LEMONVIE: Romance
Showing posts with label Romance. Show all posts
Showing posts with label Romance. Show all posts


Kadangkala seorang filmaker/sutradara membuat film bertujuan untuk menyelipkan pesan atau isu penting yang mampu ditangkap dengan mudah oleh penontonnya. Dan yang paling krusial pesan tersebut harus mampu direspon baik melalui emosi dan logika penontonnya. Terutama apakah film tersebut mampu ditangkap secara visual melalui akal sehat. Bisa dibilang Guillermo del Toro yang selalu akrab dengan film visionernya yang unik dan selalu meleburkan inovasi dan imajinasinya melewati batas-batas sinematis tertentu. Tapi, sejujurnya ini bukan lagi kisah dark fantasy konvensional seperti karya-karya del Toro sebelumnya seperti The Devil's Backbone dan Pan's Labyrinth, melainkan sebuah langkah berani dan menantang tentang konsep mustahil tentang cinta seorang manusia, tapi del Toro menciptakannya.

Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah wanita penyendiri dan kesepian. Ia bekerja sebagai janitor di sebuah fasilitas penelitian rahasia milik pemerintah. Setting film ini diambil sekitar tahun 1962, saat perang dingin antara Amerika dan Rusia sedang berkecamuk. Elisa sendiri adalah seorang tunawicara, ia tidak bisa berbicara semenjak lahir. Dia memiliki dua teman dekat, pertama tetangganya, Giles (Richard Jenkins) pria tua (yang saya kira bapaknya) yang bekerja sebagai freelance artist yang juga hidup kesepian dan Zelda Fuller (Octavia Spencer) teman kerja Elisa yang sama-sama seorang janitor. Suatu hari Elisa dan Zelda mendapati seorang seekor monster amfibi "Amphibian Man" (Doug Jones) misterius yang baru dibawa oleh Richard Strickland (Michael Shannon) sebagai bahan eksperimen. Tapi, monster yang tampak seram dan berbahaya tersebut ternyata memiliki kemiripan layaknya manusia, dan membuat Elisa merasa tertarik dan jatuh cinta padanya.


Ada yang menyebutnya sebagai kisah fairy tale "Beauty and the Beast", tapi saya rasa konsepnya tidak sesederhana dan semanis itu, tapi jauh lebih dewasa dan kompleks yang sejalan dengan arti, "Siapapun berhak mendapatkan cinta". Dan bagian terdalamnya, cinta bukan soal fisik, tapi tentang respon emosional yang mungkin akan terdengar complicated, tapi del Toro menyampaikannya secara lugas dan cermat tentang apa itu cinta dan dibalik itu terdapat pesan isu orientasi seksual. Apalagi konsep soal impossibility's no matter of love in the world semakin terasa kuat bagaimana del Toro bermain soal cinta tanpa penggunaan bahasa verbal sedikitpun, selain dunia antara Elisa dan Amphibian Man yang jelas kontras berbeda, di dunia tanpa kata-kata hubungan mereka bagai terhubung oleh jembatan tak kasat mata.

Mungkin terasa sangat ganjil dan aneh, apa yang dibawa oleh del Toro dengan ambisinya yang absurd nan gila. Bahkan pesan moral soal cinta yang menghampiri Elisa, bukan serta merta dibuat berdasarkan rasa empati semata, justru dibuat dengan ikatan seksual. Mengingatkan saya dengan salah satu karya Aaron Moorhead dan Justin Benson, "Spring". Tapi, dalam film Spring atau Beauty and the Beast, keduanya masih memiliki bentuk/wujud manusia yang membuat kita masih bisa menerima konsekuensi atas emosi tersebut, lain halnya dengan Amphibian Man yang hanya mengambil sedikit sekali identitas/wujud manusia, tidak sama bahasa, alam dan rupa.


The Shape of Water buat saya bukanlah sebuah ke-absurdan, sebaliknya del Toro bersama Vanessa Taylor yang bergandengan menuliskan naskah justru memiliki cerita puitis dan jujur. Ada adegan ketika Elisa membayangkan dirinya bisa berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada Amphibian Man sambil menari diatas panggung, mirip adegan di film "The Artist". Dibalik cerita yang gelap dan sentimentil yang kerap menciptakan suasana horror, ada aura keluguan dan kekakuan terpancar dari karakter Elisa yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Sally Hawkins, selain harus berakting bisu, ditambah adegan frontal dan berani ia lakoni tanpa sehelai benang-pun. Elisa adalah wanita pemberani di balik sifatnya yang lazim sekaligus unik, berbanding terbalik dengan Zelda, yang terbilang cerewet tapi caring. Richard Jenkins yang perannya pun cukup dominan, bermain peran dengan Sally terasa memiliki chemistry yang kuat, seolah mereka berdua tampak seperti ayah-anak karena memiliki sifat yang cenderung sama. Dan salah satu aktor favorit saya, Michael Shannon, sayang aktingnya kurang memikat di film ini, meski saya suka kemampuan Shannon betukar peran baik sebagai protagonis maupun antagonis di beberapa film sebelumnya. Entah kenapa, mungkin karena pendalaman tokoh Strickland yang stereotipikal, seharusnya pengenalan sampai kerumah tangganya bisa menjadi suntikan moral yang lebih dalam.


Tapi, diantara itu semua adalah kekuatan sinematis yang dibuat oleh Dan Laustsen, yang membawa The Shape of Water menjadi salah satu pemenang Oscar dalam Best Motion Picture of the Year, juga mengantongi 3 kategori lainnya. Melalui ciri khas del Toro, tone gelap dengan dominasi siluet, green dan teal, dan tak jarang membaurkan sedikit palet warna merah, tiap bingkai adegan dibuat begitu indah dan membekas, bahkan warna tersebut kerap menjadi simbolisasi yang mampu berbicara banyak yang kadang dijelaskan melalui dialog. del Toro menjelaskan bahwa film ini awalnya akan dibuat hitam-putih, tapi kemudian diputuskan untuk membuat film berwarna, warna hijau dominan mewakilkan soal masa depan (baca ini atau ini). Selain dari daya tarik visual hingga desain produksi yang memukau, gubahan musik dan scoring film ini pun mampu memberikan nuansa klasik dan elegan yang kadang pas dengan setiap adegan yang ada, sehingga The Shape of Water tidak saja menembus batas-batas imajinasi, daya pikatnya pun terhantar begitu dalam menghipnotis hampir ke seluruh indera.






Setelah sekian lama blog menganggur dan tidak menonton film, dikarenakan sampai hari ini mencari mood untuk menonton itu susah dan ke-sok sibukan saya di dunia nyata, hingga salah satunya saya terlena mengurus blog lain yang ternyata lumayan berhasil di monetisasi. Lalu, saya kepikiran dengan blog lemonvie yang tampaknya tak kunjung berkembang, bukan masalah soal (ngarep) monetisasi google adsense yang tak kunjung diterima, tapi hanya saja terlalu sayang bahwa blog yang sudah berumur 2 Tahun lebih ini akhirnya jadi terbengkalai karena kemalasan saya menulis. Padahal saya sudah membuang uang demi membuat domain khusus buat blog ini. Jadi, kebetulan karena dari kemarin saya penasaran dengan film-film Indonesia, lalu saya mencoba mencari referensi film Indonesia yang bagus, dan bertemulah saya dengan film berjudul Posesif yang dirilis tanggal 26 Oktober 2017 kemarin.

Seperti tampak dari judul dan poster yang manis dengan warna cerah yang menggambarkan kebahagiaan dua pasang remaja SMA Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino) yang sedang memadu romansa kehidupan cinta mudanya, saya mengira film yang disutradarai oleh Edwin ini bakal bercerita banyak soal romantisme klise murahan bergaya rom-com ala drama FTV. Tapi, diluar ekspetasi Posesif berubah menjadi film dengan taste berbeda, cerdik merangkai naskah yang memiliki limpahan gejolak emosional luar biasa untuk drama coming of age yang minimalis seperti ini, apalagi nuansa sekolah sederhananya membentuk kejenakaan dan kenaifan remaja yang justru disentil melalui penceritaan yang realistis dan berani oleh Edwin.

Lala adalah seorang gadis SMA sekaligus atlet lompat indah, bersama ayah sekaligus pelatihnya (Yayu A.W. Unru), Lala menjadi anak tunggal semata wayang yang menjadi tumpuan harapan keluarganya agar bisa menjadi atlet lompat indah profesional seperti mendiang ibunya yang telah tiada. Suatu hari Lala bertemu dan berkenalan dengan Yudhis, murid pindahan baru yang bersekolah ditempatnya. Karena saling tertarik dan jatuh cinta keduanya pun berpacaran, namun meski begitu hubungan mereka harus mengalami jungkir balik yang menyertai hubungan keluarga hingga masalah berat yang menguji komitmen dan masalah cinta diantara mereka.


Edwin sang sutradara memang bukan sutradara yang boleh dipandang sebelah mata, lewat karya film pendeknya berjudul Kara, Anak Sebatang Pohon yang berhasil menembus ajang Festival Film Cannes 2005 dalam sesi Director's Forthnight. Selain itu film pendek lainnya, Perempoean Yang Dikawini Andjing diputar di berbagai ajang festival internasional dan berhasil meraih berbagai pernghargaan dalam negeri. Jadi, bisa dikatakan Edwin ini memang bukan filmmaker konvensional, setelah Posesif pun akhirnya film karya terbarunya ini mendapatkan berbagai penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia 2017 dalam kategori Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik (Putri Marino) dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik untuk (Yayu Unru).

Maka dari itu Posesif melalui naskah cerita Gina S. Noer (Rudy Habibie, Pinky Promise) terbilang luar biasa yang mampu menekan sisi gelap dari yang namanya berpacaran, alias sisi yang menimbulkan tindak kekerasan dalam love-relationship. Posesif mampu membuat judul terasa kuat dan lekat dalam cita rasa yang berbeda, kuat mengiringi bukan saja lewat hubungan dan masalah antara Yudhis dan Lala, tapi permasalahan yang saling berbenturan satu sama lain antara kehidupan sosial Lala maupun masalah antara keluarga yang juga saling menguatkan definisi soal Posesif itu sendiri, semacam bola billiard yang dipukul saling berbenturan satu sama lain menimbulkan kompleksitas dan keriuhan yang berarti. Menonton Posesif ini ibarat saya seperti merasa was-was saat menonton film "The Gift", yang mampu menimbulkan rasa tidak nyaman, ketakutan dan teror,  tentu saja yang berbeda adalah definisi bahaya itu sendiri datang dari orang yang paling dekat dan paling dicintai.


Edwin pandai meracik narasi, meski menenggelamkan saya ditengah-tengah cumbu, rayu dan gombal disetiap adegan dan dialog yang kadang terselip kelucuan, tapi tidak membuatnya menjadi chessy dan justru membuat chemistry kedua tokoh utamanya semakin kuat. Karena chemistry yang dibangun saya semakin lupa dan akhirnya tersadar, bahwa Edwin sebenarnya sedang membawa saya pada tahap realita kehidupan, tak ayal membangunkan saya dari mimpi-mimpi indah tentang cinta yang sesungguhnya racun dan tentu saja relatively violent, bahwa ia pun mampu membawa luka juga melukai tanpa sadar. Posesif membawa sebuah kisah yang relatable, mengundang pernyataan bahwa cinta itu bisa mendatangkan labilitas emosional dan psikologis. Dan kemudian ikatan kuat itu malah membuatnya semakin menjerat dan merantai. Ada kompleksitas yang hadir, obsesi serta kegilaan membuat perasaan saya menjadi campur aduk menonton film ini.

Tentu saja kekuatan itu mampu ditunjukkan melalui akting para pemeran utama dan pendukungnya, terutama Adipati dan Putri yang tampil memikat. Salah satunya Yudhis yang diperankan Adipati. Tokoh yang sempat membuat saya menyangka hanya sebagai protagonis sentris biasa, namun kemudian ia berubah menjadi antagonis berbahaya, dibalik sikapnya yang penyayang dan pengertian, namun ia over possessive, temperamental, hingga kadang bisa berperilaku kasar dan kejam. Lalu ada Putri Marino yang berperan sebagai Lala yang mampu mensinkronitaskan kehadiran Yudhis, seorang gadis biasa nan luar biasa yang mampu menarik perhatian hati saya, melalui setumpuk masalah kompleks dan penderitaan baik fisik dan psikis, tapi ia adalah wujud dari tough-girl, dari kesetiaan, ketulusan dan pengorbanannya meski dibalik itu pun ia sosok yang naif dan egois. Tapi, tak urung mengimbangi sosok Yudhis yang keduanya punya karakter kuat. Posesif mampu menunjukkan sebuah 'warning' dalam realitas kehidupan remaja atau dewasa sekalipun dalam tindak kekerasan gender dan selipan moral, dengan begitu banyaknya bombardir emosi dan sebuah 'breakthrough' film romantis yang juga tak luput untuk tetap tampil manis ini mampu meletupkan rasa berbeda dari genre romantis sendiri.





🙶 You take care of a garden, and takes care back. You feed it, it feeds you. Few things in this World operate like that.🙷

Tangan buntung dan kaki buntung, Arlen (Suki Waterhouse) telah menggambarkan realita kejam dunia distopia yang dihiasi gurun mati dan tandus, untuk seorang wanita muda yang juga tergabung dalam gerombolan manusia terbuang (The Bad Batch), aturan tak berlaku di dunia yang terisolasi di wilayah Texas, Amerika Serikat sehingga menjadikan sifat mereka liar dan gila. Sang sutradara sekaligus penulis naskah Ana Lily Amirpour melahirkan sebuah ambisi cantik dari sekedar film pertamanya "A Girl Walks Home Alone at Night", sebuah kota di Iran yang didalamnya terdapat vampir penghisap darah. The Bad Batch melahirkan dunia yang menghempaskan moral apalagi hukum, saat kaum kanibal adalah hal paling mengancam di dunia yang dilalui Arlen.

Ada beragam rasa saat melewati ide kreatif yang ditawarkan Amirpour, para kaum kanibal yang atletis dan berotot, sampai permukiman kumuh yang disebut sebagai "Comfort", dimana komunitas masyarakat tersebut dipimpin oleh pria eksentrik bergaya retro, The Dreams (Keanu Reeves), menggandeng sederet istri berperut buncit (hamil), suka berpesta di malam hari dengan house music dan menenggak drugs mencari kesenangan. Arlen sebagai fokus cerita awalnya adalah korban mangsa para kanibal, setelah mencoba lolos, ia lalu ditemukan dan ditolong oleh The Hermit (Jim Carrey), seorang gelandangan yang membawanya ke "Comfort", sebuah tempat teraman dari serangan kaum kanibal. Singkat cerita, 5 bulan kemudian, Arlen menuntut balas atas perlakuan kaum kanibal. Hingga dalam perjalanan ia pun bertemu dengan salah satu kanibal bergaya macho-meksiko bernama Miami Man (Jason Momoa) yang sedang mencari Honey (Jayda Fink) anaknya yang hilang.

The Bad Batch memang punya daya tarik sendiri, memancing dunia distopia dalam balutan arthouse yang nyentrik dan aneh, plus alunan soundtrack retro electronic. Plot awal terasa meyakinkan, mengenalkan kita pada tokoh utama Arlen, kehilangan arah dan tujuan, berjalan sendirian di tengah hamparan gurun panas dan tandus, hingga mengawali keganasan Arlen sebagai korban kaum kanibal. Kehilangan satu kaki dan satu tangan, horror dan ancaman telah tereskalasi dengan baik, apalagi kegilaan berlanjut saat melihat sekumpulan pria berotot dan bermuka seram adalah kanibal itu sendiri. Membuat dunia yang terasa ngeri-ngeri sedap, dan juga bagaimana landscape sinematis berhasil ditangkap pada tiap-tiap moment terasa prestisius. kembali mendapuk Lyle Vincent (A Girl Walks Home Alone at Night) yang berhasil memvisualisasikan dunia yang statis lagi suram terasa cantik dan indah.


Sayang, langkah narasi tidak secantik wajah Suki dan segala aspek artistiknya, dasar cerita yang ingin disampaikan Amirpour mulai terlihat cacat, saat Arlen bergerak dengan motif balas dendam tanpa dasar yang kuat. Pertemuannya dengan Honey, hingga mencuat hubungan tak kasat mata antara Arlen dan Miami Man, mulai mempengaruhi tujuan yang saya pikir Amirpour memberikan tidak sekedar cerita aksi dan gila semacam "Mad Max: Fury Road". Tapi, menampilkan bahwa manusia tanpa belas kasih pun masih memiliki "cinta" dan "kasih sayang" untuk dilindungi. Tapi, ini lebih dari sekedar banyaknya kejanggalan cerita, mencuat segala aksi tanpa toleransi, hingga ketidakmasuk akalan gerak-gerik dilakukan Arlen tanpa intelektual. Keanehan, absurditas hingga keseimbangan tiap konflik tokoh sama sekali tidak koheren, semua tampak aneh dan konklusi akhirpun tanpa rasa heran semakin memberi rasa beban menonton, menghubungkan soal "cinta" dan "tujuan".

Dilandasi kegilaan, distopia dan carut-marut moralitas, tapi sedikitpun adegan brutal tidak lebih dari Miami Man memotong daging manusia seperti memotong daging sapi, lalu disantap seperti barbeque di siang hari. Filmnya tak segila yang dibayangkan, bahkan beberapa kali menelantarkan peran macam Keanu Reeves, tanpa mengerti apakah ia betul-betul jahat atau baik yang pintar berkata bijak dan berfilosofi. Giovanni Ribisi pun demikian, pria autis yang selalu teriak-teriak tak jelas di Comfort, memancing kegaduhan dan kebodohan tapi sama sekali tak penting untuk dilihat. Mungkin salah satu yang cukup menarik, Jim Carrey, laksana gelandangan bisu, yang kadang bersimpati dan berperilaku konyol di depan Arlen dan Miami Man, meski akhirnya perannya tak sejalan dengan rasa empati yang dimilikinya, cenderung juga tokoh tak penting.


The Bad Batch, memang sepenuhnya film dengan porsi cerita yang dangkal, alih-alih pintar pun sedemikian buruknya, Arlen dengan tipikal heroine yang kebingungan mencari arah dan tujuan, sama dengan bingungnya Amirpour menentukan perwatakan, konflik hingga emosi tokoh untuk meningkatkan dramatisasi dan juga simpati kita pada Arlen yang juga minim identitas siapa dia sebenarnya, dan kenapa ia bisa dibuang. Meski dibalik itu, Suki cukup terampil membuat tatapan yang kuat dan indah, dengan segala kelemahan dan cacat tubuhnya di dunia yang jelas keras dan tak berperkemanusiaan, bahkan mengalahkan tubuh sixpack Jason Momoa yang kuat dan indah.

Cinta dan ketertarikan dalam hembusan dunia penuh bad batch dan immoral, tapi sayang ini tidak terlalu indah untuk terealisasi. Meski saya cukup punya bayangan keren soal hubungan antara si Arlen dan Miami Man, bagaimana rasa benci dan canggung itu berbuah cinta dan petualangan yang mempertemukan keduanya antara si kanibal jahat penuh cinta dan si korban yang penuh kebimbangan tanpa ambisi. Tapi, ini tidak cukup, terlalu banyak kebodohan dan pesan filosofis tak karuan. Perkembangan karakter yang lemah, meski filmnya jika ditilik secara visual dan audio memang terasa eksentrik dan cantik. Pada akhirnya The Bad Batch hanya cita rasa coca-cola yang sengaja dicampur dengan minyak kayu putih, segar di awal namun menyengat dan membuat mual di akhir.




| Director |
Ana Lily Amirpour
| Writer |
Ana Lily Amirpour
| Cast |
Giovanni Ribisi, Jason Momoa, Jayda Fink, Jim Carrey, Keanu Reeves, Suki Waterhouse, Yolonda Ross
| Studio |
NEON
| Rating |
R (for violence, language, some drug content and brief nudity)
| Runtime |
118 minutes (1h 58min)



OFFICIAL RATING | THE BAD BATCH (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶 I'm waiting for someone.🙷

Hantu, laksana entitas misteri yang takkan terjawabkan, apakah mereka hidup sama seperti kita atau samasekali berbeda. Ada yang menyebutkan mereka adalah arwah penasaran manusia yang telah mati, ada juga yang mempercayai sebagai sosok jin atau setan. David Lowery (Ain't Them Bodies Saints, Pete's Dragon) memilih sosok hantu berasal dari eks-manusia yang telah mati, jauh dari kata horror, film bertajuk perjalanan hantu melewati garis ruang dan waktu antara kehidupan dan kematian, ini sebuah karya orisinil, selain membawa sudut pandang hantu yang biasanya menjadi objektifikasi film horror yang guna menakuti penonton dengan penampakan seram lagi menakutkan. A Ghost Story lebih bermakna soal drama pencarian dan kehilangan, entitas yang seolah terlupakan dan tersesat di dunia yang tidak lagi dimilikinya.


Sebut saja C (Casey Affleck) hidup bahagia bersama kekasihnya M (Rooney Mara) yang tinggal disebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi naas kejadian tak terduga menimpa C yang saat itu sedang mengendarai mobil pribadi miliknya, mengalami kecelakaan sehingga nyawanya tak sempat lagi tertolong. C yang sudah meninggal dan jasadnya terbujur kaku, bangkit kembali namun dalam wujud yang berbeda, menggunakan kain putih disekujur tubuh dengan kedua lubang mata hitam di kepalanya, ia kembali ke rumah kekasihnya yang sekarang tinggal sendiri di rumah bekas tempat mereka tinggal berdua, mencoba mencari tahu dan berinteraksi.

Melalui persentasi, absurditas hingga kental akan nuansa arthouse, A Ghost Story memang hanya disajikan untuk penonton minoritas. Apalagi berharap ini akan menyajikan horror mencekam layaknya "Insidious" atau "The Conjurung", jangan harap, mengingatkan saya juga dengan salah satu indie horror dari negara Iran "A Girl Walks Home Alone at Night" menggapai orisinalitas dan element classic yang dipuji kritikus. Lowery mengajak kita mengenal dunia yang sering dibayangkan oleh banyak orang soal kehidupan setelah mati, kesepian, kehilangan, kesesatan, dan kekosongan tanpa terbayang bahwa di alam berikutnya tanpa sadar waktu terus berotasi, orang-orang yang kita cintai telah pergi dan tak mengingat kita lagi, dan kita bukan siapa-siapa sementara menjadi hantu eksis dalam kehampaan dan ketiadaan tanpa ujung.



Penekanan drama dalam dua dunia yang saling bersinggungan meski eksistensi hantu tak mampu dilihat dan dirasakan oleh manusia (hidup), tapi secara cerdik Lowery membentuk alasan yang kemudian menjadi ironi dan dilema. Ada emosi ketika sebait rasa disampaikan melalui M dalam ratapan duka dan lara menangisi sang kekasih, padahal didekatnya hadir hantu C yang hanya mampu melihatnya dari sisi lain, tak bergeming. Melalui bungkusan kain, mungkin sulit merasakan emosi hantu, selain hal tersebut berdampak menjadi kekosongan tak bernyawa, tapi bukan berarti tak nampak, sesekali kita ikut merasakan sentimental melalui perilaku yang kadang "Mungkin jika piring, bingkai foto, jatuh dan pecah, hantu sedang marah".

Filmnya memikat secara aneh, pesannya menyampaikan bahwa dunia kematian pun sama dengan kehidupan, mencari tujuan dan harapan selain eksistensi mereka di dunia pun begitu panjang. Memberikan jawaban tentang "Kenapa rumah itu berhantu?", "Kenapa hantu itu usil dan jahat?", "Kenapa hantu didefinisikan sebagai entitas roh yang gentayangan dan mengganggu?" dan "Kenapa hantu selalu ada, dan tak menghilang dari kehidupan manusia?". Ya, bukan itu saja, film ini pun mencoba melodramatis dalam keheningan, kehampaan jadi dilema, dalam kurun waktu yang begitu panjang, eksistensi hantu pun menjadi mengerikan, melewati evolusi kehidupan dan zaman, sementara eksistensi mereka pun tetap statis. Tapi, sayang menemukan kisah yang saya harap linear pun berubah menjadi janggal, menciptakan jenis realita dalam cerita ruang dan waktu pun menjadi terasa aneh. Meski ini tidak seaneh "2001: A Space Oddysey" atau "Interstellar", ini tidak terlalu cantik untuk sebuah narasi yang magis dan haunting dengan pendekatan yang lebih realistis, terkesan dalam simpul yang aneh.


Tapi, ini tetap persentasi yang luar biasa, emptiness dalam visual arthouse yang luar biasa, bagai lukisan gerak yang menjerat melalui garapan sinematografer Andrew Droz Palermo. Meski kadang beberapa bagian diambil dengan take long shot yang lama, bahkan adegan Rooney Mara yang makan kue pie sambil menangis hampir terasa 2 menit lebih berjalan tanpa cut, tapi hal ini sukses mendekatkan emosi penonton pada para tokoh, melalui kehangatan, kepiluan dan keheningan, juga Daniel Hart menggubah aransmen musik yang kadang dari sayatan biola yang melirih, ataupun musik tempo yang kadang mampu membangun atmosfer terasa mencekam.

Sebetulnya garapan Lowery terasa luar biasa, kala ia pun selalu berani merangkul kisah yang sulit di terima kaum generik, semenjak Pete's Dragon, dari adaptasi kartun Disney yang kurang sukses, namun ia garap sebaik mungkin dengan "hati". A Ghost Story, dengan budget kecil, meski tahu filmnya takkan hype besar-besaran, melalui sentuhan art cinematic dan keindahan visual yang luas, mempertaruhkan penghasilan daripada kecintaan. Tapi, melandaskan kisah hantu diantara ruang dan waktu, ini tidak terlalu istimewa sebagai karya orisinil, meski konklusi akhir menjadi nyawa film yang tersampaikan kuat, tapi linearitas menjadi imbas kekecewaan. Merubah rasa suka saya menjadi emptiness total, meski A Ghost Story tetap film yang cukup berbeda dan tetap memiliki "hati" didalamnya.



| Director |
David Lowery
| Writer |
David Lowery
| Cast |
Rooney Mara, Casey Affleck
| Studio |
Ideaman Studios
| Rating |
R (for brief language and a disturbing image)
| Runtime |
92 minutes (1h 32min)



OFFICIAL RATING | A GHOST STORY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"Love isn't easy. That's why they call it love."

Sulit menghamparkan lelucon demi lelucon kala kita diajak berbicara tentang kesedihan. Boleh jadi film yang menceritakan soal penyakit mematikan, akan terasa overdramatic. The Big Sick memang terdengar seperti film yang hanya berisikan kesedihan dan duka air mata, tapi justru film ini adalah percikan kompleks dan emosional dalam mengikuti kisah perjalanan cinta komedian sekaligus aktor yang sering terlihat sebagai tokoh sidekick, Kumail Nanjiani bersama sang istri Emily diperankan Zoe Kazan harus menghadapi dilema kisah cinta saat mereka menghadapi perbedaan budaya, agama, dan ras diantara keluarga, hingga kemunculan penyakit yang diderita Emily semakin membuat hubungan mereka semakin terpisah jauh.

Kumail Najiani, mungkin bukan aktor komedian besar dan menarik, terlebih aktingnya yang hanya sedikit mencuri peran sebagai pegawai kantor pos, satpam sekolah, tukang kabel, ataupun tukang pijat mesum sekalipun. Sungguh dia aktor yang sangat tidak penting, tapi Michael Showalter "Hello, My Name is Doris" (2016) selaku sutradara mencoba menerangkan siapa aktor yang selalu muncul sebentar tapi seringkali mencuri atensi. The Big Sick mungkin menjadi film pertama Kumail menjadi karakter sentris sekaligus berakting sebagai dirinya sendiri. Ditulis oleh Kumail sendiri juga istrinya Emily V. Gordon, film ini ternyata tidak sesumbar soal hubungan cinta dan beberapa permasalahan menyangkut penyakit misterius yang menimpa Emily ataupun persinggungan yang terjadi antara keluarga mereka berdua, melainkan sebuah dilema isu yang konteksnya terasa tajam menyampaikan perbedaan kontras yang berseberangan diantara tabrakkan kultur yang ada.


Mungkin memang terkesan generik untuk mengungkapkan bagaimana hubungan cinta Kumail dan Emily ini berawal hingga akhirnya terjadi asmara cinta besar diantara mereka. Dari sebuah pertemuan tak sengaja saat Kumail manggung sebagai stand-up comedian, kemudian terdengar teriakan tiba-tiba Emily yang menyela lelucon Kumail dipertengahan. Hubungan yang bisa dibilang spontan tersebut menjadi timbal balik awal kisah yang tidak pernah diduga sebelumnya. Tapi, cukup mengesankan bahwa ini masih terasa kisah cinta yang manis, chemistry yang dibangun antara Kumail dan Kazan menghantarkan hubungan yang hangat dan kuat, apalagi saya seolah melihat sosok Emily versi asli pada Kazan, ceria dan energik, meski kadang sikap egosentris diantara keduanya menyebabkan konflik dari setumpuk masalah kebohongan dan ketidakterbukaan Kumail pada Emily. Lalu separuh cerita, diambil alih oleh ayah dan ibu Emily, Beth (Holly Hunter) dan (Ray Romano) pada saat Emily kemudian jatuh koma karena penyakitnya, namun disini pun terbantu karena tanpa diduga mereka berdua pun cukup asyik memadu gesekan keterikatan dengan Kumail, dari benci dan cinta, hingga turut melampiaskan isi hati, kesedihan, ketakutan, dan kegelisahan yang sama saat orang yang mereka cintai terbujur diam dalam koma berhari-hari menghadapi penyakit misterius dan berbahaya.



Dibalik itu juga saya sangat suka cara naskah buatan pasangan suami-istri ini memberikan sentuhan humor hingga mampu membaurkannya bersama emosi, bahkan stereotip terhadap ras dan agama pun disentil melalui keluarga Kumail yang notabene muslim mencoba mencerminkan umat tersebut dalam kebaikan, kelembutan dan juga selera humor yang bagus. Meski seorang Kumail sendiri bukan perspektif religius yang hebat, bahkan ia diterpa kebimbangan kepercayaan, sebagai seorang karakter dibalik wajah menjengkelkan dan flat-face-nya, meski ia melekat sebagai tokoh komikal, tapi naskah cerita juga mencerminkan siapa dirinya tanpa menutup Kumail menjadi orang lain, ia menjadi dirinya sendiri secara natural bahkan sikapnya realistis, care, luwes, sabar dan netral. Bahkan acapkali bercak air mata yang terpantul dari pipinya seolah ia sedang mengenang kembali masa-masa koma Emily yang pernah terbaring 5 tahun lalu. Dari sini pun cukup meyakinkan bahwa dari bingkaian foto masa kecil yang acapkali terpersentasikan melalui cerita, mencerminkan sedikit realita singkat kehidupan Kumail sesungguhnya, dari seorang komedian stand-up biasa, sopir uber, hingga masalah hubungan antara ibunya Sharmeen (Zenobia Shroff), ayahnya Azmat (Anupam Kher), dan saudaranya Naveed (Adeel Akhtar) akibat perbedaan prinsip antara kebebasan dirinya dan kultur keluarga.


Sulit menyebutkan kekurangan yang ada di The Big Sick, dan Amazon harus bersenang hati saat menggelontorkan dana $12 juta dolar untuk mendistribusikan film ini, setelah menjadi salah satu film dengan transaksi terbesar dalam sejarah Sundance Film Festival. Berangkat dari itu, film The Big Sick memang film melodrama yang menyentuh dan breathtaking, tapi satir komedi gelap yang setiap saat terlontar dari mulut para aktornya kadang membawa suasana hangat dan lucu, membuat semuanya melebur menjadi satu dengan emosi penonton. Funny and melancholic, semua pesan cinta dari Kumail dan Emily bagaimana mereka hidup dalam perbedaan, menyentil masalah keluarga, hingga isu ras dan agama yang kadang terdengar tajam seperti teriakan salah satu penonton, "Go back to ISIS." saat Kumail melontarkan lelucon komikanya, kemudian cara mereka melewati hari-hari paling menakutkan dan hopeless, diiringi gejolak emosi yang naik turun seolah inilah salah satu perjuangan nyata dari definisi cinta sesungguhnya. The Big Sick adalah tawaran rom-com luar biasa menarik untuk ditonton.



| Director |
Michael Showalter
| Writer |
Emily V. Gordon, Kumail Nanjiani
| Cast |
Kumail Nanjiani, Zoe Kazan, Holly Hunter, Ray Romano, Anupam Kher, Zenobia Shroff, Adeel Akhtar
| Studio |
Amazon Studios
| Rating |
R (for language including some sexual references)
| Runtime |
120 minutes (2h)



OFFICIAL RATING | THE BIG SICK (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶Did she? Didn't she? Who was to blame?🙷

"Did she? Didn't she? Who was to blame?" sebuah kata yang dipakai saat film ini dimulai ternyata menjadi konklusi di akhir cerita. My Cousin Rachel adalah sebuah film karya Roger Michell ("Notting Hill", "Le Week-End", "Venus") yang di remake ulang melalui film klasik berjudul sama tahun 1952 yang dimainkan oleh Olivia de Havilland dan Richard Burton, dan juga adaptasi asli novel karya Daphne du Maurier di tahun 1951. Film ini dasarnya adalah sebuah film romantis berbalut misteri yang mengelilingi identitas penuh teka-teki seorang wanita janda bernama Rachel Ashley (Rachel Weisz) yang baru saja kehilangan seorang suaminya, Ambrose. Philip (Sam Claflin) anak baptis sekaligus sepupu Ambrose yang telah membesarkan dan menganggapnya sebagai ayahnya sendiri, tidak mempercayai kematian Ambrose bukan karena penyakit tumor kepala seperti yang di klaim oleh penasehat dan pengacara Ambrose, Mr. Rainaldi (Pierfrancesco Favino) dan yakin bahwa Rachel sendirilah penyebab kematian ayah baptisnya tersebut.


Film ini datang dari rasa kebencian yang berubah tumbuh menjadi obsesi cinta yang membutakan. Philip sama sekali belum bertemu secara langsung dengan Rachel. Tinggal bersama wali hakim Nick Kendall (Iain Glen) dan anak perempuannya Louise Kendall (Holliday Grainger) sebelum Philip akhirnya mendapatkan harta warisan dan kendali penuh atas perkebunan yang dimiliki Ambrose, Rachel yang menghilang lalu tiba-tiba datang mengunjungi Philip. Disaat pertemuan pertama mereka tentu saja Philip dipenuhi rasa benci serta ingin menuntut balas dendam atas kematian Ambrose, namun niatnya seketika berubah saat melihat Rachel untuk pertama kalinya yang ia kira adalah wanita gendut, tua dan jelek yang hanya punya niat jahat untuk menguras harta Ambrose. Rachel yang tersenyum ramah dan lembut, hingga membuat wajah sendu disertai getaran rasa gugup memegang cangkir teh ditangannya. Pertemuan mereka di awal penuh kecanggungan, membuat segala kebencian Philip di awal sirna melihat kecantikan dan pesona Rachel yang akhirnya membuat Philip jatuh cinta dan terobsesi dengan sepupunya tersebut.



Wanita adalah konotasi yang diciptakan melalui penggambaran kecantikan dan pesona yang menghipnotis. Bisa dibilang Philip adalah pria yang digambarkan memiliki kelemahan seperti yang pernah ia ucapkan, ketika hasrat cinta dan obsesi meracuni kesadaran dan tujuan awal yang ia miliki. Melalui sepetak romantisme yang penuh skeptisme, Rachel adalah wanita yang dibentuk melalui ambiguitas karakter yang terkombinasi hampir sempurna. Mulut manis dan getar-getir optimisme disertai kerapuhan yang dipancarkan melalui akting Rachel Weisz sangat menakjubkan, ia punya nyawa untuk mencampur adukkan tipikal wanita yang sepenuhnya mencurigakan tapi disisi lain membawa sentimen keragu-raguan akan daya tariknya yang sangat istimewa tentang kesubtilan gestur dan mimik wajah yang mendayu-dayu seakan ia memang wanita yang terpresentasikan sebagai wanita yang baik-baik tanpa punya maksud dan motif tertentu.


Sesungguhnya penyajian film ini cukup meyakinkan melalui pencampuran romansa dari penyutradaraan yang indah dibungkus melalui atmosfer yang gelap dan misterius. Sihir dalam film ini tentu saja semua berasal dari kepiawaian akting para pemainnya, terutama Rachel Weisz yang berhasil memikat sepanjang film, apalagi tatapan mata serta senyumnya yang begitu kuat memancarkan kecantikan dan keanggunan layaknya wanita normal dan biasa berhasil menipu dan memanipulasi otak saya untuk percaya sepenuhnya padanya, seperti yang pernah saya rasakan melalui akting Rosamund Pike di film "Gone Girl". Dari sebentuk visualisasi vintage klasik dan juga senimatis yang mencoba menggambarkan keindahan landscape dan set dekor dibuat cukup elegant. Hanya saja Michell gagal memberi pesan kontradiktif yang akan membuat saya kurang merasa mind-blowing di akhir cerita, setiap jawaban dan clue yang serentet coba diungkap satu-persatu telah mempermudah penonton untuk menyimpulkan kebenaran sesungguhnya, meski Michell sendiri merasa apa yang ia coba terangkan mengenai persepsi multi-tafsir pikiran tidak berhasil dilampaui hingga finish.

Ditambah lagi film ini enggan menyentuh ranah yang konteks seksualnya lebih abusive, meski film ini menyajikan sebentuk hubungan cinta antar sepupu yang terbilang manipulatif, kontradiktif, dan obsesif, tapi peluang Michell mempersentasikan hal yang lebih berbau "busuk" dan suffering dari sekedar penekanan unsur romansa yang terbilang tarik ulur terasa kurang bergairah, hingga timbal balik di akhir film ini pun tidak lagi sesuai dengan apa yang diharapkan menjadi dark romantic dalam motif yang lebih provokatif serta kotor. Saya rasa Michell masih terlalu takut untuk menggenggam narasi dan penyutradaraan yang lebih memuaskan secara obsesi yang lebih mendorongnya lebih dalam, demi menghasilkan penokohan yang abu-abu justru terjerembab pada narasi yang ikut menjadi abu-abu yang tidak lagi menyulap hasilnya menjadi kontradiksi yang sesuai dengan ending yang memuaskan di akhir cerita.



| Director |
Roger Michell
| Writer |
Roger Michell
| Cast |
Holliday Grainger, Iain Glen, Pierfrancesco Favino, Rachel Weisz, Sam Claflin
| Studio |
Fox Searchlight Pictures
| Rating |
PG-13 (for some sexuality and brief strong language)
| Runtime |
106 minutes (1h 46min)



OFFICIAL RATING | MY COUSIN RACHEL (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes