LEMONVIE: War
Showing posts with label War. Show all posts
Showing posts with label War. Show all posts
"They're not even dogs anymore. They're warriors, and they come back with all the same issues we do."


Jika film tentang hubungan sepasang manusia sudah sangat membosankan, mungkin film ini bisa jadi alternatif saat hubungan kasih sayang dan cinta itu datang dari ikatan seekor anjing militer "K-9" bernama Rex dan pawangnya US Marine cantik bernama Megan Leavey (Kate Mara). "Nama" yang dipakai sebagai judul film ini adalah upaya sutradara Gabriela Cowperthwaite mengangkat biografi unik dan sederhana namun didalamnya terkandung penghormatan dalam skala besar sebagai warrior dan juga pelayan negara yang andil dalam pengendusan senjata, bom rakitan dan penyelamatan banyak nyawa saat mereka dikirim ke medan perang, Irak, disamping sekaligus memperlihatkan eksistensi mereka dalam perjuangan, kepercayaan, ikatan batin, loyalitas hingga kehangatan yang bisa saya rasakan melalui hubungan persahabatan yang indah dan luar biasa.


Megan lahir tanggal 28 Oktober 1983, ia adalah anak tunggal dari ibunya Jackie Leavey (Edie Falco) dan ayahnya Bob (Bradley Whitford), setelah mereka bercerai dan berpisah, Megan cenderung sebagai penyendiri hingga membuatnya mengalami masalah dalam menjalin komunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Sampai suatu ketika Megan memutuskan untuk bekerja sebagai seorang marinir AS, dan bertemu dengan Rex (E168) sebagai rekan satu timnya dalam menjalankan tugas misi ke wilayah perang Irak. 100 kali dalam dua kali penempatan mereka di Fallujah tahun 2005 dan Ramadi tahun 2006, hingga dalam misi terakhir mereka terkena luka akibat ledakan bom improvisasi saat bertugas. Sampai pada suatu waktu Megan memutuskan untuk hengkang dari satuan militer dan meminta izin untuk mengadopsi Rex dan membawanya pulang, namun permohonannya tersebut ditolak dan Megan menemui kesulitan saat anjing yang sudah dianggapnya sebagai sahabat dan penyelamat hidupnya tidak lagi bisa bersamanya.


Cowperthwaite adalah sutradara wanita yang pernah menangani film dokumenter "Blackfish" (2013) yang juga sama-sama mengangkat kisah hewan sebagai film perdananya mendapatkan cukup banyak pujian. Dan ini film keduanya bersama dengan tiga penulis naskah yang membantunya Pamela Gray, Annie Mumolo dan Tim Lovestedt dengan mengangkat tema serupa. Cerita film ini simple namun tidak membuatnya menjadi sajian yang klise apalagi membuatnya terasa kekanak-kanakan. Ya, ini bukan persahabatan seorang anak kecil dengan anjingnya yang pintar bermain basket atau sepak bola. Tapi, persahabatan hangat yang melibatkan kesetiaan besar didalamnya seperti "Hachi: A Dog's Tale" yang diperankan oleh Richard Gere. Hampir mirip, tapi tidak se-subtil dan semelodramatis itu, kisah Megan Leavey membentuknya sebagai titular karakter yang jauh lebih punya nyawa melalui penyampaian latar belakang kuat diantara keduanya. Tercermin melalui permasalahan keluarga, feminisme yang meletakkan figur perempuan yang digenjot secara mental dan fisik dari sketsa militarisasi, dan juga bagaimana membentuk chemistry kuat antara Megan dan Rex dari kesulitan PDKT hingga perjuangan Megan mengambil hak asuh Rex membentuk cinta yang terlihat begitu kuat dari aksi dan simpati yang tersampaikan melalui cara yang bittersweet.


Saya kira ini bukanlah film yang setengah hati, semua tampil mengejutkan dan menggetarkan melalui penyutradaraan yang sangat luar biasa. Membentuknya melalui serangkaian gejolak atmosfer dalam situasi negara Irak yang digambarkan cukup relevan, baik dalam penggambaran realita kondisi "panas" dan "mencekam" hingga bahaya yang mengintai dari arah yang tidak terduga. Ini sesungguhnya film biopik tentang persahabatan, tapi juga film perang. Semua di-mixed sedemikian rupa sehingga kisahnya pun terasa keras dan kasar namun subtil menyampaikan kehangatan yang emosional, semua mengikuti perkembangan karakter seorang wanita dalam wujud zero to hero diantara panasnya padang pasir, beratnya situasi perang, hingga berhadapan dengan terorisme, senjata api dan bom. Sehingga honorifik ini berasal dari penafsiran saya soal ekspansi kaum wanita selain tentang seberapa besar penghormatan mereka terhadap keberanian serta eksistensinya sebagai sukarelawan perang.


Saya menyematkan akting Kate Mara yang tampil cukup powerful dan natural, aktingnya bersama Rex membuat saya percaya ada ikatan batin yang secara tak langsung terasa diantara mereka berdua. Melalui pancaran rasa cinta hingga sorot mata diantara keduanya seperti menciptakan harmoni yang begitu hangat dan manis, yang bahkan lebih manis dari brownies kukus yang terasa sangat lezat. Ya, semua dibentuk dengan cara manisnya Cowperthwaite menceritakan secara perlahan hubungan yang dibentuk dengan kesukaran Megan berkomunikasi dan menundukkan Rex yang dianggap sebagai anjing paling agresif dan galak diantara anjing lainnya. Selain itu saya juga cukup menyanjung akting Tom Felton sebagai Andrew Deanyang, diluar perkiraan tampil cukup likeable dan sosok pria yang hangat saat ia menjadi mentor Megan yang berpengalaman, meski sebentar, diluar aktingnya yang biasa ia lakoni sebagai antagonis tukang bully, Draco Malfoy saya rasa cukup bagus juga lakonnya sebagai pria berwibawa yang diperankannya dengan wajah yang cukup manis dan baik hati.

Well, mungkin film ini tidak sampai membuat air matamu berlinang, tapi setidaknya cukup banyak memberikan haru deru dan juga luapan emosi yang terhantar hangat melalui akting dan chemistry Kate Mara. Juga persentasi melalui drama biopik soal perang ini juga bukan hal yang dibuat remeh-temeh. Semua dihamparkan melalui alur, kisah dan juga persentasi yang menarik juga relatable. Saya kira ini salah satu film tentang persahabatan anjing dan manusia terbaik tahun ini, dan juga tentang sebuah film untuk memberikan penghormatan besar bagi keduanya yang berhasil mendapatkan pujian dan penghargaan akan keberanian dan kerja keras mereka dalam sebuah tim yang solid, loyal dan bravely.




| Director |
Gabriela Cowperthwaite
| Writer |
Pamela Gray, Annie Mumolo, Tim Lovestedt
| Cast |
Kate Mara, Ramon Rodriguez, Tom Felton, Bradley Whitford, Common, Edie Falco, Geraldine James, Corey Johnson
| Studio |
Bleecker Street
| Rating |
PG-13 (for war violence, language, suggestive material, and thematic elements)
| Runtime |
116 minutes (1h 56min)



OFFICIAL RATING | MEGAN LEAVEY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"They survived World War II. Now they have to survive the clearing."

REVIEW:

Apa yang terjadi saat Perang Dunia II telah berakhir? Dan bagaimana nasib tentara Jerman yang tersisa setelah Hitler dan Nazi telah dinyatakan kalah telak dalam peperangan di tahun 1945? Perang pada dasarnya telah menanamkan benih kebencian dan kedengkian besar setelah pemerintahan diktator tersebut telah menunjukkan kekejamannya terhadap kaum Yahudi dan sekutunya, sehingga setelah semuanya berakhir pun seolah sisa-sisa dari pengikutnya harus membersihkan sendiri "kekacauan" dari tangan mereka sendiri. Sejarah yang diangkat dalam film Land of Mine (Under sandet) adalah sejarah kejahatan perang terburuk pasca perang dunia II, saat negara Denmark memaksa 2.000 lebih POW (Prisoner of War) Jerman untuk membersihkan 2,2 juta ranjau aktif dan berbahaya yang tersebar dipelosok negara mereka.


Land of Mine adalah film besutan sutradara Martin Zandvliet (A Willing Patriot, Dirch (A Funny Man)) yang memperoleh nominasi Oscar ke-89 pertamanya mewakili negara Denmark di "Best Foreign Language Film." Dimulai saat seorang "Danish" Sgt. Carl Rasmussen (Roland Møller) ditugaskan oleh Lt. Ebbe Jensen (Mikkel Boe Følsgaard) untuk mengawasi 14 tawanan Jerman yang dibawa menuju lepas pantai Barat Denmark, guna menetralisir lokasi penuh ranjau yang terhitung 45 ribu buah didalam pasir sepanjang pantai. Mereka semua adalah remaja yang masih terbilang muda terdiri dari Sebastian (Louis Hofmann), Helmut (Joel Basman), Ernst (Emil Belton), Werner (Oskar Belton), Wilhelm (Leon Seidel) dan August (yang saya sebut adalah para aktor yang aktingnya paling menonjol).


Secara teknis Rasmussen hanya sendirian mengawasi ke 14 tentara muda Jerman dalam operasi pembersihan ranjau. Tapi sebetulnya ditilik ke dalam sejarah asli yang diberitakan media, para POW seharusnya langsung berada dibawah kendali para tentara Inggris. Mengelupaskan kata moralitas, Land of Mine cukup banyak mengkritisi rasa empati dalam peti kebencian yang seolah telah menghilangkan nurani dan moralitas kemanusiaan dalam perang. Diskriminasi dalam film ini membuat kita bertanya-tanya "who is the real evil in a world war?".

Zandvliet memfokuskan pada hubungan Rasmussen dan para tawanan Jerman muda, Rasmussen awalnya muncul sebagai sosok berdarah dingin yang tak segan-segan meluapkan amarah dan kebenciannya pada Jerman. Tapi hubungan dengan para remaja ini mulai membuatnya terombang-ambing antara permasalahan moral dan dendam pribadi dihatinya. Para tentara Jerman pun tidak serta merta diam dalam derita, Sebastian yang paling menonjol diantara mereka bersinar sebagai leader dan guard, Ernst dan Werner sebagai saudara kembar yang berusaha saling melindungi dan Helmut sebagai pemberontak yang pesimistis. Para remaja Jerman dengan seragam lengkap dan wajah-wajah lesu, kotor penuh luka, seolah tersimpan rasa takut dan harapan dimata mereka saat putus asa hadir diantara hidup dan mati mereka.


Meski bukan film bertema perang frontal dengan lusinan terjangan peluru layaknya "Saving Private Ryan", tapi jangan salah bahwa Land of Mine hampir sama dengan "The Hurt Locker" tapi dengan "esensi" game puzzle komputer familiar ala "Minesweeper", film ini punya konsep tersendiri untuk memberikan kesan menegangkan dan brutal di tengah atmosfer yang terbilang calm to do, but seriously act. Memperlihatkan saat-saat para POW ini melucuti satu demi satu ribuan padang ranjau yang bersembunyi diantara timbunan pasir. Kita takkan pernah tahu kapan, dimana dan siapa yang akan menjadi korban dari ledakan ranjau tersebut, dan bom! seperti film-film horror yang memainkan efek jump scare, kita turut dihantui rasa was-was saat detik-detik mendebarkan para tentara ini harus berhadapan dengan resiko kematian dan tubuh hancur ditangan mereka. Dan ini berhasil membuat saya berkali-kali mengucap istighfar tiap kali moment itu datang dari arah yang tidak terduga.


Tapi intimasi melalui chemistry yang dibangun para karakter masih kurang matang, meski cukup yakin bahwa terdapat transisi jiwa yang bergelut dengan emosi dan nurani, hingga tatapan penuh keyakinan dan natural saat beberapa adegan tragis cukup menyayat hati, tapi saya pribadi sedikit merasa terganggu melihat ketidak mulusan adegan demi adegan tersusun kurang relevan membentuk rasa iba dan akrab yang agak bumpy.

Dan Mungkin sebagai film yang tidak menggunakan efek CGI, beberapa ledakan hasil technical effect masih terasa kurang rapi dan bersih, beberapa kali ledakan yang diciptakan pada beberapa moment masih terasa tearing. Tapi dapat dimaklumi karena disisi lain atmosfer ketidaktenangan bercampur deg-degan itu tetap mampu dihadirkan sepanjang film. Juga sinematografi mumpuni dari Camilla Hjelm patut diancungi jempol, ditembak pada lokasi syuting otentik sejarah yang mereka pilih di Oksbøllejren dan Varde, menghasilkan perpaduan cantik antara calm, sorrowful dan warm. Well, Land of Mine mengingatkan kita bahwa perang adalah sebuah kekejaman tanpa arti, memunculkan penderitaan, kebencian dan kematian sehingga pelaku sejarah perang siapapun dan sekecil apapun mereka sejatinya adalah korban.




| Director |
| Writer |
| Cast |
Sony Pictures Classics
| Rating |
R (for violence, some grisly images, and language)
| Runtime |
100 minutes (1h 40min)



OFFICIAL RATING | LAND OF MINE (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"The event that shaped our world."

REVIEW:

Sebelum saya membahas seputar film Christopher Nolan berjudul Dunkirk. Terlebih dahulu saya ingin menceritakan seberapa besar pengaruh dan pentingnya peristiwa bersejarah tentang kekalahan terbesar negara Inggris di masa perang dunia ke II, yang terjadi dari 27 Mei hingga 4 Juni 1940. Melibatkan 400.000 tentara sekutu Inggris dan Perancis yang terkepung oleh tentara Jerman di lepas pantai Dunkirk, hingga akhirnya terjadi misi evakuasi dan penyelamatan besar-besaran yang tentu saja tanpa disadari bahwa peristiwa ini menjadi salah satu bukti adanya 'keajaiban' dibalik kisah besar sepanjang sejarah umat manusia dimana para tentara Jerman yang seharusnya mampu membantai para tentara musuh yang terkepung dan menundukkan Dunkirk dengan mudah, namun atas misteri yang sampai saat ini masih tidak mampu dijawab, atas perintah langsung dari pemimpin tertinggi mereka, Adolf Hitler serangan tentara Jerman ke wilayah Dunkirk serentak dihentikan, sehingga evakuasi yang dikenal sebagai operasi Dinamo ini berhasil menyelamatkan ratusan ribu nyawa tentara dan memulangkan mereka kembali ke tempat asal.


Kisah ini memang terdengar epic sebagaimana kisah "Schindler's List" tentang penyelamatan seorang pria kaya terhadap ribuan rakyat sipil Yahudi yang dibantai oleh tentara Nazi yang kita kenal sebagai tragedi Holocaust menjadi sejarah kemanusiaan yang penuh emosi dan air mata, apalagi kita tahu film ini digarap oleh sutradara jenius yang suka akan hal-hal jelimet. Sebagai seorang "fanboy" saya akui Nolan memang selalu menggarap filmnya dengan totalitas dan penuh keseriusan. Setiap filmnya mampu membuat saya takjub dengan konsep yang dibuatnya. Tapi sayangnya, saya akui juga tidak ada sutradara yang sempurna, mengikuti filmography Nolan sejauh ini ia memang kurang tangkas dalam menciptakan sebuah film bernyawa dan emosional yang justru tenggelam dalam cerita yang dark dan dazing. Dan tentu saja sebagai film yang menceritakan tentang tragedi kemanusiaan Nolan harus mampu menciptakan sebuah letupan emosi dan dramatisasi cerita.


Sama dengan film "Interstellar" atau "Inception", melalui ciri khas Nolan yang tetap membagi plot cerita dalam tiga point of views, yaitu sky blue, dark blue and orange (udara, laut dan daratan) sehingga tercipta sebuah timeline yang non-linear. Ini menjadi sebuah konsep yang cerdas dalam memasuki ranah dunia yang lebih nyata dari karya-karya fiksi ilmiah Nolan sebelumnya, membuat Dunkirk yang notabene repetasi kejadian sejarah jadi dipenuhi moment kejutan setiap menitnya. Konsep inilah yang belum pernah dirancang dalam kisah historis nyata dan realistis yang lebih efektif memancing ketakjuban dan mengisi plot dengan detil yang lebih luas bagaimana Nolan menyambung tiap-tiap benang plot terpisah antara waktu dan tempat menjadi satu-kesatuan yang utuh.


Dan keluasan inilah yang menciptakan semesta yang lebih besar dari sekedar mempertontonkan karakterisasi manusia didalamnya. Dunkirk bukan sedang menceritakan tentang satu, dua atau juga sekelompok orang semacam "Saving Private Ryan". Dunkirk adalah keseluruhan yang terlibat dalam sejarah film ini baik tentara maupun warga sipil yang turut serta datang melakukan penyelamatan. Tidak ada satu tokoh pun baik yang diperankan oleh Tom Hardy yang berkontribusi penuh di atas udara sebagai pilot tentara bernama Farrier, Cillian Murphy dalam kondisi trauma dan tercogok sendirian di tengah lautan, ataupun Fionn Whitehead sebagai tentara muda dan tentara lainnya yang terjebak di pesisir pantai Dunkirk mencari cara untuk keluar dan selamat dari sana. Tidak satupun dari mereka hadir tampil lebih menonjol dan emosional, mereka hanya sebagian kecil dari ratusan ribu orang yang ingin selamat dengan perasaan penuh ketakutan, keputusasaan, penderitaan, dan harapan yang sama. Sehingga Dunkirk jauh lebih mengedepankan sisi atmosferik dan kondisi sejarah itu sendiri, dan bukan tentang perasaan yang dirasakan secara lebih personal.

Untuk segi teknis dan atmosfer, saya tak meragukan bahwa Nolan berhasil membuat sebuah medan besar dan epic, dan semua itu tercipta dengan sinematografi yang indah, fantastis dan realistis. Sehingga seolah-olah saya pun ikut tenggelam dan berada langsung di dalam peristiwa tersebut. Hal ini dikarenakan Nolan dikenal sebagai sineas anti-CGI, penggunaan seminim-minimnya efek CGI dalam film Dunkirk dengan teknik ilusi, bahan peledak dan penggunaan properti asli seperti pesawat tempur, kapal boat, dan tentu saja mengambil lokasi syuting di tempat aslinya, it's totally realistic masterpiece! Oscar nomination? Best Pictures? Maybe yes. Terlebih lagi untuk kerjasama Nolan yang ke-6 kalinya dengan Hans Zimmer dalam menggarap background musik, kembali berhasil meramu ruang atmosfer medan perang Dunkirk menjadi sangat menegangkan dan membantumu lebih fokus sepanjang cerita.


Overall, menjadi film terpendek Nolan sejauh ini yang hanya berdurasi 106 menit, dan film adaptasi true event dan perang pertama baginya. Dunkirk adalah salah satu film perang terbaik dengan konsepnya yang unik dan berbeda dengan film bertema sama. Tapi, sayangnya ini juga pertama kalinya saya dikecewakan oleh Nolan, ini bukan berarti Dunkirk jelek dan tidak bagus dan tentu saja ini bagian dari sebuah karya masterpiece miliknya. Hanya saja tidak seperti film-film Nolan lainnya, Dunkirk tidak meninggalkan kesan kuat dan mendalam sebagai film dramatic event, justru kehampaan yang saya rasakan sejak keluar dari pintu bioskop menimbulkan kebimbangan besar yang membuat saya di satu sisi merasakan kepuasan tapi sisi lainnya ada sebentuk kekecewaan di waktu yang sama. Tapi, pada akhirnya saya tetap melihat film ini dari sisi objektif (tidak sebagai fanboy) bahwa apa yang Dunkirk berikan itu istimewa, sinematis, dan epic.




| Director |
| Writer |
| Cast |
Warner Bros. Pictures
| Rating |
PG-13 (for intense war experience and some language)
| Runtime |
106 minutes (1h 46min)



OFFICIAL RATING | DUNKIRK (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
Hacksaw Ridge (2016)
"Disaat semua orang mengambil nyawa, Aku yang menyelamatkannya."

REVIEW:

Dibalik cerita kelam perang dunia, tidak sedikit pula ia menyimpan kisah menarik dan fenomenal yang selalu membuat decak kagum dunia, dan kadang mereka tidak datang dari sesuatu yang dibilang istimewa, tapi karena suatu sebab mereka menjadi sesuatu yang istimewa. Itulah yang mendorong sutradara film seperti Mel Gibson (Braveheart, The Passion of the Christ) membuat biografi sang prajurit legenda nan unik, yang bukan dari kalangan atas dan bukan dari prajurit berpangkat. Desmond Doss (Andrew Garfield) adalah satu-satunya prajurit yang tak pernah memegang senjata bahkan membunuh musuhnya dalam perang dunia II. Karena ia mempunyai keyakinan dan prinsip bahwa membunuh nyawa seseorang adalah sebuah dosa besar dalam agama yang dianutnya.

Film Hacksaw Ridge ini akan memulai kisah Desmond semasa kecil, kita akan diperkenalkan bagaimana masalah keluarganya bersama ayahnya Tom Doss (Hugo Weaving), seorang mantan prajurit perang di masa PD1 dan seorang pemabuk yang selalu bertingkah kasar pada keluarganya, ibunya Bertha Doss (Rachel Griffiths) dan kakaknya Harold Doss (Nathaniel Buzolic). Kemudian berlanjut ke masa remaja Desmond, ketika ia bertemu dengan cinta pertamanya, Dorothy Schutte (Teresa Palmer), seorang perawat yang tidak sengaja ditemuinya di rumah sakit. Lalu dilanjutkan pada kisah ia mendaftarkan diri menjadi relawan perang sebagai paramedis dan lika-liku kesulitannya di kamp pelatihan, karena pada waktu itu ia menolak memegang senjata dan dianggap pembangkang. Sampai-sampai ia dipenjara militer dan disidang atas kasusnya.

Naskah gubahan Andrew Knight dan Robert Schenkkan ini telah di rangkum oleh Mel menjadi padat dan berisi. Satu jam pertama kita akan digiring untuk mengetahui latar belakang, keluarga, pujaan hati, dari seorang Doss Desmond 16 Tahun kebelakang, lalu di jam selanjutnya kita akan menemui sebuah perang yang kamu harus tahu, mengingatkan kita pada film Saving Private Ryan yang brutal dan horor. Ya, perang yang terasa sangat nyata dan menegangkan ini dipenuhi desingan peluru, ledakan bom, tubuh-tubuh tertembus peluru, hamburan daging manusia, dan mayat-mayat bergelimpangan dimakan tikus dan belatung. Tentu ini adalah bagian terbaik dalam film yang katanya pada Festival Film Venice mendapatkan standing ovation selama 10 menit, September 2016 lalu.

Hacksaw Ridge memang sebuah paket lengkap tentang biografi seseorang dalam perang dunia. Tentunya ia hampir punya segalanya. Bahkan hal yang tidak dimiliki oleh film Fury (2015) sekalipun. Ia punya latar belakang kisah kehidupan dan percintaan layaknya Pearl Harbor (2001), lalu ia juga punya sesi pemanasan di kamp militer layaknya Full Metal Jacket (1987), hingga kemudian sesi terakhir ia punya set perang epik, Saving Private Ryan (1998) dengan kondisi perang di Okinawa mirip (Flags of Our Father, Letters from Iwo Jima-2006). Dan mungkin buat Saya pribadi Hacksaw Ridge mungkin bisa dinobatkan sebagai film war terbaik tahun ini.

Dengan semua kelebihan itu bukan berarti Hacksaw Ridge tidak punya kekurangan. Ada beberapa hal terasa kurang nonjok dan kurang efisien dalam menggambarkan penceritaan latar belakang, walau tidak terlalu terasa dan tak terlampau mengancam. Ia gagal dalam memberi kesan cerita biopik yang teratur dan legit. Permasalahan pertama adalah kisah cinta Desmond dan Dorothy yang dianggap terlalu berlebihan dan terlalu mengumbar dialog-dialog gombal yang menggelikan. Kedua, ia tidak secara gamblang menceritakan kisah keluarganya dengan lebih emosional dan juga latar belakang lain dengan hubungannya bersama kakaknya sendiri yang tiba-tiba hilang. Dan kesemua itu terasa terlalu standar untuk sebuah cerita biopik sebesar dan sepengaruh ini.

Mesin utama cerita ini ada pada aktor utama film ini, Andrew Garfield. Sosok pemuda biasa tapi penuh keyakinan dan prinsip kuat yang dipegangnya untuk membunuh karena larangan agama yang dianutnya. Meski dianggap pengecut, pembangkang, bahkan dianggap orang gila, ia tetap pada pendirian untuk tetap berada digaris depan sebagai paramedis dengan caranya sendiri. Sosok yang unik dan dianggap aneh ini menjadi tokoh yang memang tak pernah ada di satuan militer manapun, tapi akhirnya menjadi sebuah tokoh yang dikagumi karena keberanian, tekad, dan hati mulia sebagai tokoh yang heroik. Dan Andrew telah berhasil memerankan kesemua hal itu dengan secantik mungkin.

Kemudian aktor dan artis lain yang juga punya pengaruh besar di film ini adalah Hugo Weaving dan Teresa Palmer, keduanya inilah yang sudah banyak berperan membangun dan menutupi latar belakang cerita yang tumpul dan standar diawal. Lalu, beberapa aktor kawakan yang dipilih di medan perang pun cukup memberikan peran yang lumayan krusial seperti Sam Warthington, Vince Vaughn, Richard Roxburgh, Matt Nable, dan Luke Bracey.

Hacksaw Ridge adalah sebuah film perang epik yang dibalut kisah biopik dramatis dan romantis. Ia adalah kisah nyata heroik seorang prajurit perang yang sangat emosional dengan efek perang realistis yang mendominasi. Mengembalikan esensial film perang yang sudah lama tidak terasa selama beberapa dekade terakhir. Menjadikan film ini termasuk war epic movies terbaik tahun ini.

Hacksaw Ridge (2016)
Hacksaw Ridge (2016)
Hacksaw Ridge (2016)

OFFICIAL RATING | HACKSAW RIDGE (2016)
rating film imdb
Eye in the Sky Movie
"Jangan pernah memberitahu seorang tentara bahwa dia tidak tahu akibat dari perang."

REVIEW:
Sepertinya Eye in the Sky menjadi film yang wajib harus kamu tonton. Bagaimana ia akan mempermainkan perasaanmu pada sebuah konsekuensi besar tentang pilihan yang sama-sama mengorbankan hati nuranimu. Ya, film yang dibesut oleh Gavin Hood ini akan memainkan sebuah drama militer dengan plot cerita yang sempit tapi mampu mengeksplorasi emosimu dengan skala yang lebih besar.

Film berdurasi 102 menit ini akan menyoroti konsekuensi teknologi modern yang dimiliki sebuah militer negara maju. Dimana sebuah operasi militer rahasia yang dipimpin oleh Kolonel Katherine Powell (Helen Mirren). Dengan menggunakan fasilitas drone, sambil melakukan pemantauan dan pelacakan dari jauh ia bersama pilot Amerika, Steve Watts (Aaron Paul) dan co-pilotnya Carrie Gershon (Phoebe Fox) akan melakukan penangkapan pelaku teroris yang telah lama menjadi target buronan di Nairobi, Kenya. Mengetahui kondisi yang tak terduga dan waktu yang begitu sempit, Kolonel Kath mengubah rencana yang sebelumnya hanya melakukan operasi penangkapan berubah menjadi operasi pembunuhan.

Namun rencana tersebut tidak berjalan semudah itu, karena para beberapa dewan petinggi di Amerika salah satunya Lt. Gen. Frank Benson (Alan Rickman) memperdebatkan masalah legalitas dan hukum dari konsekuensi peluncuran misil di tengah permukiman penduduk. Terlebih rencana pembunuhan tersebut dapat berakibat pada korban seorang gadis kecil di dekat target.

Memang tak bisa disangkal, ini sebuah lompatan tinggi tak terduga yang dilakukan oleh Gavin Hood. Padahal dua filmnya yang terlihat kepayahan (X-Men Origins dan Ender's Game) bukan sebuah awal yang bagus untuk melihat kemampuannya menggubah naskah Guy Hibbert menjadi brilliant. Tapi, film berbudget $13,000,000 ini tak disangka menjadi sebuah film yang benar-benar memberikanmu sentuhan nurani sedemikian rupa tentang arti sebuah nyawa.

Gavin Hood membagi scene cerita sekitar empat buah latar tempat yang berbeda. Pertama, markas militer London sebagai tempat penyidikan rahasia teroris. Kedua, Nairobi Kenya sebagai lokasi target teroris. Ketiga, pusat komando teknologi drone di pangkalan udara militer Amerika Serikat. Keempat, Kantor Pusat Pemerintahan Inggris. Meski scene film ini yang terlihat melebar dan komplikatif, malah sama sekali tidak berfokus pada konflik antara pemerintahan dan teroris.

Justru terasa lebih mengkerucut kepada konflik internal yang dialami pemerintah dan lembaga militer itu sendiri. Dan sepanjang film kita hanya dicekoki masalah pertentangan dan beda pendapat soal penembakan misil ke lokasi target yang harus dihadapkan pada gadis kecil yang berdiri didekat area ledakan. Tapi, hebatnya Gavin mampu memberikan begitu banyak isu soal moralitas, hukum dan politik. Tidak hanya itu, banyak konflik cerdas dan perdebatan panas-dingin, dimana setiap orang saling memikirkan hal yang dianggapnya benar namun kenyataannya semua punya resiko besar untuk diambil.

Apapun tindakan yang mereka ambil akan beresiko pada satu nyawa gadis kecil ini. Pertaruhan demi pertaruhan pun dilakukan pemerintah dan anggota militer. Bahkan dari sisi manapun membunuh gadis kecil tak berdosa adalah hal yang kejam dan sadis, bukan? Tapi, dibalik itu ada ribuan nyawa anak-anak lain yang bisa diselamatkan. Ya, terlihat sentimentil dan tajam. Menyodok keras hati nurani bagi pemerintahan dan orang-orang terlibat didalamnya. Ia memberikan sebuah emosi kuat yang akan mempengaruhi batinmu. Bahkan peran eksekutor yang biasanya terlihat sebagai robot yang selalu patuh difilm-film lainpun, sang Aaron Paul dan Phoebe Fox dibalik ruang kontrol drone turut mendapatkan sebuah goncangan batin.

Salah satu kekuatan film ini juga tidak lain dan tidak bukan karena kualitas dari para cast-nya yang solid. Salah satunya pun datang dari artis yang pernah meraih Oscar dalam aktingnya sebagai ratu inggris, Helen Mirren (The Queen, Trumbo). Dibalik panggung yang biasa di isi laki-laki, meski seorang wanita namun karismanya sebagai pemimpin operasi militer ini malah diluar dugaan. Bahkan, tak ada pikiran sedikitpun bahwa ia adalah ibu-ibu paruh baya dengan karakter feminim dan lembut. Sebaliknya ialah satu-satunya karakter yang punya karakter paling keras dan tegas dibanding karakter pria yang ada di film ini. Dan, film juga ini menandakan akhir karir Alan Rickman (Harry Potter) di dunia perfilman akibat kabar kematiannya yang mengejutkan, meski perannya tidak terlalu menghipnotis seperti Helen Mirren, tapi ia tetap tampil bagus memainkan peran sebagai Letnan Jenderal. Dan selain mereka ada juga Iain Glen dan Barkhad Abdi, yang populer karena aktingnya di film Captain Phillips (2013) yang mengisi beberapa adegan yang penting di film ini.

Situasi yang terlihat simple ini memang memberikan sebuah kasus yang cukup komplikatif dan super sensitif. Ia menggiringimu pada sebuah kasus yang lebih dari sekedar pembunuhan dan pengorbanan. Bahkan secara tidak sengaja memberikan renyuhan emosional dan dramatisasi luar biasa yang sanggup membuat hati nuranimu tersentuh dan terkoyak hatinya. Drone yang begitu canggih, bahkan dari ukuran sebesar pesawat sampai ke ukuran sekecil kumbang. Mungkin banyak desas-desus tentang teknologi militer Amerika Serikat yang terlihat sangat licik dan berbahaya bagi privasi negara lain. Walau kenyataannya juga teknologi ini banyak memberikan sisi positif. Dan kebenaran akan teknologi ini juga secara umum masih belum diketahui di mata masyarakat. Tapi, pada akhirnya film ini ingin menyentil sisi gelap teknologi militerisasi dan otoritas pemerintahan di zaman modern.

Eye in the Sky (2016)
Poster Film Eye In The Sky
Eye in the Sky (2016)


OFFICIAL RATING | EYE IN THE SKY (2016):
rating film imdb
GAMBAR FILM | RAN

SINOPSIS : 

Mengisahkan tentang seorang kaisar atau raja yang bernama Hidetora Ichimonji yang memiliki tiga orang anak laki-laki bernama Taro, Jiro, dan Saburo. Karena sudah dimakan usia, Ichimonji berniat untuk mundur dari jabatannya sebagai raja dan membagi daerah kekuasaannya kepada ketiga anaknya. Taro dan Jiro yang merupakan anak tertua dan kedua setuju dengan ide sang ayah dan mendukung ide tersebut. Tetapi sang bungsu , Saburo menertawakan ide ayahnya dan berkata sarkas kalau ide sang ayah hanya akan membawa kehancuran bagi kerajaannya.