LEMONVIE: Classic
Showing posts with label Classic. Show all posts
Showing posts with label Classic. Show all posts
🙶 Salt... that life may always have flavor.🙷

Seberapa cintamu pada hidupmu seperti seberapa besar berharganya hadirmu buat orang lain? Tidak ada yang bisa mengukur seberapa besar eksistensi kita sebagai manusia dengan segala pengorbanan dan perjalanan hidup saat semua yang kita lakukan ternyata terasa sia-sia atau mungkin sesuatu yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya justru menjadi sesuatu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bayangkan jika saya, anda, atau kita tidak pernah dilahirkan di dunia, dan keberadaan kita tidak pernah ada? It's a Wonderful Life seperti judulnya adalah film yang syarat makna begitu dalam tentang betapa berharganya hidup saat tanpa sadar kita telah melewatkan berbagai hal kecil yang ternyata itu berdampak besar bagi orang lain.

Film arahan sutradara Frank Capra ini memang sejatinya tidak akan pernah hilang dimakan usia, meski tampilan hitam putih, cerita sederhana tentang kehidupan sebuah keluarga dan impian yang sebetulnya terkesan sangat klise. Tapi, apa yang disampaikan film ini sanggup mengubah cara pandangmu akan dirimu sendiri hingga melekat sampai ke relung hati yang terdalam. Film ini memang di dedikasikan untuk film Christmas Day dan di Amerika setiap menjelang hari natal film ini selalu ditayangkan di televisi setiap tahun. Film ini bercerita tentang seorang pria paruh baya yang tinggal di Bedford Falls bernama George Bailey (James Stewart) yang harus mengorbankan setiap impian dalam hidupnya hanya untuk menolong orang lain sampai pada akhirnya ia mencoba bunuh diri dengan menceburkan dirinya dalam sungai di malam natal, hingga membawa malaikat penjaga Clarence Odbody (Henry Travers) ikut campur tangan untuk menolongnya dan memperlihatkan keajaiban yang tak pernah ia lihat sebelumnya.


Film yang secara tak sadar adalah genre drama fantasy, ternyata pernah mendapatkan peraihan buruk di box office karena tingginya biaya produksi dan persaingan yang ketat pada saat film ini diluncurkan, tapi kemudian hari gegap gempita dan pengaruhnya di dunia sangatlah besar hingga membuat film ini akhirnya memperoleh 2x lipat penghasilan dari budget produksinya sebesar $3,180,000. Salah satunya film ini dianggap sebagai film paling kritis yang pernah ada, hingga mendapatkan 5 nominasi Oscar di Best Picture, Best Actor in a Leading Role (James Stewart), Best Director, Best Sound, Recording, dan Best Film Editing. Selain penghargaan bergengsi tersebut lainnya datang dari American Film Institute yang memasukkannya dalam salah satu 100 film terbaik Amerika yang pernah ada di peringkat 11.

Sehebat itukah film ini? Ya, saya tidak memungkiri bahwa film ini sensasional dan sangat inspiratif, meski mungkin film ini cukup membosankan dan ceritanya biasa saja ketika saya menontonnya pertama kali, apalagi film ini cukup menghamparkan beberapa kesan cerita yang melodramatis. Tapi, disisi lain film ini memiliki beberapa sentuhan seperti romantisme antara pertemuan Goerge dan kekasih hatinya Mary Hatch (Donna Reed) yang dibuat cukup menarik, juga bagaimana kita melihat kehidupan masa kecil Goerge hingga dewasa dari sekedar melihat besarnya impian yang dimiliki juga pengorbanan yang tidak sedikit membuat kita bersimpati pada kehidupan sang tokoh utamanya. Well, It's a Wonderful Life adalah sebuah film klasik yang wajib ditonton, bagaimana akhirnya film ini mampu membuatmu untuk selalu bersyukur dan tidak pernah menyesali apapun yang terjadi dalam hidupmu.




| Director |
Frank Capra
| Writer |
Frank Capra, Frances Goodrich, Albert Hackett
| Cast |
 James Stewart, Donna Reed, Lionel Barrymore, Thomas Mitchell, Henry Travers, Beulah Bondi, Frank Faylen, Ward Bond
| Studio |
Liberty Films
| Rating |
PG (for thematic elements, smoking and some violence)
| Runtime |
130 minutes (2h 10min)



OFFICIAL RATING | IT'S A WONDERFUL LIFE (1946)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
The Blair Witch Project (1999)
"I'm afraid to close my eyes, I'm afraid to open them."

REVIEW:

Dikenal sebagai horror found-footage yang legendaris, Saya pun langsung tertarik untuk mencoba menonton film yang katanya hanya dengan memainkan atmosfer, suara dan gambar pemandangan yang creepy, The Blair Witch Project tanpa embel-embel penampakan sosok seram apapun bisa memberikan penontonnya ketakutan ekstrim yang terus melekat sampai kapanpun. Apalagi film ini ibarat kiblatnya horror found-footage dan juga yang pertama mempopulerkan jenis ini ke tengah masyarakat, meski kenyataannya film horror found footage yang pertama kali dikenal adalah Cannibal Holocaust (1980), tapi The Blair Witch Project yang menjadi cikal-bakal lahirnya film-film bertema serupa yang tak kalah terkenalnya, salah satunya Paranormal Activity. Kelebihan found footage sendiri cukup sederhana, hanya bermodalkan video amatir hasil dokumentasi tanpa edit sana-sini, dengan film yang dihasilkan secara alami sanggup memberikan pengalaman menonton yang terasa realistis.

Heather Donahue, Joshua Leonard, dan Michael C. Williams adalah sekumpulan mahasiswa yang melakukan sebuah project sekolah yang diberi nama "The Blair Project", mereka melakukan sebuah study tour dan dokumentasi ke sebuah wilayah perkotaan kecil, guna melakukan penyelidikan soal urban legend yang dikenal dengan nama Blair Witch, yaitu mengenai cerita tahun 1940, seorang penyihir yang dulu pernah tinggal di dalam hutan Burkittsville, Maryland, menculik dan membantai anak-anak untuk dijadikan tumbal. Dari sejumlah informasi yang didapat dari orang-orang sekitar, mereka pun lantas melakukan ekspedisi langsung dan mencoba mencari fakta-fakta tersembunyi di balik hutan yang hingga saat ini dikenal masih sangat angker. Namun, setelah memasuki dan bermalam dalam hutan, hal-hal aneh mulai terjadi pada mereka bertiga, bahkan situasi semakin sulit saat mereka menyadari bahwa mereka tersesat di dalam hutan dan tak tahu dimana jalan pulang.

Hanya dengan budget $60,000, bahkan dalam informasi trivia yang saya dapat, TBWP pernah masuk dalam Guinness Book of World Records, sebagai film mainstream yang masuk dalam tangga box office dengan pendapatan sebesar $248 million, dengan selisih rasio antara biaya $1 filmnya menghasilkan $10,931. Mengingat bahwa biaya film ini benar-benar murah, tak sedikit juga orang yang mencibir mutu film ini. Walau dengan kualitas film yang acapkali menampilkan gambar yang terlihat buram, shaky, amatir dan jelek yang berasal dari video Hi-8 dan black-and-white 16 mm film. Apa yang dihasilkan film ini justru terasa sangat nyata dan karena dalam kondisi mentah, berhasil menyampaikan sisi keseraman dan kesan natural dari tiap-tiap gambar yang diambil dari tangan Heather Donahue.

Ya, memang apa yang dikatakan orang betul-betul terjadi. Film yang disutradarai oleh duo sinting Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez berhasil meramu kisah urban legend tentang witch, menjadi sebuah kisah teror mencekik dan penuh putus asa dibalik hutan kering dan sunyi yang terasa menyeramkan. Sepanjang film ini tak ada semacam sosok penampakan penyihir atau sosok seram apapun yang mencoba menakut-nakuti penontonnya secara eksplisit, bahkan kamu takkan menemukan kehidupan di dalam hutan seperti hewan-hewan liar dan semacamnya. Justru keseraman muncul tanpa wujud, sangat sederhana bahwa hal tersebut berasal dari kepanikan, keputus asaan, beserta gangguan-gangguan aneh seperti suara-suara orang dan bayi yang muncul tersembunyi dibalik hutan ketika gelap, lalu kejadian-kejadian ganjil seperti tumpukan batu aneh yang tiba-tiba ada disekitar mereka dan juga ranting-ranting pohon yang membentuk rangka manusia yang bergantungan di hutan. Kemudian atmosfer ini berhasil memancing penonton dalam kondisi waspada dan memainkan pikiran penonton yang memunculkan imajinasi-imajinasi seram yang sebetulnya tidak pernah eksis.

Selain dari atmosfer dan keseraman yang intens, Myrick dan Sanzhez juga berhasil melibatkan perasaan dan emosi yang berhasil direalisasikan oleh ketiga tokoh utamanya. Ada emosi campur aduk yang terasa sangat nyata ketika Heather Donahue, Joshua Leonard, dan Michael C. Williams menghadirkan kepanikan, keputusasaan, kesedihan serta paranoid saat mereka tersesat dan kelaparan. Bahkan tidak sedikit adanya konflik diantara mereka yang mulai saling menyalahkan satu sama lain dan timbulnya perpecahan. Hal tersebut tentu bisa ada sejak mereka bertiga merasa ketakutan karena diintai, diburu dan diteror oleh sesuatu yang tidak diketahui wujudnya. Sebuah kondisi yang memang membuat kita berpikir bahwa mungkin seperti inilah orang-orang yang tersesat dan hilang di dalam hutan.

Well, mungkin tidak semua orang bisa dengan mudah menyukai dan menerima film The Blair Witch Project, terutama kualitas filmnya sendiri berada dibawah rata-rata, ditambah konklusi film ini terasa canggung. Tapi, disisi lain apa yang dihadirkan sepanjang film ini adalah atmosfer creepy yang terasa sangat hidup dan berhasil dibangun, meyakinkan para penonton bahwa yang mereka saksikan adalah benar-benar kejadian nyata. Bahkan tidak sedikit orang tertipu bahwa apa yang terjadi dalam film ini sebenarnya adalah rekayasa (baca: fiksi). Dengan mengedepankan kisah urban legend tentang kehadiran penyihir jahat penghuni hutan, The Blair Witch Project berhasil menunjukkan arti keseraman sesungguhnya, bahwa rasa takut itu sepenuhnya ditimbulkan oleh sebuah atmosfer, ibarat hanya dengan duduk dan melihat sebuah kuburan angker yang gelap, sudah cukup menimbulkan rasa takut dan paranoid berlebihan, apalagi ditambah adanya suara-suara aneh tak kasat mata. 🎬

🎥 Director | Daniel Myrick, Eduardo Sánchez
🎥 Writer | Daniel Myrick, Eduardo Sánchez
🎥 Cast | Heather Donahue, Joshua Leonard, Michael C. Williams
🎥 Studio | Artisan Pictures
🎥 Rating | R (For Language)
🎥 Runtime | 84 minute (1h 21m)

The Blair Witch Project (1999)
POSTER | The Blair Witch Project (1999)
SCORE 81 | The Blair Witch Project (1999)

--------- [WHAT THE FACT!] ---------

-------------------

OFFICIAL RATING | THE BLAIR WITCH PROJECT (1999)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
Gambar Film | 12 Angry Men
"I've seen all kinds of dishonesty in my day, but this little display takes the cake."

REVIEW:

Entah berapa kali saya sudah menonton film ini dan entah berapakali pun Saya iseng rewatch untuk kembali bernostalgia, tanpa ada rasa bosan menghampiri setiap kali menonton film yang bertemakan courtroom berjudul 12 Angry Men, terus-menerus memberi sebuah kenikmatan menonton, seperti sebuah great song yang setiap kali tetap asyik untuk diputar ulang. Hebatnya lagi film ini betul-betul kelewat sederhana, simpel, jadul dan masih dengan format hitam putihnya. Tapi, jujur mungkin inilah yang namanya sebuah film yang betul-betul dibuat dengan serius, mahakarya menghibur, cerdas dan berkualitas tanpa harus mengumbar visual dan efek CGI modern tapi minim kualitas dan mudah dilupakan seperti sekarang. Sebuah terobosan besar dan inspiratif, yang membuat saya wajib untuk mereview kembali film sehebat dan sekeren ini.

12 Angry Men yang dirilis pada tahun 1957 (bayangin film ini dirilis 12 tahun setelah kemerdekaan RI), ditulis oleh Reginald Rose dan disutradarai oleh Sidney Lumet, merupakan sebuah film sederhana tentang kedua belas juri yang berada dalam satu ruangan harus memutuskan antara bersalah atau tidaknya seorang anak yang didakwa atas pembunuhan ayahnya. Juri-juri tersebut harus satu suara bulat agar dapat mengadili anak tersebut. Dan kesebelas juri sepakat bahwa anak tersebut benar-benar bersalah, kecuali satu juri yang masih menganggap dan meragukan ketidak bersalahan anak tersebut.

Diperankan oleh Martin Balsam, John Fiedler, Lee J. Cobb, E.G. Marshall, Jack Klugman, Edward Binns, Jack Warden, Henry Fonda, Joseph Sweeney, Ed Begley, George Voskovec dan Robert Webber. Saya suka bagaimana akting kedua belas aktor ini benar-benar totalitas dan loveable. Ibarat sekumpulan orang yang masing-masing terpasang dinamit ditubuhnya, yang setiap saat dapat meledak. Lumet sebagai pengolah dan Rose sebagai otaknya berhasil meramu kesederhanaan cerita yang mereka buat menjadi gejala penuh emosi dan kemarahan.

Dialog-dialog dan argumentasi yang dilontarkan oleh setiap tokoh pun sangat cerdas, penuh makna dan begitu memorable. Kita diajak menganalisa setiap detil pembunuhan, saksi, barang bukti, dan latar belakang terdakwa yang awalnya 'Sudah Pasti' menjadi 'Mungkin', hingga yang 'Mungkin' menjadi 'Tidak Pasti', membuka setiap keragu-raguan yang muncul dengan memutar balikkan otak kita dengan paparan logika dan asumsi, walau kesan mengada-ada muncul, tapi malah menjadi sequence yang sangat menarik, untuk kemudian menjadi konklusi cerita tak terduga. Dan kita juga diajak untuk membaca sifat dan kepribadian keduabelas pria ini, kemudian satu persatu permainan otak, emosi, mental dan ambiguitas berrhamburan bagai sebuah selang yang diikat rapat, kemudian meledak dalam satu tekanan.

Bahkan Lumet juga mampu memainkan secara baik kondisi tak terduga, mencuri setiap momen yang terlihat biasa, tapi benar-benar memberi suasana sesak, tidak nyaman, dan menjebak mereka dalam paksaan situasi untuk tetap berada diruangan itu. Bahkan secara cerdas Lumet membuat sebuah pola pikir sporadis yang tidak hanya mempengaruhi satu-persatu jalan pikiran yang sedarinya kuat, tapi lama-lama penonton seperti saya pun ikut terpengaruh dan terhipnotis, yang melemahkan persepsi yang sedarinya absolut. Dengan mengidentifikasi, menganalisa serta mengiyakan penuturan yang muncul dari mulut mereka.

Bukan hanya bagian penuturannya yang secara keren mampu menghipnotis. Tapi juga pengenalan dan penggalian tokoh yang benar-benar dalam. Tanpa memperkenalkan mereka dengan nama, kita justru mengenali keduabelas orang ini dengan pola pikir, sifat, kepribadian, dan latar belakang yang berbeda-beda. Tidak hanya mengenali, tapi secara cerdas kita akan melihat gesekan demi gesekan yang terjadi dari setiap perbedaan karakterisasi yang mereka punya, sebagaimana gesekan tersebut menimbulkan kobaran api yang berkobar terus menerus sampai akhir. Tanpa menjadikannya penuh keseriusan dan kejemuan, setiap momen yang terjadi sangat berarti dan beberapa letupan emosi pun terkadang terlihat lucu. Bahkan tanpa harus bermain scoring berlebihan yang mungkin bisa saja merusak image film, itu sudah lebih dari cukup untuk menjaga dramatisasi yang terasa lebih realistis dan intensif.

Sekali lagi Saya beritahu bahwa jangan pernah menganggap remeh apa yang kelihatannya sederhana, usang dan ketinggalan zaman, bahwa 12 Angry Men adalah sebuah film cerdas penuh debat argumentasi, orang-orang marah, serta sebuah eksploitasi karakter dan sifat mereka yang meledak-ledak. Tanpa membuat jemu, dari awal hingga akhir ia akan terus memberikan luapan emosi, tanpa henti dalam satu ruangan yang sempit, panas dan menyesakkan. Dan sepertinya akan sulit menemukan kembali film bertema courtroom dengan eksplorasi dan penggalian cerita semacam dan sedalam ini. The one of masterpiece movie that would make it timeless and always made an impression in the hearts. 🎬

🎥 Director | Sidney Lumet
🎥 Writer | Reginald Rose
🎥 Cast | E.G. Marshall, Ed Begley, Edward Binns, George Voskovec, Henry Fonda, Jack Klugman, Jack Warden, John Fiedler, Joseph Sweeney, Lee J. Cobb, Martin Balsam, Robert Webber
🎥 Studio | Criterion Collection
🎥 Rating | Approved
🎥 Runtime | 95 minute (1h 36min)

12 Angry Men (1957)
12 Angry Men (1957)
12 Angry Men (1957)

--------- [WHAT THE FACT!] ---------
Sidney Lumet sebagai sutradara, meminta kedua belas aktornya untuk bersedia ditempatkan dalam satu ruangan yang sama selama berjam-jam, sambil meninjau mereka berulang-ulang tanpa melakukan rekaman. Ini demi menciptakan suasana realistis bagi para aktor bagaimana rasanya berada dalam satu ruangan dengan orang yang sama.
-------------------

OFFICIAL RATING | 12 ANGRY MEN (1957)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
gambar film enter the dragon by lemonvie
"Sang Legenda Bruce Lee yang menginspirasi."

SINOPSIS:
Ceritanya berawal dari Lee (Bruce Lee) yang berasal dari perguruan Shaolin di Cina, mendapatkan sebuah misi penting dari pemerintahan Amerika guna meringkus penjahat besar bernama Han sekaligus mantan seperguruan Shaolin yang telah merusak nama Shaolin. Untuk dapat menangkapnya, Lee harus menyusup menjadi salah satu peserta turnamen beladiri yang diselenggarakan di pulau antah berantah yang telah menjadi wilayah kekuasaan Han.

REVIEW:
Saya begitu penasaran dengan tokoh master beladiri Bruce Lee. Karena beberapa film era sekarang  mencontoh beberapa adegan yang diperagakan sang legenda ini hingga saat ini, makannya Saya mencoba menonton filmnya yang fenomenal berjudul Enter the Dragon...

Alhasil, Saya takjub bagaimana film ini dibuat. Heboh bro! Mungkin memang bisa dikatakan tidak wah dibagian cerita, tapi bagaimana saya melihat Lee sama dengan Saya melihat film-film martial arts seperti Jackie Chan, (tentunya kamu bisa lihat ada Jackie Chan disini, meski cuman esek-esek jadi samsak Bruce Lee disini, alias figuran).

Bahkan lebih dari itu, sinematiknya adegan pertarungan meski jadulnya film ini pun sangat membuat Saya terkesan dengan film ini. Bruce Lee itu gerakannya cepat, meski Saya cukup lucu melihat ekspresi dan juga tubuh kecilnya yang berotot, tapi Saya membuang jauh-jauh pikiran itu hahaha.... Saya benar sepenuhnya menyukai Bruce Lee di film ini, dengan karakteristiknya yang unik dan memang tidak mengherankan jika ia disukai oleh banyak penggemarnya hingga sekarang. Jika saja sang aktor tidak meninggal di usianya yang muda.

OVERALL, untuk filmnya sendiri Saya akui menikmati adegan sinematis pertarungan ala Bruce Lee ini. Ia mampu menjadi memorable meski cerita film ini seharusnya bisa lebih bagus dan lebih digali ketimbang menjual karismatik sang aktor. Yah, bagian mengecewakan cuma ceritanya saja, meski ga jelek-jelek betul ya...

Enter the Dragon (1973)
Enter the Dragon (1973)
Enter the Dragon (1973)
GAMBAR FILM | RAN

SINOPSIS : 

Mengisahkan tentang seorang kaisar atau raja yang bernama Hidetora Ichimonji yang memiliki tiga orang anak laki-laki bernama Taro, Jiro, dan Saburo. Karena sudah dimakan usia, Ichimonji berniat untuk mundur dari jabatannya sebagai raja dan membagi daerah kekuasaannya kepada ketiga anaknya. Taro dan Jiro yang merupakan anak tertua dan kedua setuju dengan ide sang ayah dan mendukung ide tersebut. Tetapi sang bungsu , Saburo menertawakan ide ayahnya dan berkata sarkas kalau ide sang ayah hanya akan membawa kehancuran bagi kerajaannya.

Scarface (1983)

SINOPSIS : 

Bulan Mei 1980 negara Cuba dibawah pemerintahan Fidel Castro membuat kebijakan dengan membuka bebas pelabuhan Mariel dengan tujuan mengirim 125,000 pengungsi Cuba untuk menyatukan kembali dengan keluarga mereka di Amerika Serikat. Dampaknya, Negara Amerika Serikat sebagai Negara impian bagi kaum imigran semakin terbuka. Bagi Tony Montana (Al Pacino) dan Manny Ribera (Steven Bauer) ini merupakan kesempatan dan cita-cita mereka untuk mendapatkan kehidupan lebih baik semakin terbuka luas. Awalnya mereka bekerja pada sebagai kurir Narkoba. Sampai nasib mempertemukan mereka dengan bos mafia Frank Lopez. Karakter Tony yang seorang pekerja keras dan ambisius menjadikan bisnis yang ia bangun melesat cepat.
The Game (1997)

REVIEW:
Bercerita tentang pengusaha kaya Nicholas Van Orton (Michael Douglas) yang berulang tahun, menerima sebuah hadiah dari adiknya Conrad Van Orton (Sean Penn) yaitu sebuah voucher permainan dari sebuah perusahaan bernama CRS. Namun, setelah Nicholas mengikuti permainan tersebut, serangkaian kejadian aneh dan misterius terjadi dalam kehidupannya.

The Game adalah salah satu film David Fincher (Seven) yang tampaknya menggambarkan karyanya yang selalu tampak kelam dan gelap. Seperti tak kehilangan sentuhannya, The Game menjelma menjadi thriller gelap yang sukses memberikan sisi misterius dari film ini. Tidak hanya sukses memberikan kesan misterius, tetapi tebak-tebakkan dari film ini sempat terus-menerus mengecoh pikiran kita dengan klu dan konklusi yang muncul. Hingga akhirnya kita menemukan fakta sesungguhnya yang terjadi dengan serangkaian kejadian aneh pada Nicholas Van Orthon. Meski endingnya membuat Saya sedikit menyengir dan terkesan lucu, sampai-sampai ada bagian yang sepertinya tidak begitu mengena.

Teka-teki yang dibuat oleh John D. Brancato dan Michael Ferris dan disusun rapi oleh Fincher tampaknya mampu menjadikan film ini cerdik dan tampil dengan sentuhan yang menakjubkan di setiap scene film. Yah, meski beberapa serangkaian kejadian terlihat sedikit agak aneh, namun tampaknya Fincher dapat menutupi sekaligus sedikit memperbaiki scene-scene tersebut.

Well, film ini memiliki sisi atmosfir dan cerita yang memang kelam dan sedikit sekali Anda melihat pesan yang ada di dalamnya. Tetapi seperti itulah Fincher membuat film dengan gaya dan ciri khas-nya sendiri. Teka-teki film ini setidaknya bisa memberikan kesenangan tersendiri, apalagi dengan twist yang memojokkan, meski sepertinya ending film ini tidak mengena sama sekali tetapi masih dapat dinikmati.

The Game (1997)
The Game (1997)
The Game (1997)
Raging Bull (1980)

REVIEW :
Bercerita tentang perjalanan petinju kelas menengah era 50an bernama Jake Lamotta (Robert de Niro) yang berusaha menanjak karirnya menjadi petinju sukses di kotanya, bersama dengan adiknya Joey (Joey Pesci) yang mendukung penuh pekerjaannya itu. Lalu, Jake Bertemu dengan Vickie (Cathy Moriarty) seorang wanita cantik yang ditaksirnya di kolam renang umum yang akhirnya dinikahinya. Lalu kisahnya diceritakan antara problema karir dan rumah tangganya dari awal sampai akhir karirnya.

Film dengan format hitam putih buatan Martin Scorsese ini jangan dilihat dengan sebelah mata. Dengan kekuatan cerita serta akting sempurna hal tersebut tidak akan menjadikan film ini bermutu jelek dan terkesan kuno. Kesan Saya menonton film yang bertemakan tinju diperankan oleh Robert de Niro sangat berkualitas dengan akting para cast-nya yang tak setengah-setengah mampu menguatkan film ini.

Kisah nyata tentang petinju besar di era '50 bernama Jake Lamotta ini mampu digali sangat dalam. Antara kisah kehidupan rumah tangga dan perjalanan karirnya di atas ring pun berjalan secara berimbang. Yang saya suka disini adalah ketika kecemburuan Lamotta yang berlebihan terhadap istrinya yang terlihat terlalu gila dan tambah menjadi-jadi, bahkan adiknya Lamotta pun di tuduh telah bercinta dengan istrinya. Kegilaannya itu malah membuat Lamotta menjadi semakin tidak waras saat berada di atas ring. Tidak hanya menampilkan sisi kerasnya di ring tetapi Lamotta juga menunjukkan sisi kerasnya di dalam rumah tangga.

Hingga di penghujung karirnya ia telah mendapatkan gelar yang ia dambakan lalu pensiun agar ia dengan istri dan kedua anaknya dapat merasakan masa tuanya yang bahagia. Tetapi, sayangnya istrinya meminta cerai dan mengambil hak asuh kedua anaknya akibat ulahnya di bar miliknya sehingga ia harus masuk penjara, bukan mendapatkan kebahagiaan namun malah sengsara dengan kelakuan bodoh yang seharusnya tak ia lakukan.

Raging Bull (1980)
Raging Bull (1980)
Raging Bull (1980)