya, dan cara mereka memperlakukan para karakter baik jagoan, tokoh kacangan maupun villain dengan sangat baik dan relevan. Dan Hell Yea! mempercayai artis sekaliber Oscar, Cate Blanchett adalah pilihan yang tepat dan menjadi salah satu alasan menonton film yang satu ini, salah satu villain terbaik yang tidak kemenyek dan benar-benar "IMBA", bahkan membuat saya bertanya, apa yang bisa dilakukan film ini untuk mengalahkan dewi bernama Hela, jika dewa Thor sekalipun jadi benyek menghadapinya.



🙶 I was trying to make the moment more epic.🙷

Pertama kali saya doyan yang namanya nonton film, Transformers, jadi salah satu favorit yang membuat saya tergila-gila dengan karya Michael Bay satu ini. Terbatas bodohnya saya soal film, terpikat oleh daya tarik CGI dan robot super-duper-keren juga transformasi mereka ke mobil sport mewah yang tak kalah ultra-kecenya. Esensi menonton Transformers memang menjadi ketakjuban sendiri melihat Amerika Serikat pertama kali dimana negara lain pun belum sanggup menyentuh kerealistisan dan kemewahan yang ditawarkan film ini. Tentu saja alasan ini mendasar, lewat kemunculan perdana Transformers film Bay langsung mampu membuat takjub hati penonton maupun segelintir kritikus, dimana film pertamanya mampu menyabet 3 nominasi Oscar untuk kategori "Best Achievement in Sound Mixing", "Best Achievement in Sound Editing", dan "Best Achievement in Visual Effects". Menggebrak batas-batas visual dan auditory spektakular pada masa itu.



Tapi, Bay seperti terlena dan teradiksi dengan kesuksesan film pertama, hingga trilogi tercipta melalui "Revenge of the Fallen" dan "Dark of the Moon" yang ternyata tidak sebaik pendahulunya. Menyatakan film tersebut akan berakhir, nyatanya Bay masih bernafsu dan enggan mengakhiri perjuangan Optimus Prime dan para Autobots untuk melindungi bumi dan manusia, hingga dilanjutkan dengan Cade Yeager (Mark Wahlberg), menggantikan posisi Sam Witwicky (Shia LaBeouf) sebagai peran sentral. Rasa lelah ketika Bay sama sekali mengabaikan eksekusi matang cerita, melainkan membudidayakan visual effect hingga sound effect penuh ledakan. Hingga semakin saya menonton film Transformers, kejenuhan dan rasa lelah menonton film tak berotak hasil ambisi besar Bay ini tak meninggalkan kesan berarti, kecuali rasa jengkel.

Melanjutkan sekuel Transformers: Age of Extinction, rupanya bumi masih belum bisa jauh dari kata aman, setelah terombang-ambing di angkasa, Optimus Prime mencoba kembali ke planetnya Cybertron untuk menemui penciptanya, Quintessa. Tapi, Quintessa punya rencana lain guna menjadikan bumi sebagai wadah dan tumbal untuk mengembalikan planet mati Cybertrone seperti sedia kala. Dilain pihak, bumi, saat para Transformers berduyun-duyun datang ke bumi melalui sebongkah komet menjadi ancaman tersendiri bagi manusia, hingga diciptakan sebuah organisasi bernama TRF (Transformers Reaction Force) untuk memburu para Transformers. Sehingga sang heroik pelindung para Autobots, Cade Yeager bersama rekan setianya Bumblebee terpaksa bersembunyi sebagai buronan dunia.



Sebetulnya banyak sekali ruang lingkup yang dihadirkan dalam film Transformers sebagaimana konflik memecah berbagai sudut pandang cerita, menjadi wadah konflik yang lebih besar dan lebih universal, hingga mencoba mencocokkan sekelumit legenda Inggris, King Arthur hingga sosok penyihir Merlin, bahkan juga membawa-bawa perang dunia II hingga jam pembunuh yang konon telah menewaskan sang Fuhrer, Hitler sebagaimana peran para Transformers lebih besar dari yang kita duga. Tapi, ya itu tadi, jangan pernah berharap penyajian naskah cerita Art Marcum, Ken Nolan, dan Matt Holloway ini seepik kedengarannya. Menjelajahi segala cerita ajaib nan absurd, 2 jam 29 menit disajikan melalui gegap gempita visual CGI bombastis yang faktanya ini film Transformers termahal yang pernah dibuat Bay, hingga desingan sound effect dari sekedar dialog para Transformers dan suara robot Quintessa mirip efek DJ robot, hingga suara senjata nan canggih non-stop tidak membuatmu berkedip dan pasang telinga sepanjang film. Ini film bombastis dengan susunan cerita penuh kehampaan, penuh plot sembarang tempel seperti kapal Titanic yang tiba-tiba hancur dan menjadi kacau-balau saat menabrak bongkahan es.


Saya sebenarnya bingung mendefiniskan film Transformers dengan banyak plot yang kacau balau, kecuali CGI non-stop bin mahal ini sepenuhnya masih memanjakan mata, memang tidak membosankan, tapi pengaruh ini menyebabkan rasa jengkel ditambah rasa mual tak tertahankan mengiringi transisi cerita tak bersusun, melompat kesana kemari, hingga terburu-burunya Bay dalam bercerita tanpa substansi yang terkukuh kuat, ditambah durasinya pun terlampau panjang untuk menyebabkan rasa lelah hingga rasa ngantuk tak tertahankan oleh mata. Temponya cepat, secepat lompatan cerita yang tidak lagi fokus untuk bisa sekedar membentuk narasi dan tensi, perkembangan karakter, motif, hingga emosi dan chemistry yang memikat kuat. Meski sedikitnya tercuri kedekatan kita pada karakter utama, Yeager kala itu seorang single parent, ditinggal anak perempuannya kuliah, berusaha mencari pendamping hidup, hingga kisah memilukan seorang gadis bernama Izabella (Isabela Moner), hidup diantara reruntuhan kota saat menjadi korban perang epik di film prekuelnya dahulu.


Meski begitu, masih banyak hal positif sehubungan dangkalnya cerita nan epik penuh keabsurdan film Transformers. Kala kita masih menemukan beberapa imajinasi liar Bay sehubungan karakter baru yang muncul baik para Transformers maupun manusia. Ada beberapa karakter menarik yang masih mencuri atensi sehubungan desain kopi ulang karakter familiar di film-film seperti "Wall-E" dan "Chappy". Karakter manusia pun sama halnya, saat dua wanita beda generasi mulai mendekati kehidupan Yeager, tampil cantik juga sensual yang tak kalah memikatnya dengan Megan Fox dan Rosie Huntington-Whiteley. Dua-duanya memang lumayan memikat tidak hanya menjual daya tarik fisik, melainkan performa akting hingga memberi nyawa Vivian Wembley (Laura Haddock) dan Izabella sebagai pemanis, terutama Izabella, peran gadis kecil yang rasanya terlalu di eksploitasi Bay dengan umur dibawah kewajaran gadis seusianya. Namun sayang, Anthony Hopkins yang berperan sebagai Sir Edmund Burton, penghubung antara Vivian dan Yeager, sepintas punya andil besar namun ternyata hanya tokoh kosong belaka.

Overall, Transformers: The Last Knight masih layak tonton bagi mereka yang mencari hiburan tak berotak dengan maksimalitas visual dan gelora sound effect, mengabaikan keabsurdan dan ketidakmasuk akalan cerita. Hingga lontaran demi lontaran kocak barisan komedi, kadang garing, kadang lucu juga masih cukup mampu menyegarkan, meski kedunguan dan kebisingan cerita masih tak terbendung oleh pikiran kita. Well, saya harap fakta bahwa Transformers ke-5 akan menjadi film terakhir si-jenius Michael Bay yang terlupakan, meski masih terdengar isu soal 14 naskah yang akan dikembangkan untuk franchise ini kedepannya. Tentu menarik melihat siapa lagi yang akan menangani film epik ini sekali lagi.



| Director |
Michael Bay
| Writer |
Art Marcum, Ken Nolan, Matt Holloway
| Cast |
Anthony Hopkins, Mark Wahlberg, Isabela Moner, Laura Haddock,
| Studio |
Paramount Pictures
| Rating |
PG-13 (for violence and intense sequences of sci-fi action, language, and some innuendo)
| Runtime |
149 minutes (1h 50min)



OFFICIAL RATING | TRANSFORMERS: THE LAST KNIGHT (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶 Welcome to a new world of gods and monsters.🙷

Terpampang jelas dua suku kata "Dark Universe" dari special logo di film The Mummy kali ini, akan dipastikan monster-monster klasik semacam Drakula, Frankenstein, The Invisible Man, The Wolfman, dll akan muncul satu-persatu nanti. Katakanlah trend ini tak kalah menarik semenjak Marvel memulai start pertama kali, kemudian diikuti DC Comics, hingga creature monster macam King Kong dan Godzilla diadu dalam satu arena di dunia yang sama. Tapi, proyek yang telah dicapai melalui Dracula Untold (2014), namun sempat berakhir mengecewakan dan rencana tersebut di batalkan dan di undur, sehingga 3 tahun kemudian sepakat bahwa peresmian lahirnya Dark Universe akhirnya melalui film yang pernah di remake dan popular 18 Tahun lalu diperankan oleh Brandon Fraser. Tapi, sayangnya meski telah menjadi kick-off Universal Studios yang meyakinkan, ini bukan sebuah awal yang baik untuk memulai.


Memasang Tom Cruise sebagai pemeran utama, jelas film ini sedikit mirip dengan film-filmnya yang terdahulu, semisal Mission: Impossible dan Jack Reacher. Hal ini memang bukan hanya asa yang terasa dari trailer yang disuguhkan, melainkan memang merangkul David Koepp, Christopher McQuarrie dan sisanya Dylan Kussman sebagai penulis naskah, telah menegaskan elemen apa yang dibawa oleh The Mummy, yang juga digawangi sutradara yang pernah menyajikan film drama "People Like Us", Alex Kurtzman. Tom Cruise berperan sebagai treasure hunter bernama Nick Morton, pergi ke wilayah konflik Irak bersama temannya Chris Vail (Jake Johnson) untuk mencari harta karun tersembunyi disana. Saat terjebak akibat serangan mendadak pemberontak lokal, hingga peluru rudal terlontar di area tersebut, Nick tak menyangka lubang yang terbentuk dari ledakkan rudal justru membuka makam tersembunyi disana, tanpa mengetahui isi peti yang coba ia bawa bersama rekan yang baru datang Jenny Halsey (Annabelle Wallis), ternyata adalah makam mumi Mesir Princess Ahmanet (Sofia Boutella) yang dikutuk membawa malapetaka dan kejahatan di dunia.


Sebelum saya betul-betul merangkai kalimat untuk menjelaskan betapa buruknya The Mummy sebagai debut Dark Universe, secara garis besar naskah buatan Koepp, McQuarrie dan Kussman ini sangat menyakinkan dan punya jalinan cerita yang memikat. Hal-hal tersebut menyangkut teknik penceritaan gaya khususnya Koepp dan McQuarrie menegaskan parade aksi yang memukau, dari sekedar scene Tom Cruise dan Annabelle Wallis berjumpalitan dalam pesawat yang akan jatuh tanpa stuntman dan stuntwoman, mirip sekuens mendebarkan Tom Cruise di film "Mission: Impossible - Rogue Nation". Hingga deburan badai pasir yang dibuat oleh sihir Ahmanet memporak-porandakan kota London dan seisinya, menengok juga mirip adegan "Mission: Impossible - Ghost Protocol". Ini semua tanpa berusaha mencocoklogikan, pun dapat kita saksikan bagaiman visualisasi hingga permainan musik stylish dalam beberapa sekuens action telah mempertegas hal tersebut.

Tapi, sayang hal ini justru berdampak pada tempo cerita yang akhirnya jatuh sempoyongan, apakah ini karena pengaruh cerita yang harusnya bertema horror dan thriller jatuh menjadi laga aksi penuh fantasy dengan kesan yang akhirnya kurang menggigit? Entah pengaruh Tom Cruise yang ikut campur tangan mengedit naskah hingga pemasaran yang ia lakukan jatuh pada hasil pendapatan yang mengecewakan dan merugikan di box office dengan selisih $400 ribu dolar dari budget aslinya $125,000,000.



Bahkan melibas beberapa adegan aksi yang tidak lagi relevan dan terkesan aneh, hingga salah satu scene yang masih tersimpan dibenak saat detik-detik Ahmanet coba menusuk belati ke jantung Nick, namun aksinya tersebut sengaja dihentikan tanpa faktor yang kuat. Juga hal-hal menyangkut aksi tidak lagi spektakular dan menegangkan dikala hal ini pun berakhir dengan akhir yang antiklimaks yang kesannya justru sama dengan film-film horror chessy lainnya, berakhir tidak memuaskan. Meski diluar itu, sketsa kisah dan konflik memang terasa mengejutkan hingga kemunculan Dr. Henry Jekyll menambah kompleksitas masalah. Namun sayang, pengembangan karakter pun seadanya, sehingga ikatan diantara karakter tiada karuan, hingga motif tiap karakter lah yang membentuk mereka jadi masalah.

Hal berkesan dalam film ini hanya tentang akting Tom Cruise masih terasa menarik dengan selipan komedi yang masih mewarnai kemampuannya dalam berlaga ataupun bercanda. Identik dengan salah satu filmnya di "American Made" yang rilis di tahun sama. Untuk Sofia Boutella, saya tak tahu apa yang bisa saya sampaikan mengenai aktingnya, kecuali riasan menakutkan dengan bola mata mirip kelainan mata Polycoria, hingga ada scene mengerikan saat ia bergelantungan di rantai, namun kemudian penampakannya sekilas mirip villain superhero dengan kekuatan supernaturalnya yang memukau, seperti menghidupkan zombie hingga menyedot energi manusia melalui ciuman. Sementara Russell Crowe berperan sebagai Dr. Henry Jekyll, nama yang terdengar tidak asing lagi di film-film monster tentang seorang ilmuwan yang memiliki kepribadian ganda yang mengerikan, salah satu monster yang digadang-gadang akan dibuat versi solonya. Setelah ini mungkin Dark Universe punya tugas berat untuk kembali menyemangatkan ekspetasi penonton yang sudah dulu dikecewakan dengan film The Mummy ini.





| Director |
Alex Kurtzman
| Writer |
David Koepp, Christopher McQuarrie, Dylan Kussman
| Cast |
Tom Cruise, Sofia Boutella, Russell Crowe, Annabelle Wallis, Jake Johnson
| Studio |
Universal
| Rating |
PG-13 (for violence, action and scary images, and for some suggestive content and partial nudity)
| Runtime |
120 minutes (1h 50min)



OFFICIAL RATING | THE MUMMY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶 Life is a game. So fight for survival and see if you're worth it.🙷

Bertahan hidup seperti salah satu permainan "The Hunger Games", membunuh atau dibunuh, dalam film berjudul Battle Royale ini tampak mereka hanya remaja sekolah biasa dan tak berdosa. Saat kita mempertanyakan kemana batas moral ketika masa depan mereka harus diperlakukan sekejam ini. Tidak, semenjak narator menjelaskan situasi Jepang yang sudah bobrok soal isu etika dan moral para murid yang memboikot sekolahnya dan melakukan pemberontakkan lewat kekerasan baik kepada guru dan orang tua, ini murni sebuah distopia. Proyeksi kemunduran dan cacat pendidikan di negara Jepang yang terkenal disiplin, kemudian berubah menjadi sungai darah yang mengerikan. Saya hanya tak melihat solusi yang lebih baik ketimbang memilih pembunuhan berdarah semacam ini apalagi dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Tapi, memang melihat latar belakang film ini terasa kurang detil, menyampaikan situasi hanya lewat narasi, yang berarti kita menimbang-nimbang sendiri kenapa instrumen Battle Royale ini dipakai.


Belakangan Battle Royale sempat mendapat larangan dari pihak pemerintahan Jepang saat film ini akan dirilis baik versi film maupun novelnya. Terlibat film ini sangat kontroversial karena melibatkan penghakiman orang tua kepada anak-anak mereka. Tapi, rasanya film ini tetap mampu diedarkan ke khalayak masyarakat dan mereka berbondong-bondong masuk ke bioskop untuk menonton penayangan film ini. Cerita Battle Royale dilatar belakangi satu kelas murid kelas 9 di sebuah sekolah, yang terdiri dari 40 murid yang ikut sebuah wisata liburan. Namun wisata tersebut hanya kedok agar mereka dijebak dan ditawan ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni, salah seorang yang mereka kenal sebagai mantan wali kelas mereka Kitano (Takeshi Kitano) menampakkan diri dan mengaku bahwa dia yang membawa semua mantan muridnya ke program revolusioner Battle Royale, permainan yang mengizinkan semua murid untuk saling bunuh selama tiga hari, hingga menyisakan satu orang yang bertahan hidup.



Film ini akan memperkenalkan kita dengan Shuya Nanahara (Tatsuya Fujiwara) dan Noriko Nakagawa (Aki Maeda) sebagai fokus utama, diselingi perkembangan karakter lainnya. Film yang bahkan menjadi salah satu favorit sutradara berkelas Quentin Tarantino ini, memang menyajikan dinamika sosial yang bekerja secara dinamis, kita tidak akan menemukan keseluruhan karakter menyerupai karakter lainnya. Mereka punya pola sendiri-sendiri dalam menyikapi Battle Royale, ada yang memang tampak putus asa, depresi, dan menjadi gila, tapi ada juga yang menyikapinya dengan santai bahkan berusaha untuk tidak terjebak dalam dilema keputusasaan dalam game tersebut, hingga terasa relevan melihat beberapa dari mereka membentuk koalisi mereka sendiri agar terlindung dari ancaman dan lainnya bertahan hidup secara individual. Dan dua orang yang paling menyita perhatian, Shogo Kawada (Taro Yamamoto) dengan bandana dan gaya nyentriknya, dan Kazuo Kiriyama (Masanobu Ando) tampang preman cool dan creepy mirip berandalan di film "Crows Zero", keduanya dianggap sebagai penyeimbang permainan.

Kegilaan di film ini seolah menunjukkan sifat asli manusia, entah beberapa gadis mencoba bertahan hidup selain harus berusaha menjaga diri mereka dari santapan nafsu laki-laki, juga latar belakang sadistik salah satu karakter wanita sosiopat yang sepertinya tidak terlalu memikirkan nyawa yang lainnya. Dan juga beberapa kelompok cerdas dan NERD yang berusaha mencari jalan keluar dengan cara mereka sendiri. Banyak hal yang saya temukan terlibat banyaknya adegan brutal dan berdarah terjadi di film ini, tapi Kinji Fukasaku selaku sutradara terampil mengemas novel Koushun Takami, dibantu penulis naskahnya Kenta Fukasaku dengan sangat baik. Egoisme, kepercayaan, dan loyalitas sepertinya jadi segmen utama dalam film ini, terutama beberapa kali mentengahkan kisah percintaan remaja yang tidak sedikit aksi mengorbankan nyawa mereka didepan kekasihnya. Konyol? Tidak juga, justru ini tampak relatable mengingat mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dalam satu kelas yang sama.


Kekurangan film ini hanya bermasalah pada akting para cast-nya, meski tampak berusaha tampil totalitas, tapi beberapa kali tersangkut masalah gestur dan mimik yang kurang meyakinkan dan kaku, entah apa karena faktor usia mereka yang masih hijau untuk berakting atau karena kesulitan menyaring aktor dan artis yang lebih baik, karena lebih dari 800 aktor dan artis mengikuti audisi untuk bermain sebagai murid yang berjumlah 40 orang. Lebih dari itu Battle Royale sangat luar biasa, jauh lebih baik dibandingkan "The Hunger Games" yang terlalu fokus pada masalah politik dan lemah dalam sekuens aksinya. Bahkan bisa dibilang ini kesekian kalinya setelah beberapa tahun saya kembali menonton film ini untuk menonton versi director's cut-nya, dan ternyata efek kenikmatannya masih terasa segar untuk ditonton kembali.



| Director |
Kinji Fukasaku
| Writer |
Kenta Fukasaku
| Cast |
Tatsuya Fujiwara, Aki Maeda, Taro Yamamoto, Masanobu Ando,Chiaki Kuriyama, Takeshi Kitano
| Studio |
Anchor Bay Entertainment
| Rating |
NR
| Runtime |
114 minutes (1h 54min)



OFFICIAL RATING | BATTLE ROYALE (2000)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes