LEMONVIE: Horror
Showing posts with label Horror. Show all posts
Showing posts with label Horror. Show all posts


Dengan sebuah horror apocalypse tentang invasi alien terhadap bumi, film horror mainstream yang sedikit tampak seperti salah satu karya novelis terkenal Stephen King yang sudah diadaptasi kedalam film tahun 2008, The Mist. Film debut sutradara sekaligus penulis naskah John Krasinski, bersamaan dengan sang istri Emily Blunt, yang keduanya pun sama-sama merangkap sebagai tokoh utama juga sebagai keluarga pasutri tiga anak. Evelyn Abbott (Emily Blunt), Lee Abbott (John Krasinski), dan kedua anaknya Regan (Millicent Simmonds) dan Marcus (Noah Jupe). Konsep ceritanya sama seperti "It Comes At Night" tentang keluarga suburbian ditengah hutan lebat, yang harus bertahan hidup dari ancaman mengerikan yang mengintai kapanpun dimanapun oleh sesosok makhluk yang buta namun memiliki pendengaran yang sangat tajam. Sesuai judulnya, film ini tentang sebuah hutan yang sedikitpun tidak boleh mengeluarkan suara keras. Sekilas untuk seorang Krasinski yang notabene baru menggeluti kursi sutradara tidak cukup kerepotan dalam membuat wahana menegangkan dan pintar memainkan narasinya. Sayangnya, cerita film yang digarapnya memiliki banyak kekurangan, cukup beralasan bahwa beberapa adegan dalam film tidak terlalu pintar dan memiliki banyak kecolongan logika. Singkatnya, Krasinski membuat konsep yang terencana dan pintar dalam memainkan latar, tetapi membuat setiap perilaku karakter dalam film ini mempunyai banyak kecerobohan dan kebodohan. Contohnya, saat Evelyn yang mengambil cucian basahnya dan tersangkut oleh paku di tangga.

Meski begitu naskah dan cerita yang juga dibantu oleh Bryan Woods dan Scott Beck, bukanlah point yang membuat A Quiet Place jatuh total. Film ini tentu saja digarap dengan sangat baik oleh Krasinski, melalui sinematografer Charlotte Bruus Christensen yang mampu menghanyutkan saya dengan ketenangan dalam gambar siluet yang indah. Dengan sigap pengambilan landscape ladang jagung, hutan dan kota mati yang sebetulnya tidak terlalu diperlihatkan secara detil sebagaimana cerita film ini pun tidak begitu panjang lebar soal sebab dan asal muasal secara lebih luas, namun dengan gaya bak film bisu mengantarkan ketegangan dan atmosfer yang tak pernah lepas kendali secara sinematis. Selain itu, hal yang membuat A Quiet Place mampu meraih score 95% di rottentomatoes bukan karena horror ataupun konsep ceritanya, tetapi bagaimana Krasinski tetap memasukan unsur soal keluarga begitu kuat dan emosional. Pesan cerita dalam balutan konflik keluarga, dari peran Lee seorang ayah yang menjaga keluarganya tetap utuh, Evelyn yang berjuang mati-matian sebagai ibu saat ia hendak melahirkan anak ditengah kemelut bahaya, dan kedua anaknya terutama Regan, gadis yang merasa bersalah atas masa lalu yang dilakukannya, yang juga menganggap orang tuanya tidak lagi mempedulikan dan menyalahkannya atas apa yang terjadi.

Meskipun saya merasa monster dalam film ini tidak terlalu terlihat mengerikan, apalagi monster yang tidak mampu melihat ini hanya terlihat beberapa kali sekelibat seperti bayangan. Tapi, horror yang mengandalkan jump scare dan atmosfer ini tetap konsisten menjaganya sampai akhir, dengan konklusi yang tidak sampai jatuh pada antiklimaks.







Dulu saya sempat mengira bahwa film horror adalah salah satu out date genre yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Melihat bagaimana pola pikir masyarakat yang sudah begitu maju dan seolah mereka tidak lagi gampang ditakuti oleh apalagi hal berbau mistis. Mendapati cerita teman saya yang baru menonton film IT, alih-alih takut sepanjang film, teman saya yang sebetulnya terbilang super-duper penakut malah menganggap Pennywise adalah badut yang lebih banyak berbuat konyol ketimbang seram. Tapi, sungguh daya tarik horor tak ubahnya genre lain yang berkembang seiring semakin canggihnya teknologi CGI, ada yang menyebutnya horror anti-mainstream atau modern horror. Horror jalur baru inilah yang kerap menghasilkan horror berkualitas dengan hasil berbeda seperti "The Witch" dan "It Comes At Night." Nah, kebetulan digarap oleh studio yang sama, A24 kembali menelurkan film antimainstream lainnya berjudul Hereditary.

Hereditary punya formula yang sama dengan keduanya, yaitu horror psikologis nan mengganggu lewat sesuatu yang tak nampak tapi menciptakan rasa takut dan cemas luar biasa. Dinahkodai oleh debut sutradara Ari Aster yang juga merangkap penulis naskah, menjadikan film Hereditary yang cukup banyak menjadi perbincangan hangat ini sukses membuat saya hampir terlompat dari kursi bioskop oleh pengalaman teror dengan rasa berbeda yang bahkan tidak saya jumpai dari film The Conjuring sekalipun. Meski tidak relevan untuk membandingkan dengan film tersebut, tentu saja Hereditary memiliki satu tingkat lebih baik dari film garapan James Wan ini.


Bercerita tentang Annie (Toni Collette) yang berprofesi sebagai pembuat miniatur bangunan, bersama dengan keluarga kecilnya yang terdiri dari suaminya Steve (Gabriel Byrne) dan kedua anaknya masing-masing si sulung, Peter (Alex Wolff) dan bungsu, Charlie (Milly Shapiro). Pasca ibu Annie meninggal karena penyakit demensia dideritanya, keluarga Annie perlahan mulai mengalami berbagai kejadian aneh dan mengerikan, yang kemudian menuntun Annie dari ancaman yang diwariskan oleh keluarganya sendiri secara turun temurun.

Ada yang mengatakan Hereditary ini memiliki kesamaan cerita dengan film Indonesia, Pengabdi Setan. Meskipun dibilang sama, tapi film yang tampil di Sundance Film Festival Februari 2018 lalu memiliki banyak modal untuk dianggap sebagai film unik dan berbeda dari film horror biasanya. Mungkin plot cerita terbilang umum, tapi saya suka bagaimana Aster mengolah sedemikian rupa sehingga malah menghasilkan teka-teki dan sandiwara penuh konflik emosional. Katakanlah saya tadi bilang bahwa Hereditary hampir membuat saya terlompat dari kursi, mungkin terdengar hiperbolis tapi jujur Hereditary bukan film bermodal jump scare sana-sini dengan scoring berlebihan demi menaikkan atmosfer. Cukup sederhana, film yang bermain dengan tempo lambat ini, membakar perlahan-lahan agar penonton jadi tenggelam didalamnya, sehingga beberapa kejutan yang bisa dibilang begitu tipis dan tak terduga begitu efisien mencengkram bulu kuduk penonton.


Tapi, horror dan ketakutan bukan elemen utama yang membuat Hereditary gampang disukai, Aster pun tidak main-main mengolah setiap sisi baik sinematografi yang apik hingga pengenalan karakter yang kuat. Sinematografi dari Pawel Pogorzelski melengkapi teror lewat visualnya, banyak gambar hingga close up wajah dengan beragam ekspresi sanggup memicu ketegangan dan emosi. Sinematis yang tidak saja mengagumkan, tapi juga sanggup melekat di ingatan penonton dalam jangka waktu lama. Dari kualitas akting yang didominasi oleh empat orang, Toni Collette sebagai leading act berakting luar biasa, berlakon sebagai Annie, ibu rumah tangga yang depresif dengan penyakit mental yang diwariskan oleh keluarganya, performa yang ditampilkan dengan segala kegelisahan dan kegilaannya mampu membuat saya sesak tak terhingga. Milly Shapiro dan Alex Wolff sebagai young cast juga punya daya magis dalam cerita, Milly yang digambarkan sebagai anak kecil dengan tingkah lakunya yang weird abis, dan Wolff berakting diluar dugaan dengan sosok remaja tanggung yang hobi menghisap ganja bersama temannya, tapi beberapa kali sorot wajahnya terekam begitu intens menjiwai karakternya yang labil ditengah kegilaan melanda keluarganya, dan salah satu scene yang memorable adalah ketika Peter memukul wajahnya di meja sampai berdarah, dan adegan ini real dilakukannya. Dan terakhir Gabriel Byrne, sosok kalem dari bapak yang kerap menjadi penengah dikeluarga gila ini.


Tapi, bukan berarti Hereditary berakhir tanpa cela, kerap kali saya membaca kritikan soal ending yang dianggap chessy, bahkan ada yang bilang gini, "endingnya udah gitu aja?". Hal ini pula yang saya rasakan setelah ending credit scene berakhir, ada mood yang hilang bercampur ketidak efektifan Aster meramu hasil, meski saya rasa semua kepingan puzzle tersusun rapi dengan simbolisme soal kutukan dibuat dengan sangat baik. Tapi, klimaks selalu punya peran besar menggeser mood penonton meski film Hereditary sendiri punya power cerita efektif luar biasa. Meski begitu, sekali lagi A24 berhasil merangkul horror antimainstream-nya, membawa teror psikologis dan curse-movie ketingkat lebih tinggi, beautiful, unique, powerful, emotional and to be sure it's haunting.







Kenapa wanita selalu jadi korban pelecehan dan pemerkosaan? Seringkali tuduhan yang menyebabkan pelaku (lelaki) memperkosa wanita karena akibat dan ulah wanita itu sendiri. Jika tubuh perempuan tersebut semakin terbuka dan menggoda maka otomotis status wanita tersebut semakin inferior dan impolite, bahkan digenerelisasi secara intelektual dan dianggap sumber biang keladi masalah. Jadi, sangat wajar jika wanita jauh lebih banyak mendapat perkosaan karena perilaku mereka sendiri. Jika seperti itu kemana posisi laki-laki untuk bisa menghargai wanita dan tubuh mereka bukan sebagai objektifikasi dan olok-olok semata?

Revenge berasal dari film Prancis yang di nahkodai oleh sutradara debutan Coralie Fargeat. Melalui film pertamanya Revenge bercerita tentang seorang wanita sosialita bernama Jen (Matilda Lutz) yang diajak berlibur oleh kekasihnya yang kaya Richard (Kevin Janssens), di sebuah lokasi rumah mewah terisolasi di tengah padang gurun tak bernama. Tentu saja Jen tidak sendirian, Richard yang seorang pemburu ternyata mengajak kedua temannya Stan (Vincent Colombe) dan Dimitri (Guillaume Bouchède) ikut tinggal bersama mereka tanpa sepengetahuan dirinya. Tentu saja hal yang tidak diinginkan Jen terjadi, ia mendapat tindak perkosaan bahkan pembunuhan oleh ketiga pria tersebut. Dianggap sudah mati, Jen yang ternyata masih hidup menuntut balas dendam atas perbuatan ketiganya.


Film Revenge terdengar klise, iya. Tapi, Revenge buka film tanpa konteks, meski genre rape-revenge sudah kesekian kali dibuat, bahkan hampir berbarengan dengan film serupa yang berasal dari Indonesia, Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak. Coralie yang merangkap sebagai penulis naskah punya motif kuat yang bersandar pada isu feminisme dan eksploitasi wanita, tapi tentu dengan pendekatan yang sangat maskulin. Film ini penuh dengan adegan brutal, gory, bloody dan mengekspos rentetan adegan sensual. Tentu film ini tentang konfrontasi antara 1 wanita dan 3 pria, mengajak kita peduli soal nasib Jen yang terperangkap tak berdaya tanpa kekuatan dan pelindung. Perkosaan seperti sebuah kisah teror realita tak terelakkan pada wanita menghadapi takdir dominasi dan patriarki pria.

Eksploitasi adalah permainan yang dibawa Carolie ke ranah cerita, saya mengerti kenapa kamera begitu ragam mengumbar hampir seluruh bagian fisik Jen yang kerap mengundang birahi dibabak awal cerita. Kemudian melalui gestur dan mimik canda-menggoda didepan 2 pria asing, Jen tampak berjoget gemulai tanpa bimbang karena ia tahu sang pacar Richard disana sama-sama menyaksikannya. Lalu ditengah kesempatan lahirlah pemerkosaan. Dan selalu dibalik pemerkosaan melahirkan pembunuhan. Coralie sengaja memfasilitasi tokoh utama Matilda Lutz untuk terus berpakaian minim, meski seringkali ia berpakaian terbuka bukan untuk menggoda, kadang situasi dan kondisi tak mendukung dirinya untuk tampil tertutup. Bahkan ketika Jen, Stan dan Dimitri berpapasan pertama kali, bukan keinginan Jen untuk memperlihatkan dirinya sedang memakai celana dalam, kan?



Meski Carolie memuat isu feminisme. Tapi, saya menyukai bagaimana Revenge mencoba mempropoganda dua sisi koin baik-buruk. Bahkan Jen bukan serta-merta tokoh yang purely, gadis baik-baik lalu mendadak jadi korban. Semua punya asal muasal, sebut saja Richard peselingkuh yang berstatus keluarga ternyata seorang yang kasar dan kejam, Stan, pengecut yang penuh nafsu yang juga berstatus keluarga, Dimitri, pria apatis, bodoh dan doyan planga-plongo dan Jen tokoh utama yang ternyata seorang pelakor. Dan kemudian kita ditanya siapa yang jadi pemicu masalah? Apakah karena Jen seorang pelakor lalu ia bisa dicap sebagai wanita penggoda sehingga wajar jika ia diperkosa, sedangkan Jen kemudian dianggap wanita disposable, slut dan brainless oleh ketiga pria ini. Bahkan beberapa ucapan ofensif menohok masuk ke telinga saya mendengarkan pria-pria ini merendahkan Jen, "Woman always put up a fight" dan "Even for your tiny little oyster brain, it shouldn't be too difficult to understand." Ah, sakit!

Coralie tidak terlalu banyak menggunakan dialog, ia menggantinya dengan bahasa visual, gestur serta mimik wajah. Semudah kita mengetahui bahasa tubuh dan gestur Jen yang menggoda setiap saat, tatapan mesum nan mengganggu Stan yang kadang digambarkan sebagai predator iguana, tingkah planga-plongo Dimitri yang mengesalkan, dan bajingan bernama Richard yang patut dibenci atas tindakannya yang picik. Dengan membeberkan informasi seminimal mungkin, keyakinan moralitas tiap individu terasa twisted. Bermotifkan balas dendam yang terasa dominan, dari perubahan drastis wanita lemah dengan celana dalam seksi sekejap berubah menjadi wanita badass, kejam dan anarkis tanpa dipertanyakan lagi. Tentu saja tanpa peduli bahwa Jen adalah pelakor sekalipun, kita ikut mendukung aksi balas dendam yang dilakukannya.


Selain cerita, visualisasi yang dihamparkan Carolie terasa memikat dan berani, film dengan hamparan tanah tandus terasa gritty, dipadu dengan warna pinky. Kemudian ditimpal dengan adegan penuh darah merah meluluh lantah kesetiap saat dan tempat seolah sedang banjir darah, bahkan Carolie mengaku selalu kehabisan darah palsu hanya untuk mengisi adegan berdarah yang tidak tertampung jumlahnya. Meski saya tahu ini bukan film Quentin Tarantino, tapi adegan gore yang ditampilkan Carolie terasa menyakitkan dan berdarah-darah, bahkan memaksa penonton yang sudah terbiasa dengan film serupa harus menahan rasa ngilu dan sakit, apalagi adegan Jen yang tergelepar di atas pohon kering dalam keadaan terbalik tak nyaman, sembari menahan sakit perut tertusuk berjam-jam dialiri darah segar sudah cukup membuat saya lemas. Ditambah lagi, Carolie berhasil membuat sebuah adegan saling berburu yang menegangkan dan intens, meski ada satu adegan dimana saya disuruh menyaksikan adegan berputar-putar di satu tempat, dan juga absurditas tato burung di perut Jen kadang menggelitik pita tawa saya, tapi film ini tetap sangat menegangkan (menghibur).






Kanibalisme, sebuah kata yang cukup terdengar mengerikan di telinga awam. Lewat temanya saja kanibal seolah identik dengan kekejaman, kebrutalan dan pemberi rasa mual karena manusia normal mana yang mau melihat manusia memakan manusia lainnya ketika bagian tubuh dicabik dan dimutilasi sampai pada tingkat mengkonsumsi layaknya daging sapi dimakan mentah. Identitas itu cukup melebur secara klasik dalam dua film bertema serupa seperti "Cannibal Holocaust" yang kontroversi dan "The Silence of the Lambs" yang fenomenal. Raw aka Grave merupakan film berbahasa Prancis, debut sutradara Julia Ducournau yang kembali memberi tantangan pada penontonnya apa arti dari kanibalisme sebenarnya bukanlah soal tradisi suku primitif ataupun merupakan gejala penyakit psikopatik, melainkan gejala dalam sosial urban yang ternyata mampu melekat dalam kondisi manusia normal manusia yang bersifat 'natural'.

Justine (Garance Marillier) merupakan gadis remaja yang baru saja akan memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswa di kampus kedokteran hewan. Semua keluarga Justine berprofesi sebagai dokter hewan sekaligus penganut prinsip hidup vegetarian. Sebelumnya Justine harus mengikuti kegiatan ospek mahasiswa yang dilakukan oleh senior di kampusnya. Namun, melalui beberapa kejadian memaksanya melanggar prinsip keluarga dan terpaksa mengkonsumsi daging sebagai pantangannya. Lambat laun Justine menemui gejala aneh setelah ia tahu pertama kalinya rasa dari daging yang ia makan hingga membawanya menyadari akan dirinya adalah seorang kanibal yang kecanduan.



Mencampur kisah coming of age, Raw secara simpel menjelma sebagai horror (drama) tentang kehidupan gadis normal ditengah tekanan sosial dan pencarian jati dirinya sebagai remaja belasan tahun. Justine tampak sebagai gadis biasa, polos, pendiam (kuper) namun cerdas dalam bidang akademiknya. Justine pun begitu akrab dengan seorang pria gay yang baru ia kenal dan juga sekamar dengannya, Adrien (Rabah Nait Oufella) sebagai satu-satunya teman dekatnya yang baik dan ramah terhadapnya. Selain itu Justine pun memiliki seorang saudara kandung sekaligus seniornya sendiri bernama Alexia (Ella Rumpf), wanita berperawakan emo, kasar, egois dan suka seenaknya terhadap Justine.

Raw mengajak saya menikmati gelagat tumbuhnya kepribadian Justine sekaligus mengungkapkan fakta dirinya sebagai seorang kanibal yang tidak diketahui oleh dirinya sendiri. Antara dilema moral sebagai manusia dan hewan kanibal. Pergolakkannya dalam mencari jati diri sembari mengenal siapa dirinya, hingga menawarkan sedikit romansa pergolakan jiwa muda dalam kenaifannya mencari cinta kepada seorang homoseksual ataupun mudahnya ia diperalat oleh tindakan senioritas dan dominasi dari kakaknya sendiri.


Ducournau yang juga selaku penulis naskah film ini mempunyai sekelumit misi untuk memberi kesenangan demi kesenangan meski tempo mengalun lambat, melalui visualisasi yang cukup gory dan mengganggu, dari sekedar memakan rambut sampai mengubek-ubek anus sapi. Ducournau dengan rasa tak berdosa memaksa penonton gentar dengan teror visualnya, hingga film ini selesai tiada kata indah terucap untuk merangkai kisah yang begitu menjijikkan namun cantik, selain menahan lahap makanan yang hampir terkunyah masuk tenggorokan kembali dimuntahkan akibat hampir setiap adegan dipenuhi kegiatan-kegiatan menjijikkan dan mengganggu yang asalnya tidak semua berasal dari adegan kanibalisme. Sedangkan Ducournau sengaja mempropoganda penonton lewat visual tapi tidak lewat teror kanibal yang adegan tersebut bisa dihitung dengan jari dan tak segila yang dibayangkan.

Selain itu Raw menyelipkan isu remaja dalam pencarian identitas, saat para pemilik almamater ini begitu liar dalam kegiatan mereka diluar jam kegiatan kuliah dengan masih tercium aroma seks bebas, cinta monyet, senioritas dan alkohol disamping fakta yang tanpa kita sadari film ini masih dalam ruang lingkup kampus dan asrama. Di lain hal Ducournau menjelaskan hubungan antara Justine dan Alexia sebagai saudara kandung pun tampak absurd, kecenderungan antara perasaan benci-cinta itu justru merusak konflik relatable dalam perkembangan cerita sebagaimana kisahnya sendiri lebih banyak dibangun oleh hubungan keduanya, dan justru ketertarikan saya muncul pada hubungan semi-romantis antara Justine dan Adrien yang kadang menemui dilema.


Raw sebenarnya bukanlah film kanibal yang terasa menghantui dan memberi ruang teror mengerikan, hasil itu hanya tampak pada usaha keras Ducournau menonjolkan ke semuanya dari segi visual yang disturbed dan bukan pada pola kisah yang lebih berani dan menantang. Menampik batas-batas kewajaran dalam sinematis yang masih terlihat memikat dan cantik, Raw dikategorikan horror kanibal yang masih wajar dan tidak pada sampai tahap kontroversi, meski terdapat kasus pada Festival Film Gothenburg, Swedia. Raw setidaknya membuat 30 orang meninggalkan layar bioskop sebelum film selesai, sisanya dikondisikan pingsan dan muntah saat menontonnya.

Tapi, Raw masih bisa ditolerir, akting memikat artis muda Garance Marillier cukup memberi nuansa teror dalam keheningan yang sangat intens yang cukup dapat dinilai dari tatapan matanya yang tajam mengumbar nafsu buasnya, hingga tahap adegan vulgar dan gila yang berani ia lakukan. Selain itu melalui tema horror urban film ini menunjukkan identitas kanibalisme, karena Ducournau sendiri sedang menggambarkan eksistensi mereka yang bisa saja hidup ditengah masyarakat seperti yang pernah disampaikan melalui film "The Neon Demon", ataupun persamaan akan gelora hasrat para kanibal terhadap daging manusia sebagaimana keluarga vampir Cullen pada darah manusia. Obsesi, kecanduan, orientasi hingga sifat natural seorang kanibal yang kemudian ditampar oleh kesadaran berpikir manusia yang masih menggunakan hati nurani dan akal.




🙶 You take care of a garden, and takes care back. You feed it, it feeds you. Few things in this World operate like that.🙷

Tangan buntung dan kaki buntung, Arlen (Suki Waterhouse) telah menggambarkan realita kejam dunia distopia yang dihiasi gurun mati dan tandus, untuk seorang wanita muda yang juga tergabung dalam gerombolan manusia terbuang (The Bad Batch), aturan tak berlaku di dunia yang terisolasi di wilayah Texas, Amerika Serikat sehingga menjadikan sifat mereka liar dan gila. Sang sutradara sekaligus penulis naskah Ana Lily Amirpour melahirkan sebuah ambisi cantik dari sekedar film pertamanya "A Girl Walks Home Alone at Night", sebuah kota di Iran yang didalamnya terdapat vampir penghisap darah. The Bad Batch melahirkan dunia yang menghempaskan moral apalagi hukum, saat kaum kanibal adalah hal paling mengancam di dunia yang dilalui Arlen.

Ada beragam rasa saat melewati ide kreatif yang ditawarkan Amirpour, para kaum kanibal yang atletis dan berotot, sampai permukiman kumuh yang disebut sebagai "Comfort", dimana komunitas masyarakat tersebut dipimpin oleh pria eksentrik bergaya retro, The Dreams (Keanu Reeves), menggandeng sederet istri berperut buncit (hamil), suka berpesta di malam hari dengan house music dan menenggak drugs mencari kesenangan. Arlen sebagai fokus cerita awalnya adalah korban mangsa para kanibal, setelah mencoba lolos, ia lalu ditemukan dan ditolong oleh The Hermit (Jim Carrey), seorang gelandangan yang membawanya ke "Comfort", sebuah tempat teraman dari serangan kaum kanibal. Singkat cerita, 5 bulan kemudian, Arlen menuntut balas atas perlakuan kaum kanibal. Hingga dalam perjalanan ia pun bertemu dengan salah satu kanibal bergaya macho-meksiko bernama Miami Man (Jason Momoa) yang sedang mencari Honey (Jayda Fink) anaknya yang hilang.

The Bad Batch memang punya daya tarik sendiri, memancing dunia distopia dalam balutan arthouse yang nyentrik dan aneh, plus alunan soundtrack retro electronic. Plot awal terasa meyakinkan, mengenalkan kita pada tokoh utama Arlen, kehilangan arah dan tujuan, berjalan sendirian di tengah hamparan gurun panas dan tandus, hingga mengawali keganasan Arlen sebagai korban kaum kanibal. Kehilangan satu kaki dan satu tangan, horror dan ancaman telah tereskalasi dengan baik, apalagi kegilaan berlanjut saat melihat sekumpulan pria berotot dan bermuka seram adalah kanibal itu sendiri. Membuat dunia yang terasa ngeri-ngeri sedap, dan juga bagaimana landscape sinematis berhasil ditangkap pada tiap-tiap moment terasa prestisius. kembali mendapuk Lyle Vincent (A Girl Walks Home Alone at Night) yang berhasil memvisualisasikan dunia yang statis lagi suram terasa cantik dan indah.


Sayang, langkah narasi tidak secantik wajah Suki dan segala aspek artistiknya, dasar cerita yang ingin disampaikan Amirpour mulai terlihat cacat, saat Arlen bergerak dengan motif balas dendam tanpa dasar yang kuat. Pertemuannya dengan Honey, hingga mencuat hubungan tak kasat mata antara Arlen dan Miami Man, mulai mempengaruhi tujuan yang saya pikir Amirpour memberikan tidak sekedar cerita aksi dan gila semacam "Mad Max: Fury Road". Tapi, menampilkan bahwa manusia tanpa belas kasih pun masih memiliki "cinta" dan "kasih sayang" untuk dilindungi. Tapi, ini lebih dari sekedar banyaknya kejanggalan cerita, mencuat segala aksi tanpa toleransi, hingga ketidakmasuk akalan gerak-gerik dilakukan Arlen tanpa intelektual. Keanehan, absurditas hingga keseimbangan tiap konflik tokoh sama sekali tidak koheren, semua tampak aneh dan konklusi akhirpun tanpa rasa heran semakin memberi rasa beban menonton, menghubungkan soal "cinta" dan "tujuan".

Dilandasi kegilaan, distopia dan carut-marut moralitas, tapi sedikitpun adegan brutal tidak lebih dari Miami Man memotong daging manusia seperti memotong daging sapi, lalu disantap seperti barbeque di siang hari. Filmnya tak segila yang dibayangkan, bahkan beberapa kali menelantarkan peran macam Keanu Reeves, tanpa mengerti apakah ia betul-betul jahat atau baik yang pintar berkata bijak dan berfilosofi. Giovanni Ribisi pun demikian, pria autis yang selalu teriak-teriak tak jelas di Comfort, memancing kegaduhan dan kebodohan tapi sama sekali tak penting untuk dilihat. Mungkin salah satu yang cukup menarik, Jim Carrey, laksana gelandangan bisu, yang kadang bersimpati dan berperilaku konyol di depan Arlen dan Miami Man, meski akhirnya perannya tak sejalan dengan rasa empati yang dimilikinya, cenderung juga tokoh tak penting.


The Bad Batch, memang sepenuhnya film dengan porsi cerita yang dangkal, alih-alih pintar pun sedemikian buruknya, Arlen dengan tipikal heroine yang kebingungan mencari arah dan tujuan, sama dengan bingungnya Amirpour menentukan perwatakan, konflik hingga emosi tokoh untuk meningkatkan dramatisasi dan juga simpati kita pada Arlen yang juga minim identitas siapa dia sebenarnya, dan kenapa ia bisa dibuang. Meski dibalik itu, Suki cukup terampil membuat tatapan yang kuat dan indah, dengan segala kelemahan dan cacat tubuhnya di dunia yang jelas keras dan tak berperkemanusiaan, bahkan mengalahkan tubuh sixpack Jason Momoa yang kuat dan indah.

Cinta dan ketertarikan dalam hembusan dunia penuh bad batch dan immoral, tapi sayang ini tidak terlalu indah untuk terealisasi. Meski saya cukup punya bayangan keren soal hubungan antara si Arlen dan Miami Man, bagaimana rasa benci dan canggung itu berbuah cinta dan petualangan yang mempertemukan keduanya antara si kanibal jahat penuh cinta dan si korban yang penuh kebimbangan tanpa ambisi. Tapi, ini tidak cukup, terlalu banyak kebodohan dan pesan filosofis tak karuan. Perkembangan karakter yang lemah, meski filmnya jika ditilik secara visual dan audio memang terasa eksentrik dan cantik. Pada akhirnya The Bad Batch hanya cita rasa coca-cola yang sengaja dicampur dengan minyak kayu putih, segar di awal namun menyengat dan membuat mual di akhir.




| Director |
Ana Lily Amirpour
| Writer |
Ana Lily Amirpour
| Cast |
Giovanni Ribisi, Jason Momoa, Jayda Fink, Jim Carrey, Keanu Reeves, Suki Waterhouse, Yolonda Ross
| Studio |
NEON
| Rating |
R (for violence, language, some drug content and brief nudity)
| Runtime |
118 minutes (1h 58min)



OFFICIAL RATING | THE BAD BATCH (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"We're doing something much darker."

Horror biasanya didasari dengan seberapa mampu film tersebut mampu membuat penontonnya mengalami teror mimpi buruk. Semakin menyeramkan semakin baik. Tapi, mungkin tidak berlaku bagi A Dark Song, meski kental dengan nuansa okultisme yang menyajikan usaha berkomunikasi dengan dunia spiritual dan gaib. Namun film yang berasal dari negara Irlandia yang digarap oleh sutradara pendatang baru Liam Gavin, bukanlah film yang jor-joran membuatmu berteriak histeris sambil menutup mata berkali-kali melihat wujud astral yang menyeramkan. Tidak, film berdurasi 1 jam 40 menit hanya berisi muatan ritual rumit dan panjang, yang secara garis besar adalah praktek seorang dukun dengan mantra dan ilmu sihirnya digambarkan secara menyeluruh, antara bahaya serta konsekuensi yang dihadapi seorang penganut ilmu hitam.


Seorang wanita bernama Sophia Howard (Catherine Walker) meminta bantuan occultist berpengalaman Joseph Solomon (Steve Oram) untuk melakukan praktik ritual sihir yang dikenal dengan sebutan "Abramelin", yakni ritual yang diyakini mampu membuat seseorang berkomunikasi langsung dengan malaikat pelindung pribadinya. Sophia melakukan hal tersebut demi bisa berkomunikasi dengan anaknya yang meninggal, Jack, yang masih berumur 7 Tahun. Ia menyewa sebuah rumah dipinggiran kota Wales, dan mengajak Solomon untuk melakukan ritual tersebut disana. Tapi, ritual yang mereka lakukan memiliki banyak rintangan dan pantangan, termasuk mengharuskan mereka terisolasi didalam rumah selama berbulan-bulan. Hingga hal tak terduga membuat ritual mereka menjadi berantakan dan berujung malapetaka.

Seperti yang sudah singgung barusan, A Dark Song memang bukan tipikal horror yang dipenuhi hal-hal menakutkan seperti jump scare, bahkan disajikan dengan slow-burning tanpa memainkan atmosfer hingga scoring dari Ray Harman juga tidak membuat film ini lebih menyayat dan disturbing. Tapi, A Dark Song punya sesuatu yang istimewa sebagai bagian dari ritual yang tidak sesederhana kelihatannya. Gavin sekaligus penulis naskah film ini terinspirasi dari salah satu ritual sihir dari para pendiri oklutisme modern yang konon diambil dari sejarah kenabian kaum Yahudi. Untuk hal ini mungkin saya tidak akan menjelaskannya secara rinci dan anda bisa membacanya sendiri di google, hanya saja saya terhibur bagaimana ritual ini disajikan melalui pengalaman yang cukup mistis dan janggal selain dari bahaya yang mengintai diantara mereka berdua.



Seperti kita tahu, hal-hal bersifat black magic dan mistis berlaku banyak syarat dan pantangan yang harus dipenuhi. Dan film ini mewujudkan sebuah ketegangan psikologis kala Solomon dan Sophia harus melewati tahap demi tahap syarat yang harus dipenuhi agar ritual berjalan mulus. Terutama hal ini dijumpai Sophia yang tersiksa lahir dan batin, dari melakukan sesuatu yang menjijikkan, semedi tanpa makan dan minum hingga buang air pun tidak diizinkan, hingga pelecehan seksual serta maut yang hampir merenggut nyawanya. Memang gila tapi dasar motifnya cenderung kuat, dirundung duka dan kehilangan, sampai-sampai membuatnya menjadi seorang murtad dan kafir. Terjerumus sebagai pengabdi ajaran sesat. Sophia menjadi seorang figur emosional yang memendam rasa kebencian, kesedihan dan kesesatan namun proses 'menemukan' dari film ini nyatanya memberikan sebuah pengalaman spiritual bagi dirinya sendiri, tanpa memberi momok kisah kontemplasi, tapi nyatanya akhir dalam film ini menjelaskan tentang hati gelap seorang manusia. Ya, akhir yang buat saya tidaklah biasa.

Bagian menarik lainnya adalah kisah hubungan Solomon dan Sophia diibaratkan sebagai seorang guru dan murid. Meski tahu bahwa Solomon dibayar mahal oleh Sophia, tapi Solomon digambarkan berwatak keras, galak dan otoriter, hingga saya pun kadang menyengir melihat ketidak akuran keduanya saat Solomon bukan perihal orang yang mau diperintah seenaknya oleh Sophia meski tahu ia sudah dibayar. Bahkan sesekali Solomon menyiram ember berisi air ketika Sophia terlelap tidur. Tapi, ini tetap bisa dipahami mengetahui Sophia seringkali melanggar aturan-aturan yang berlaku bagi ritual, dimana jelas ia seolah menyepelekan ritual berbahaya ini. Dilain hal mereka juga harus berhadapan dengan dilema ketidakpastian karena hasil dari ritual ditentukan oleh kesucian Sophia baik lahir dan batin, jika berhasil tentu saja keinginan Sophia akan terkabul, jika gagal sudah pasti liang kubur siap menanti mereka berdua.


Gavin pun secara menyeluruh tetap menyajikan bingkaian estetika dalam balutan ritual gelap diterangi lilin yang mengelilingi bilik rumah, juga dekorasi ritual yang semakin menambah sensasi mistis yang kental. Hingga menghamparkan beberapa kejadian aneh namun dibentuk indah sedemikian rupa melalui ketenangan dan depresi, dengan kesan mencekam yang dibuat Gavin secara ringan hingga di penghujung kisah pun cukup berhasil memberi teror keputusasaan kala menyambut klimaks ritual yang memberikan getaran fantasi yang memukau. Setiap momen film bisa ditangkap saat ritual panjang dan melelahkan menjadi bagian yang sangat akurat kala menemukan sebuah ritual yang tidak sedikit membeberkan subtil moral menyangkut karakter Sophia yang notabene dibutakan oleh keinginan balas dendam, hingga Solomon pria brewok yang galak tapi bersikap jujur dan idealis. A Dark Song adalah sebuah penyampaian horror yang substansial, mungkin bagi penggiat horror akan sulit menyukainya karena sepanjang durasi film ini sama sekali tidak akan berusaha membuatmu takut setengah mati, tapi ini tetap sebuah gagasan ide yang unik saat Gavin memperlihatkan detil ritual yang mengasyikkan sekaligus gila, eksekusi yang menyajikan drama psikologis hingga estetika keindahan ritual dalam balutan mistis yang begitu pekat tersaji. Ya, daripada itu saya pun menyadari bahwa niat Gavin seolah mencoba mengutarakan kegelapan hati manusia dengan tamparan, penerangan, kepercayaan dengan cara yang biadab dan kotor tanpa harus berusaha mengajarinya dengan kontemplasi keimanan yang halus.



| Director |
Liam Gavin
| Writer |
Liam Gavin
| Cast |
 Catherine Walker, Steve Oram
| Studio |
Samson Films
| Rating |
NR
| Runtime |
100 minutes (1h 40min)



OFFICIAL RATING | A DARK SONG (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"You can't trust anyone but family."

Saya jadi teringat dengan salah satu horror indie-classic The Blair Witch Project yang terkenal karena menyampaikan materi horror-nya dengan cara tak biasa melalui kekuatan atmosfer mencekam tanpa harus bersusah payah menakuti penonton dengan jump scare atau penampakan mengerikan seperti halnya hantu, iblis, vampir ataupun zombie sekalipun. Sama halnya dengan It Comes At Night, "It" yang dimaksud dalam judulnya memiliki makna jamak dan tidak bisa dikategorikan sebagai entitas makhluk atau mungkin bisa dikatakan demikian, sebagaimana hal-hal seram yang terjadi dalam film ini justru datang dari sesuatu yang disebut kondisi dan keadaan yang memaksa manusia harus berjibaku untuk bertahan hidup. Psikologis manusia yang dilanda ketakutan ekstrim inilah yang ingin disampaikan oleh sutradara Trey Edward Shults sebagai horror-thriller psychological yang mendebarkan jantung.

Premis filmnya meyakinkan, sebuah zaman pasca-kiamat dimana penyakit menular dan mematikan melanda dunia, tapi tentu saja Shults membuatnya menjadi minimalis, sama seperti 10 Cloverfield Land, set dunia yang diperlihatkan justru hanya dari sepetak keluarga yang hidup terisolasi dalam rumah di tengah hutan, diantaranya Paul (Joel Edgerton), istrinya Sarah (Carmen Ejogo) dan anaknya Travis (Kelvin Harrison Jr.). Sehingga hal-hal di film ini sengaja ditutup-tutupi dan detil isu dalam kiamat pun takkan pernah terjelaskan secara lebih rinci, meski begitu apa yang disampaikan Shults tetap meyakinkan, kekuatan cerita yang dihamparkan secara menakjubkan memberi atmosfer mencekam kala teror tersebut datang dari ancaman dibalik gelapnya hutan, penyakit menular, hingga dilema moral kala manusia berhadapan dengan keputusasaan dan ketakutan. Hingga Paul dan keluarganya didatangi oleh seorang pria misterius dan mencurigakan yang mengaku datang ketempatnya hanya untuk mencari air bersih demi menunjang kehidupan anak dan istrinya yang tinggal beberapa kilometer dari tempat Paul tinggal.


Moment film ditangkap melalui atmosfer kala mengelilingi tiap bilik kayu rumah Paul yang gelap gulita saat malam datang dengan penerangan seadanya, hingga menyusuri hutan gelap yang mendapati aura mencekam didalamnya. Tapi, tentu saja kita takkan menemukan apa-apa kecuali film ini terdapat keragu-raguan, kecemasan, hingga timbul depresi dan delusi dalam paranoia yang berlebihan. Mungkin film ini berakhir dengan kontradiksi yang menimbulkan pertanyaan dan perdebatan kala konklusi berakhir tidak terjawabkan. Tapi, mungkin inilah yang ingin disampaikan Shults, keraguan, ketakutan disertai teka-teki membingungkan menjadi inti bagaimana manusia normal mampu berubah akibat efek psikologis yang membutakan hati nurani, saat rasa takut menjadi bagian paling menyeramkan dalam diri manusia.

Ya, beberapa point penting memang tidak terjawab secara memuaskan, meski ditutup dengan akhir yang menakjubkan, tragis dan betul-betul gila. Hingga akhirnya "It" hanya sebatas sesuatu yang mengganjal dihati tanpa tahu apa makna dibalik perisitiwa dari segelintir keanehan yang terjadi di rumah Paul, kecuali kita memaksakan sendiri konotosi dibalik hal tersebut secara implisit antara aneh dan mengganggu, terlebih delusi dari mimpi-mimpi surealis yang terjadi pada Travis membuat hal-hal yang nampak terjadi menjadi semakin membingungkan dan sepenuhnya abstrak. Tapi, tentu saja jangan pernah terjebak oleh rekayasa cerita Shults, kita takkan pernah tahu siapa yang sesungguhnya jahat di film ini, apakah sesungguhnya hantu sang kakek menjadi asal muasal penyebab atau mungkin ada hal lain yang menjadi indikasinya. Ya, It Comes At Night adalah film horror yang membingungkan hingga saat ini.



SPOILER ALERT!
Ini hanya teori dan opini pribadi yang liar untuk sedikit menjelaskan setumpuk pertanyaan dalam film ini. Tahu kenapa Shults mengawali kisahnya dengan pembunuhan yang dilakukan Paul dan keluarganya terhadap kakek Bud? Dalam kondisi penyakit yang dideritanya, saya rasa Bud menjadi hantu penasaran. Memang hantu Bud tidak dijelaskan secara eksplisit, melalui gangguan atau penampakan secara langsung. Namun justru datang melalui mimpi-mimpi buruk yang dialami Travis. Memang ambigu, tapi bukankah wujud hantu tidak sepenuhnya meneror melalui poltergeist atau teror hantu konvensional semacam itu. Apalagi melihat bahwa Travis secara pribadi merasa kehilangan saat melihat kakeknya ditembak dan dibakar didepan matanya sendiri. Membuat Travis seolah memberi pesan kepada cucu terdekatnya tersebut sebagai pesan yang mengerikan.

Coba ingat dan pikir, siapa yg membuat anjing Stanley berlari menuju hutan, lalu pas dikejar oleh Travis tiba gonggongan beserta anjingnya ikut menghilang, dan suatu malam setelahnya, Travis terbangun (aneh tiba-tiba ia terbangun diwaktu tersebut dan ngelonyor turun ke bawah meski telah dibahas kalau ia memiliki penyakit susah tidur, yang tidak lain karena mimpi buruknya selama ini, menemui Kim? Saya rasa itu konyol) dan secara mengejutkan tiba-tiba menemukan anak Will, Andrew, tertidur (terkapar) di luar ruangan (Ingat? Ruangan Bud!), dan pintu merah terbuka dari dalam dan setelahnya Travis mendengar suara aneh seperti ada seseorang dan kemudian secara mengejutkan Stanley terkapar belumuran darah. Dan saat ditanya mengenai soal kenapa Andrew bisa keluar dan tertidur ditengah ruangan Bud, dan ia mengatakan lupa apa yg telah terjadi pada dirinya. Bukankah sudah jelas, Andrew tidak punya penyakit tidur berjalan, dan ia tidak ingat apa yg terjadi dengannya.

Mengenai penyakit menulari Travis? Saya rasa kita bisa menafsirkan sendiri-sendiri. Apakah hantu tersebut bisa secara langsung menulari penyakit tersebut atau tidak. Toh, saya juga berpikir begini, Shults memang berencana tidak membuat hantu terlihat nyata, meski hantu dijelaskan melalui mimpi buruk, karena tujuannya disini adalah teror psikologis manusia dengan bumbu teka-teki dan moral dalam wabah penyakit yang tak terjelaskan, ini seperti siratan makna lukisan Triumph of the Death di kamar Travis, dan bukan soal jelmaan hantu Bud. Meski pesannya disampaikan secara subtil, teori saya mengatakan film ini adalah film hantu yang sengaja tidak menjelaskan bahwa ini adalah film hantu.



| Director |
Trey Edward Shults
| Writer |
Trey Edward Shults
| Cast |
Joel Edgerton, Christopher Abbott, Carmen Ejogo, Trey Edward Shults, Riley Keough, Kelvin Harrison Jr.
| Studio |
A24
| Rating |
R (for violence, disturbing images, and language)
| Runtime |
91 minutes (1h 31min)



OFFICIAL RATING | IT COMES AT NIGHT (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes