LEMONVIE: Crime
Showing posts with label Crime. Show all posts
Showing posts with label Crime. Show all posts


Di sebuah mansion besar dan mewah. Seorang gadis berambut keriting bernama Amanda (Olivia Cooke) masuk untuk menemui teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya, Lily (Anya Taylor-Joy). Meski keduanya berasal dan tumbuh bersama dan sama-sama pula dari golongan keluarga mapan, perihal sekian lama tidak bertemu mereka mengalami kesulitan berinteraksi dan memahami satu sama lain. Ditambah sekelumit masalah personal diantara keduanya, Amanda yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi kejiwaan karena telah membunuh kuda peliharaan ibunya, sedangkan Lily hidup bersama Mark (Paul Sparks), ayah tiri yang dibencinya. Setelah mencoba dan semakin akrab, Lily yang mengetahui sifat sosiopat dalam diri Amanda, meminta Amanda untuk membantunya melakukan rencana pembunuhan terhadap ayah tirinya tersebut.

Thoroughbreds adalah film yang berasal dari debut sutradara Cory Finley, film yang awalnya akan digarap sebagai drama panggung dan mengalami limbo pasca gagal ditayangkan selama 2 Tahun. Film yang mirip dengan "Heathers" karya Michael Lehmann bercerita soal dua gadis yang sangat bermasalah dan kehidupan yang sangat kacau. Lily adalah gadis yang merasa terus-menerus sengsara akibat dorongan dan tekanan dari ayah tiri yang seringkali memaksa Lily secara sepihak, terutama tuntutan masalah sekolah khusus pilihan Mark yang tidak ia suka. Amanda justru kebalikannya, Lily yang ditunjukkan lebih emosional dan pemarah, justru penuh dengan sikap tenang, aneh dan melihat ia bisa memanipulasi air matanya sendiri, membuatnya menjadi sosok psikopat yang creepy.

Tapi, Cory sanggup menuturkan dinamika hubungan diantara keduanya begitu intim dan realistis. Saya seperti sedang menyaksikan dua orang dengan karakter dan kepribadian berbeda. Tapi, keduanya melahirkan chemistry yang aneh tapi likeable, melihat mereka bercengkrama dan bertengkar seperti gadis pada umumnya, namun saat menonton tivi sambil mengkritik akting dalam film klasik atau sambil duduk-duduk di teras membicarakan soal rencana pembunuhan, Wow..! Adapula Tim, pria dewasa, naif dan eksentrik pula sebagai tokoh disfungsional, pria drugdealer yang ditemui dan dibayar untuk melakukan pembunuhan oleh Lily ini kerap hobi bermuluk dan bermimpi hidup sukses dan mapan dengan modal usaha ilegal yang ditekuninya. Tim diperankan Yelchin menjadi perjalanan akting terakhirnya.

Meski Cory punya unsur manipulatif, hingga saya terjebak dengan moralitas para pelaku tokohnya. Didorong juga motif kekanak-kanakkan dan aksi pembunuhan yang saya rasa tidak begitu cerdik tapi diangkat melalui permasalahan, komedi gelap dan satir moral kaum ningrat yang sangat menarik, sampai puncak ending film ini justru malah terasa antiklimaks. Ada sesuatu yang mengambang meski menyelipkan gabungan antara twist dan ambiguitas yang justru tidak dibangun dengan kokoh.







Perempuan cantik berkelahi dan membunuh memang bukan lagi tontonan baru, cukup tengok contoh paling fenomenal Black Mamba yang diperankan Uma Thurman di film Kill Bill vol 1 & 2. Adegan yang selalu dilakoni aktor laki-laki ini kemudian berubah haluan saat perempuan mengambil alih lebih banyak. Tahun 2017 pun turut diramaikan bukan saja melalui "Atomic Blonde" yang mampu membuat akting Charlize Theron sangat anggun sekaligus badass, Korea Selatan pun tidak mau kalah menampilkan perempuan-perempuan berparas girl band ini sama gilanya dengan si "blondie" yang berjudul The Villainess aka Ak-Nyeo.

Sook-hee (Kim Ok-bin) seorang wanita malang yang berusaha mengejar pembunuh ayahnya, kini harus berada dibawah naungan organisasi underground yang dipimpin oleh Kwon-Sook (Kim Seo-hyung). Dengan sebuah identitas baru dan kehidupan baru untuk menyamarkan dirinya sebagai mata-mata dan pembunuh bayaran, Sok-hee yang berharap untuk mendapatkan kehidupan normal bersama anaknya Eun-Hye, tidak serta-merta membuat kehidupan Sook-Hee terlepas dari masalah ketika ia dihadapkan pada dua pria yang dicintainya Joong-sang (Shin Ha-kyun) sang mantan kekasih dan Hyun-soo (Bang Sung-Jun) pria yang baru dikenalnya.


Sebelum saya membahas bagaimana adegan bak-bik-buk dalam film ini yang tampil begitu panas dan brutal, saya ingin mempertegas lagi bagaimana sosok perempuan di film ini begitu eksklusif. Jung Byung-Gil sang sutradara memberi posisi eksklusif bagi sosok wanita yang justru berbeda dari Atomic Blonde dalam ruang lingkup cerita espionase yang lebih dalam tapi tidak menekan kepribadian dan emosi sang tokoh utama. The Villainess sebaliknya, membawa potensi cerita yang lebih sempit dengan mengedepankan sensitifitas tokoh utama, Byung-Gil memporsikan cerita lebih mendasar dan lebih personal.

Diluar tema yang tampak begitu deras akan aksi. The Villainess mungkin bisa saya sebut sebagai melodrama-action yang tak kunjung henti memperlihatkan ketar-ketir kehidupan Sook-hee. Jung Byung-Gil beserta penulis naskah Jung Byung-Sik membuat ceritanya kian memporsir kedekatan kita pada emosi dan perasaan Sook-hee. Kita ikut bersimpati sekaligus menyukainya. Ketika ia beraksi segila, selincah dan sebadass, tapi tak luput akan sisi feminim dan manusiawinya Sook-hee. Dia tampak kuat dan beringas ketika menghabisi lawan-lawannya tanpa ampun, tapi disisi lain diperlihatkan sisi wanita naif dan lemah saat ia dipertemukan dengan kehidupan percintaan dan tenggelam oleh perasaannya tersebut. Dengan setumpuk kehidupan cinta dan pertemuannya dengan dua orang pria yang dicintainya, tentu selipan unsur romansa pastinya saya temui disini, meski adegan tersebut tampil begitu klise dari yang paling menempel dalam otak saya saat Sook-hee berpayungan dengan Hyun-soo ditengah hujan atau hal-hal romantis klise lainnya sehingga sekelibat saya seperti sedang menyaksikan serial drama korea, tapi ini tidak melunturkan imej The Villainess sebagai film action, justru mempertegas hubungan emosional para tokohnya terkukuh lebih solid.


Disisi lain Byung-Gil mencoba mengekspansi kehadiran wanita jauh lebih berpengaruh dalam film ini, seperti halnya Kwon-Sook sebagai tokoh chief wanita yang tegas dan karismatik, hingga para wanita assassin lainnya selain Sook-hee turut menyumbangkan ototnya, hingga terasa wanita di film ini tampak seperti kunoichi (ninja wanita) yang ototnya lebih banyak terpakai daripada pria (selain para anggota kriminal tentunya). Hingga menyelipkan seputar kultur modern di Korea Selatan soal operasi plastik sebagai standarisasi kecantikan di Korea, meski hal ini hanya terselip melalui sepercik adegan tak penting, tapi cukup mewadahi sedikit sindiran Byung-Gil mengenai hal ini.

Sebagai elemen utama yang disajikan yaitu aksi, ternyata berperan besar dalam menawarkan sinematis yang variatif dan belum pernah saya saksikan sebelumnya. Selain polesan sinematografinya yang sangat apik, perpaduan warna palette yang selalu pas dalam menggambarkan setiap moment yang berbeda-beda. Tapi, yang perlu digaris bawahi adalah penggunaan teknik dan efek kamera yang sangat fantastis saat aksi mulai diputar. Beberapa momen aksi diambil dengan efek teknikal "first person" (istilah dalam game FPS yang mengambil langsung sudut pandang orang pertama) hingga efek "fisheye", memberikan pengalaman sinematis yang begitu melekat dan dinamis dengan mata saya sehingga aksi brutal layaknya The Raid dan Kill Bill ini seolah kita sendiri yang mengalaminya, tanpa harus membuat saya pusing dan bingung dengan gerakan kameranya yang sangat aktif dan liar.



Tapi, sayang The Villainess memiliki ending yang tidak begitu konklusif dan terkesan membingungkan. Entah apa karena saya sebagai penulis dan penonton  yang kurang peka atau memang Byung-Gil yang kurang menggali lebih dalam soal konflik cerita. Kontradiksi ini lahir dari hubungan Sook-hee dan Joong-sang, perpisahan dan pertemuan mereka tampak begitu ambigu, apalagi sosok Joong-sang yang memiliki rahasia yang sedari awal sudah saya tebak dan memang mencurigakan. Dan hal aneh ini mengganggu saya terutama *SPOILER: Saya tak mengerti kenapa Joong-sang tega memutuskan membunuh anak darah dagingnya sendiri Eun-Hye yang buat saya masih sangat lucu-lucunya, (ingat adegan anak buah Joong-sang menyandra Hyun-soo dan Eun-Hyo dirumah, kemudian Hyun-Soo mengatakan pada Joong-sang melalui handphone bahwa Eun-Hye adalah anak kandungnya, tapi sayang jawaban dari Joong-sang sengaja dibuat tidak terdengar), ini membuat saya makin tak paham, apakah Joong-sang tak mempercayai kata-kata Hyun-Soo atau memang murni Joong-sang ini goblok dan tak menyadari bahwa Eun-Hye adalah anaknya sendiri? Tapi sayangnya Joong-sang mengakui pernah jatuh cinta pada Sook-hee, mereka menikah dan saya rasa dia tidak gila dan saya rasa dia hanya sedikit goblok dalam bertindak. Dari sini saya kontradiksi dengan kepribadian dan masalah yang dialami Joong-sang, hanya karena alasan pernah membunuh ayahnya Sook-hee, ia kemudian memalsukan kematian,  menyengsarakan Sook-hee dan tega membunuh Eun-Hye? Ini terlalu dangkal untuk sebuah konklusi. Meski saya menyadari mungkin seharusnya Byung-Gil dan Byung-Sik mengambil lebih banyak waktu menceritakan lebih dalam profil Joong-sang, sehingga konklusi terasa lebih masuk akal dan beralasan. Tapi, sayang ini membuat cerita menjadi timpang dan membuatnya menjadi menyebalkan. *SPOILER END*. Selain itu saya pun tak memahami apapun kondisi yang terjadi di universe The Villainess, termasuk organisasi yang dipimpin Kwon-Sook yang notabene apakah mereka berasal dari organisasi dibawah naungan polisi atau memang mereka berasal dari sindikat kriminal elite semacam John Wick yang menugaskan Sook-hee dan para wanita (cantik) rekrutan ini membunuhi target tanpa harus mempertanyakan siapa mereka. Meski ini bukan pondasi yang ingin disampaikan, tapi ini juga menimbulkan tanda tanya besar di akhir, sehingga menimbulkan kemungkinan adanya The Villainess 2, meski hal ini tak mungkin terjadi.




🙶 Shame isn't a strong enough emotion to stop us from doing anything at all.🙷

Tindak kekerasan dan pemerkosaan sudah pasti jadi momok menakutkan bagi kaum wanita. Hal ini wajar, secara kejiwaan, korban akan mengalami gangguan mental hingga mengakibatkan trauma berat berkepanjangan. Tapi, Elle memutarbalikkan persepsi diatas, saat karakter wanita paruh baya bernama Michele Leblanc (Isabelle Huppert) merefleksikan ambiguitas moral, mempertanyakan sepetak pikiran dan karakterisasi penuh komplikasi. Sehingga, dugaan saya meleset soal film "raped and victim" yang merujuk pada tema balas dendam atau semacamnya (bayangan liar saya soal film sadis "I Spit On Your Grave"), atau juga terror home invation ala film-film Alfred Hitchcock. Justru lewat karya sutradara Paul Verhoeven ini, saya menemukan fakta aneh bahwa "ironi tragedi" dalam kasus utama film ini dianggap wajar oleh si korban alias si tokoh utama.


Michele adalah CEO sebuah developer game terkemuka. Kehidupan sosial Michele memang tidak begitu manis, berbagai gejolak hubungan antar keluarga, teman dan anak buahnya di kantor pun menjadi bibit permusuhan. Anaknya, Vincent (Jonas Bloquet), pria canggung dan kekasihnya Josie (Alice Isaaz) yang kasar dan seenaknya saja. Richard (Charles Berling), Ex-husband Michele mulai terlibat hubungan baru dengan wanita cantik dan muda, Helene (Vimala Pons). Robert (Christian Berkel), pacar gelap Michele yang ternyata suami dari sahabatnya Anna (Anne Consigny). Irene (Judith Magre), ibu Michele yang sakit-sakitan coba bertunangan dengan pemuda yang lebih muda darinya. Dua tetangga yang ramah tinggal berseberangan didepan rumahnya, Patrick (Laurent Lafitte) dan istrinya Rebecca (Virginie Efira). Dan juga masa lalu kelam Michele sehubungan ayahnya yang dianggap psikopat sekarang sedang mendekam di penjara.

Berbagai perspektif lengkap tokoh muncul menimbulkan riot, mencoba merelasikan setiap masalah dengan peristiwa yang menimpa Michele. Tapi, masalah bukan disitu saja, film adaptasi novel karya Philippe Djian berjudul "Oh..." ini memang menjebak kita melalui kasus perkosaan, menerka pelaku, hingga teror mengintai diri Michele bak film-film detektif pintar. Berkonsentrasi melalui deskripsi sang tokoh utama, bermain-main dengan persepsi karakter, mencampur rasa empathy, curiga dan amoral, menimbulkan pertanyaan "kenapa" dan bukan "siapa" yang memperkosa Michele. Memperhitungkan apakah Michele patut mendapatkannya atau sebenarnya memang ia korban seutuhnya?


Nama Paul Verhoeven memang mengejutkan saya, rupanya dia dibalik dua cult classic populer "Robocop" dan "Total Recall" yang bahkan kesuksesannya telah di remake ulang. Lain dari itu pun konten seksual dan nudity bukan barang baru bagi sutradara berdarah Belanda ini, "Basic Instinct", dan juga raped theme "Hollow Man" pun turut membuat saya semakin dekat dengannya. "Black Book" pun tak kalah gilanya, menjual "kehormatan" demi "nyawa", hingga mendarat dalam salah satu film Prancis pertamanya, Elle pun sukses menyajikan pscyhological drama yang membingungkan tapi gila. Dilema berakting dari sekedar telanjang, diperkosa, obscene behaviour, ketelanjangan hingga sampai dipermalukan, saya rasa Isabelle Huppert patut mendapatkan "two thumbs" sebagaimana Elle adalah karir terbaiknya. Dimana artis-artis hollywood yang pernah ditawari Verhoeven pun menolak peran dengan alasan yang saya rasa sangat-sangat wajar ditolak, dan Huppert berani melakukannya.

Identik dengan "kontroversi", Elle memang bukan film yang alurnya mudah ditebak, bukan masalah jika saya sendiri sudah tahu siapa pelaku-"nya". Film yang juga ditulis naskahnya oleh David Birke memang lebih mengedepankan esensi provokatif, kesannya menonjolkan sisi kotor dan eksploitasi seksual, berulang kali hingga menemukan olokkan yang sifatnya humiliate. Meletakkan akting Isabelle Huppert yang juga totalitas, saya pun sedikit membayangkan karakter satu ini dikesankan sebagai wanita obscene, tapi dibalik itu juga pikiran saya diguncang kembali oleh plot sehingga menimbulkan kontradiksi di akhir, menyatukannya dengan obsesi sampai ke sadomasokhisme yang gila. "Good" or "Bad", semua tergantung persepsi masing-masing mendefinisikan sang wanita bernama Michele, impulsive, dirty, ambiguous, odd and complex.



| Director |
Paul Verhoeven
| Writer |
David Birke
| Cast |
Anne Consigny, Charles Berling, Isabelle Huppert, Judith Magre, Laurent Lafitte, Jonas Bloquet, Alice Isaaz, Christian Berkel
| Studio |
SBS Productions
| Rating |
R (for violence involving sexual assault, disturbing sexual content, some grisly images, brief graphic nudity, and language)
| Runtime |
130 minutes (2h 10min)



OFFICIAL RATING | ELLE (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"TeKillYah."

Musik dan aksi. Dua hal penting yang sering saya dengar dari sebagian reviewer (kritikus) tentang film terbaru Edgar Wright. Sebagai heist movie tidak seperti film-film Wright pada umumnya, contoh trilogy Cornetto "Shaun of the Dead", "Hot Fuzz", dan "The World's End", termasuk film favorit saya "Scott Pilgrim vs. the World" yang ke semua lebih kental unsur komedinya yang konyol. Tapi, Baby Driver lebih menekankan unsur stunning action yang terkesan stylish hingga mendebarkan saat Elgort menekan pedal gas, nge-drift, hingga kejar-kejaran polisi yang mengingatkan saya dengan game "GTA V" yang bahkan aksi tersebut jauh lebih kece dari "The Fate of the Furious". Formulasinya adalah menggabungkan unsur audio (musik) dengan visual gambar dalam balutan koreografi non-stop dan quickly yang sederhananya mirip kartun "Tom & Jerry".


Baby, nama yang terdengar unik, sama seperti karakter lain, Darling (Eiza Gonzalez), Buddy (Jon Hamm), Doc (Kevin Spacey), dan Bats (Jamie Foxx). Baby adalah salah satu anggota kriminal yang dipimpin oleh gembong kriminal Doc sebagai otaknya. Baby dipercaya sebagai sopir khusus para perampok saat menjalankan misi karena kemampuan menyetirnya yang pro. Tapi, tentu saja sejak bertemu dengan pramusaji cantik yang bekerja di coffee shop, Debora (Lily James) mulai membuatnya jatuh cinta, hingga demi wanita pujaannya tersebut Baby akhirnya memutuskan berhenti sebagai anggota kriminal dan bijak untuk mencari uang yang lebih halal. Tapi, sayang dunia hitam telah menguasai kehidupannya, tuntutan dirty job seakan tiada kata selesai untuknya, apalagi ancaman serius datang menghampiri orang-orang yang terdekatnya termasuk Debora, sampai salah satu anggota baru psikopat sinting bernama Bats yang hadir memberi kekacauan lebih besar membuatnya semakin mustahil untuk meninggalkan malapetaka karirnya tersebut.


Romansa muda-mudi, tema musik kental hingga menyajikan dunia keji kriminal. Perpaduan itu nyaris terkukuh kuat dengan sajian stylish hingga tempo cepat. Hal yang menegaskan kepiawaian Wright memadukan gelora musik sebagai instrumen penggerak aksi utama. Film ini termasuk unik, sebagai sutradara NERD ia cermat mensinkronisasi antara alunan visual dalam gerak-gerik, tembakan pistol, dan setiap ketukan benda-benda sekitar dengan iringan musik pendamping. Terlebih Baby yang diceritakan mengidap penyakit Tinitus memaksanya mendengarkan musik terus-menerus melalui earphone yang tersambung pada ipod-nya, baik dalam rumah, dijalanan, maupun saat aksi mengemudikan mobil hingga kejar-kejarannya bersama polisi. Musik adalah andalan utamanya, memasuki ranah romantisme yang menghubungkan Baby dan Debora, antara selera musik yang sama hingga obrolan demi obrolan yang "nyambung" menambah frekuensi dan referensi musik yang kental dalam film ini.



Tapi, Baby Driver memiliki kelemahan di awal cerita. Meski didorong aksi melalui gelagat keren dan quirky Ansel Elgort dibalik spontanitas gerak tari ekspresif dalam mobil, tapi aksi pun bukan barang baru yang menjelma menjadi sequence repetasi yang tidak lagi "wah", hal ini menyebabkan separuh awal cerita sedikit melembek. Apalagi film ini tidak didorong dengan ledakkan apalagi penggunaan teknik CGI yang diharamkan Wright dalam film ini. Hal ini karena film hanya berfokus pada masalah sang tokoh utama dan bukan pada adegan perampokannya, sama seperti kisah "Drive" yang diperankan Ryan Gosling. Sama-sama eksis sebagai supir para kriminal, kisah cinta, hingga teror yang mengganggu kebebasan hingga pertobatan sang karakter sentris. Hingga sudah dipastikan jangan pernah mencoba berekspetasi soal perampokan jenius dan pintar seperti "Inside Man", sudah pasti kamu takkan temukan itu disana. Namun, untung dengan cekatan tempo dan aliran cerita seketika berubah di pertengahan, saat adegan gore dan darah mengucur deras pertama kali. kekacauan dan kegilaan mulai menekan aksi kejar-kejaran yang begitu panas dan menegangkan. Sekaligus playlist musik menghentak mengiringi tanpa henti di setiap aksi yang memacu adrenalin membuat adegan aksi semakin seru.


Sejujurnya film ini memang bagus, tutur gaya dan estetika yang unik secara garis besar Baby Driver hampir punya segalanya. Tapi, karena diluar ekspetasi Baby Driver tidak termasuk kriteria kriminal yang cerdas, hanya naskah dramanya saja Wright punya keseimbangan dan kepintaran memadu aksi dan romansa cinta yang pas, apalagi film ini tidak lupa kepiawaian dibalik para aktor dan artis yang beradu akting dengan sentuhan humor non-verbal menyangkut topeng Austin Power, hingga plesetan kata-kata "Tequilla" di film ini. Terutama Jamie Foxx sebagai troublemaker kriminal yang sinting, rusuh dan berbahaya, Jon Hamm dan Eiza Gonzalez sebagai pasangan seksi yang tak kalah mesranya memadu kasih disetiap adegan, Kevin Spacey relevansi karakter yang lumayan cukup memikat sebagai boss kriminal, dan Lily James sebagai love interest yang asyik dan supel menjalin kisah cinta yang terasa sweetness dengan kecanggungan Ansel Elgort yang sedikit pendiam. Apalah daya meski saya masih terganjal oleh cerita yang tidak se"wah" semestinya, namun Baby Driver adalah film action terkece tahun ini dalam balutan aksi "plus" musik yang spontan, asyik, menegangkan sekaligus keren di waktu bersamaan.

♫ *BONUS* Favorite Soundtrack:
  1. Jon Spencer Blues Explosion - Bellbottoms
  2. Focus - Hocus Pocus
  3. Kid Koala - "Was He Slow?"
  4. Blur - Intermission
  5. Golden Earring - Radar Love
  6. BOGA - Nowhere to Run
  7. Carla Thomas - B-A-B-Y
  8. Brenda Holloway - Every Little Bit Hurts
  9. Sky Ferreira - Easy
  10. Young MC - Know How
  11. Jonathan Richman & the Modern Lovers - Egyptian Reggae



| Director |
Edgar Wright
| Writer |
Edgar Wright
| Cast |
Ansel Elgort, Jon Hamm, Eiza Gonzalez, Lily James, Kevin Spacey, Jamie Foxx, Jon Bernthal
| Studio |
Sony Pictures
| Rating |
R (for violence and language throughout)
| Runtime |
112 minutes (1h 52min)



OFFICIAL RATING | BABY DRIVER (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"The inside story of the world's greatest manhunt."

REVIEW:

Setelah tidak sukses dengan filmnya yang berusaha menjadi blockbuster 2012 lewat "Battleship". Ini tidak membuat sutradara Peter Berg patah arang, mencoba hijrah ke ranah "true event" melalui "Lone Survivor" yang ternyata cukup berhasil meraih atensi penonton, Berg lalu menemukan secercah ilham bahwa mungkin film seperti inilah yang seharusnya ia buat. Dan terbukti salah satu film suksesnya yang bertajuk Oil is a monster, Deepwater Horizon berhasil memukau penonton dengan hingar bingar cerita yang mumpuni serta ledakkan dan efek CGI massive yang bombastis. Yakin akan prospek filmnya bernilai cukup tinggi, Berg lalu optimis mengambil langkah kedua, memanggul salah satu tragedi besar dalam sejarah Amerika Serikat, bom Boston sebagai salah satu kejahatan terorisme terbesar setelah peristiwa 9/11.

Patriots Day adalah insiden yang masih segar dalam ingatan karena terjadi pada 15 April 2013 lalu tentang 2 kali pemboman di tempat sama yang terjadi kala festival marathon diselenggarakan di kota Boston. Tapi tenang saja, meski hanya berselang 4 Tahun lalu bukan berarti film ini akan melempem dalam cerita karena kita sudah tahu seluk-beluk kisah yang kala itu hangat diperbincangkan dunia. Dengan dana sebesar $45,000,000 ini Berg menjadikan Patriots Day bukan saja tentang kilas balik dan honorable story of humanity, melainkan sebuah film besar tentang kota Boston itu sendiri.

Mencoba untuk tidak repetitif pada kisah aslinya, Patriots Day memang tidak murni menceritakan kisah biopik yang diperankan oleh Mark Wahlberg sebagai polisi Boston bernama Tommy Saunders. Tommy ternyata hanyalah tokoh fiktif belaka, meski belakangan diketahui awalnya Wahlberg menolak untuk berpartisipasi dalam film ini, tapi kemudian berubah pikiran setelah membaca naskah yang sudah dibuat oleh Matt Cook, Joshua Zetumer dan Peter Berg itu sendiri. Meski tokoh utama hanyalah fiktif belaka, tapi apa yang diceritakan dalam film ini jujur merangkai cerita dari a sampai z. Justru peran Tommy seolah representasi diantara ratusan warga dan polisi Boston tak bernama yang ikut berperan dalam evakuasi, menjaga, dan menolong atas tragedi besar di kota tersebut.


Tragedi bom Boston memang hanya sepercik cerita kecil yang jika kita telusuri lebih dalam adalah kisah panjang dalam menaklukan terorisme di kota tersebut. Berg seolah menafsirkan film ini dengan cara yang berbeda, tragedi bom Boston memang menakutkan dan mengerikan, tapi sesuai judulnya ini justru menitik beratkan tentang arti kepahlawanan, patriotisme, semangat serta keberanian warga Boston saat dirundung duka dan rasa takut saat ancaman sedang berkecamuk di Boston. Terutama ini bukan saja tentang Tommy sebagai protagonis, melainkan ini berlaku kepada semua penegak hukum hingga warga sipil sebagai para pelaku yang ambil bagian dari keseluruhan agenda dan kejadian heroisme di kota tersebut.

Hal yang membuat saya berdecak kagum adalah bukti Berg meracik dua naskah terpisah antara "Boston Strong", difokuskan sebagai adegan aksi dan ketegangan dalam cerita. "Patriots' Day", difokuskan sebagai drama faktual, menjadi satu-kesatuan cerita yang bersinergi. Deepwater Horizon adalah salah satu dari kepiawaian Berg dalam bercerita, kebanyakan dalam setiap konsep film drama-action yang menghabiskan separuh durasinya hanya untuk bermain narasi dan dialog, selalu keteteran saat penontonnya menunggu bombardir action yang menggelora sudah dihinggapi rasa bosan. Tapi, konsistensinya dalam bercerita menjadi nilai tambah selain Berg sanggup menceritakan setiap detil dan seluk-beluk kejadian aslinya secara substansial sembari menjaga tempo dan intensitas kala membentuk power dan background. Berg pun berhasil menyatukan hasil film gambarnya sendiri dengan setiap rinci bukti rekaman otentik CCTV, foto, dan rekaman amatir masyarakat secara keseluruhan. Hal yang membuat saya heran kenapa ia membuang waktu dan uang hanya untuk membuat film seperti Battleship tempo lalu?


Patriots Day adalah film ketiga Mark Wahlberg bekerjasama dengan Peter Berg yang rata-rata ke semua filmnya adalah adaptasi kisah nyata. Tapi, di film ini Wahlberg mencoba berakting menjadi dirinya sendiri kala beberapa kali ia bertingkah bodoh, berkata kasar dan sarkas kadang sempat memancing tawa, tapi kontribusi dan ketangguhannya disetiap kondisi cukup menjadi delegasi patriotik polisi yang kuat dikota tersebut, hanya saja keterlibatannya di setiap adegan aksi terlalu kebetulan dan sengaja ditonjolkan, membuat saya sedikit bertanya pada delusi Berg terhadap tokoh utamanya, Tommy yang kakinya keseleo akibat kekonyolan yang dilakukannya di awal film. J.K. Simmons, Kevin Bacon, dan John Goodman masing-masing sebagai aparat petugas hukum meski tidak semenonjol peran Wahlberg tapi peran mereka sendiri mewakili setiap aksi dan keberanian di dalam lapangan maupun luar lapangan kota Boston. Hanya satu yang membuat saya agak kaget dan tidak menyangka, peran Melissa Benoist sebagai Katherine Russell, istri dari teroris pelaku peledakan bom, How adorable she is wearing hijab!?

Meski terbilang sebagai film aksi terorisme aktif, tapi Berg mencoba tidak terlalu provokatif ditengah langkah aksi propogandanya. Ia bersikap netral bahwa selain kita disuruh berada dalam posisi masyarakat dan polisi, kita pun masuk ke ruang lingkup para pelaku teroris, idealisme dan motifnya yang membuat kita menafsirkan ulang tanpa harus membela ataupun melaknat para pelaku teroris karena isu agama ataupun kaum tertentu. Lagipula Patriots Day memang bukanlah film yang fokus untuk mengenang para korban pemboman, melainkan aksi semangat dan keberanian yang ditunjukkan oleh seluruh warga Boston baik itu warga sipil, polisi, para korban, pemimpin gubernur dan mereka semua yang tinggal dan hidup di kota Boston adalah sebentuk kekuatan yang hadir melawan ancaman besar dan terorisme.



| Director |
| Writer |
| Cast |
CBS Films
| Rating |
R (for violence, realistically graphic injury images, language throughout and some drug use)
| Runtime |
133 minutes (2h 31min)



OFFICIAL RATING | PATRIOTS DAY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"I will beat you like a Cherokee drum."

REVIEW:

Apa cuma saya yang merasa kalau instalment ke-8 dari The Fate of the Furious ini terasa kurang semenjak kepergian aktor Paul Walker? Apalagi di sekuel terbarunya ini ceritanya soal pengkhianatan dari pemimpin yang menyebut kelompok mereka sebagai 'family' yaitu Dom (Vin Diesel). Mengikuti sepak terjang tokoh protagonis sentris Optimus Prime di "Transformers: The Last Knight" yang juga sama-sama berkhianat, seharusnya film yang lagi-lagi berganti sutradara menjadi F. Gary Gray, "The Italian Job" dan "Straight Outta Compton" ini menjadi sekuel paling emosional dan menegangkan, tapi apalah daya, meski franchise ini sudah berusaha bertransformasi bagus menjadi heist movie sejak film ke-5 nya ternyata film ini hanya sebuah repetesi latah pada film-film FF sebelumnya.

Kedatangan villain baru seorang hacker bernama Chiper (Charlize Theron) yang sanggup merekrut dan membuat Dom membelot dari kelompoknya, memang tampak menjanjikan bahwa kali ini musuh yang dihadapi lebih manipulatif dan lebih berbahaya dari biasanya. Yups, semenjak Charlize Theron berhasil memukau aksinya lewat di "Mad Max: Fury Road", sebagai villain utama wanita pertama, The Fate of the Furious serasa dipenuhi aksi menegangkan dan cerita yang lebih kompleks dari biasanya. Apalagi Hobbs (Dwayne Johnson) juga harus bernasib na'as saat ia harus dijebloskan ke penjara gara-gara pengkhianatan Dom, menyisakan Letty (Michelle Rodriguez), Roman (Tyrese Gibson), Tej Parker (Ludacris) dan Ramsey (Nathalie Emmanuel) tanpa leader, menyadari bahwa sedari awal memungkinkan misi mereka semakin mustahil untuk dilakukan.


Namun sepertinya jangan terlalu berharap lebih banyak dari film ini, teaser dalam trailer film ini pun hanya sekedar memperpanjang antrian bioskop. Premis tentang pengkhianatan Dom pun hanya sekedarnya saja, Chris Morgan sebagai penulis naskah film ini pun terlampau dangkal dalam menghadirkan konflik dan permasalahan yang justru dijejali begitu banyak plot cerita yang terlampau terpaksa. Sebetulnya tidak masalah toh ini memang bukan tipikal film yang mengedepankan esensi cerita namun berusaha memenuhinya dengan aksi penuh ledakan, adrenalin, kebut-kebutan mobil di jalan raya, maskulinitas, dan steroid. Tapi, jika saja Gray dan Morgan mau berusaha tidak mengungkapkan twist hingga akhir cerita dan sedikit mau menawarkan hal baru dengan sebuah aksi yang bercampur suspense, mungkin agaknya film ini sedikit berbeda. Tapi, keduanya tentu saja menyepelekan berbagai aspek terutama masalah cerita yang tak masuk akal, mengada-ada, dan tidak berbobot-bobot.


Ditambah saya lebih prefer dengan duo beradik Deckard Shaw (Jason Statham) dan Owen Shaw (Luke Evans)  sebagai villain ketimbang Chiper. Musuh macam apa yang memiliki gerak terbatas, berpingit ria didalam ruangan dan lebih banyak mengancam musuh di balik layar komputer tanpa banyak melakukan aksinya secara langsung. Jujur saja Chiper tidaklah sehebat yang saya bayangkan, mungkin inilah faktor kenapa ia ingin merekrut Dom dalam timnya, motifnya klise, ditambah kehebatan dirinya hanyalah sebatas nama besarnya sebagai hacker dan selebihnya tidak ada. Dan bodohnya, meski tampak sebagai villain yang manipulatif dan licik, percayalah Chiper jauh dibawah rata-rata dan lebih mudah diperdaya musuhnya sendiri ketimbang ia lebih cerdik mendominasi alur cerita.


Di satu sisi, sayapun tidak menyukai kehadiran Deckard yang kemudian bersekutu dengan Hobbs, Letty dkk. Ada rasa canggung antara keterlibatan dirinya yang sama-sama berada tergabung untuk menangkap Chiper, terlebih pemaksaan motif Deckard yang punya dendam pribadi pada Chiper pun terkesan diada-adakan, membuat saya berpikir tidak peduli lagi kenapa ia mesti ada di film ini kecuali menambah jumlah orang botak dan juga kontribusinya dalam maksimalitas adu mulutnya bersama Hobbs, meski parahnya tokoh Deckard pun tidak ditampilkan secara maksimal dan justru hanya jadi bulan-bulanan di film ini yang semestinya diperlakukan jauh lebih baik dan sehebat dia di film sebelumnya. Dan beberapa konflik cerita, argh! entah saya betul-betul muak dengan berbagai inkonsistensi dan dangkalnya cerita membuat saya sedikit capek menuturkan deretan buruknya materi naskah di film ini.


Tapi, karena tujuan saya menonton film ini hanya sekedar hiburan tanpa menuntut cerita yang lebih kompleks, The Fate of the Furious memang banyak menghadirkan keriuhan dan aksi yang memborbardir dari segelintir efek CGI dan modal menghancurkan puluhan mobil. Dari sekedar gimmick sequence yang terinspirasi dari film "World War Z" versi mobil di kota New York atau juga klimaks inovatif dari kejar-kejaran mobil di atas lantai es dan submarine, ini memang terasa sedikit seru dan asyik. Terlebih beberapa dialog dan lontaran adu mulut yang selebihnya banyak ditonjolkan dari Tyrese Gybson yang konyol hingga perubahan drastis sosok Deckard yang lebih banyak beraksi secara lucu. Well, entah jika film ke-9 dengan judul yang mungkin bisa jadi Fire of the Furious, Fury of the Furious, Fantastic of the Furious, atau Final of the Furious akan kembali berlanjut (dan sepertinya pasti), saya berharap suatu saat franchise ini segera diakhiri karena buat saya tanpa hadirnya Paul Walker ada moment yang terasa hilang bersamaan hilangnya dramatisasi cerita yang lebih memupuk soal 'family' yang lebih emosional pada franchise ini, meski di dalam film kehadiran Paul akan tetap dibuat selalu ada dan hidup sebagai Brian O'Conner sampai kapan pun, mungkin suatu saat karakter ini akan kembali di inkarnasikan dengan sosok aktor lainnya, maybe? we'll see soon...



| Director |
| Writer |
| Cast |
Universal Pictures
| Rating |
PG-13 (for prolonged sequences of violence and destruction, suggestive content, and language.)
| Runtime |
136 minutes (2h 16min)



OFFICIAL RATING | THE FATE OF THE FURIOUS (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes