LEMONVIE: Drama
Showing posts with label Drama. Show all posts
Showing posts with label Drama. Show all posts


Dengan sebuah horror apocalypse tentang invasi alien terhadap bumi, film horror mainstream yang sedikit tampak seperti salah satu karya novelis terkenal Stephen King yang sudah diadaptasi kedalam film tahun 2008, The Mist. Film debut sutradara sekaligus penulis naskah John Krasinski, bersamaan dengan sang istri Emily Blunt, yang keduanya pun sama-sama merangkap sebagai tokoh utama juga sebagai keluarga pasutri tiga anak. Evelyn Abbott (Emily Blunt), Lee Abbott (John Krasinski), dan kedua anaknya Regan (Millicent Simmonds) dan Marcus (Noah Jupe). Konsep ceritanya sama seperti "It Comes At Night" tentang keluarga suburbian ditengah hutan lebat, yang harus bertahan hidup dari ancaman mengerikan yang mengintai kapanpun dimanapun oleh sesosok makhluk yang buta namun memiliki pendengaran yang sangat tajam. Sesuai judulnya, film ini tentang sebuah hutan yang sedikitpun tidak boleh mengeluarkan suara keras. Sekilas untuk seorang Krasinski yang notabene baru menggeluti kursi sutradara tidak cukup kerepotan dalam membuat wahana menegangkan dan pintar memainkan narasinya. Sayangnya, cerita film yang digarapnya memiliki banyak kekurangan, cukup beralasan bahwa beberapa adegan dalam film tidak terlalu pintar dan memiliki banyak kecolongan logika. Singkatnya, Krasinski membuat konsep yang terencana dan pintar dalam memainkan latar, tetapi membuat setiap perilaku karakter dalam film ini mempunyai banyak kecerobohan dan kebodohan. Contohnya, saat Evelyn yang mengambil cucian basahnya dan tersangkut oleh paku di tangga.

Meski begitu naskah dan cerita yang juga dibantu oleh Bryan Woods dan Scott Beck, bukanlah point yang membuat A Quiet Place jatuh total. Film ini tentu saja digarap dengan sangat baik oleh Krasinski, melalui sinematografer Charlotte Bruus Christensen yang mampu menghanyutkan saya dengan ketenangan dalam gambar siluet yang indah. Dengan sigap pengambilan landscape ladang jagung, hutan dan kota mati yang sebetulnya tidak terlalu diperlihatkan secara detil sebagaimana cerita film ini pun tidak begitu panjang lebar soal sebab dan asal muasal secara lebih luas, namun dengan gaya bak film bisu mengantarkan ketegangan dan atmosfer yang tak pernah lepas kendali secara sinematis. Selain itu, hal yang membuat A Quiet Place mampu meraih score 95% di rottentomatoes bukan karena horror ataupun konsep ceritanya, tetapi bagaimana Krasinski tetap memasukan unsur soal keluarga begitu kuat dan emosional. Pesan cerita dalam balutan konflik keluarga, dari peran Lee seorang ayah yang menjaga keluarganya tetap utuh, Evelyn yang berjuang mati-matian sebagai ibu saat ia hendak melahirkan anak ditengah kemelut bahaya, dan kedua anaknya terutama Regan, gadis yang merasa bersalah atas masa lalu yang dilakukannya, yang juga menganggap orang tuanya tidak lagi mempedulikan dan menyalahkannya atas apa yang terjadi.

Meskipun saya merasa monster dalam film ini tidak terlalu terlihat mengerikan, apalagi monster yang tidak mampu melihat ini hanya terlihat beberapa kali sekelibat seperti bayangan. Tapi, horror yang mengandalkan jump scare dan atmosfer ini tetap konsisten menjaganya sampai akhir, dengan konklusi yang tidak sampai jatuh pada antiklimaks.







Di sebuah mansion besar dan mewah. Seorang gadis berambut keriting bernama Amanda (Olivia Cooke) masuk untuk menemui teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya, Lily (Anya Taylor-Joy). Meski keduanya berasal dan tumbuh bersama dan sama-sama pula dari golongan keluarga mapan, perihal sekian lama tidak bertemu mereka mengalami kesulitan berinteraksi dan memahami satu sama lain. Ditambah sekelumit masalah personal diantara keduanya, Amanda yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi kejiwaan karena telah membunuh kuda peliharaan ibunya, sedangkan Lily hidup bersama Mark (Paul Sparks), ayah tiri yang dibencinya. Setelah mencoba dan semakin akrab, Lily yang mengetahui sifat sosiopat dalam diri Amanda, meminta Amanda untuk membantunya melakukan rencana pembunuhan terhadap ayah tirinya tersebut.

Thoroughbreds adalah film yang berasal dari debut sutradara Cory Finley, film yang awalnya akan digarap sebagai drama panggung dan mengalami limbo pasca gagal ditayangkan selama 2 Tahun. Film yang mirip dengan "Heathers" karya Michael Lehmann bercerita soal dua gadis yang sangat bermasalah dan kehidupan yang sangat kacau. Lily adalah gadis yang merasa terus-menerus sengsara akibat dorongan dan tekanan dari ayah tiri yang seringkali memaksa Lily secara sepihak, terutama tuntutan masalah sekolah khusus pilihan Mark yang tidak ia suka. Amanda justru kebalikannya, Lily yang ditunjukkan lebih emosional dan pemarah, justru penuh dengan sikap tenang, aneh dan melihat ia bisa memanipulasi air matanya sendiri, membuatnya menjadi sosok psikopat yang creepy.

Tapi, Cory sanggup menuturkan dinamika hubungan diantara keduanya begitu intim dan realistis. Saya seperti sedang menyaksikan dua orang dengan karakter dan kepribadian berbeda. Tapi, keduanya melahirkan chemistry yang aneh tapi likeable, melihat mereka bercengkrama dan bertengkar seperti gadis pada umumnya, namun saat menonton tivi sambil mengkritik akting dalam film klasik atau sambil duduk-duduk di teras membicarakan soal rencana pembunuhan, Wow..! Adapula Tim, pria dewasa, naif dan eksentrik pula sebagai tokoh disfungsional, pria drugdealer yang ditemui dan dibayar untuk melakukan pembunuhan oleh Lily ini kerap hobi bermuluk dan bermimpi hidup sukses dan mapan dengan modal usaha ilegal yang ditekuninya. Tim diperankan Yelchin menjadi perjalanan akting terakhirnya.

Meski Cory punya unsur manipulatif, hingga saya terjebak dengan moralitas para pelaku tokohnya. Didorong juga motif kekanak-kanakkan dan aksi pembunuhan yang saya rasa tidak begitu cerdik tapi diangkat melalui permasalahan, komedi gelap dan satir moral kaum ningrat yang sangat menarik, sampai puncak ending film ini justru malah terasa antiklimaks. Ada sesuatu yang mengambang meski menyelipkan gabungan antara twist dan ambiguitas yang justru tidak dibangun dengan kokoh.







Dulu saya sempat mengira bahwa film horror adalah salah satu out date genre yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Melihat bagaimana pola pikir masyarakat yang sudah begitu maju dan seolah mereka tidak lagi gampang ditakuti oleh apalagi hal berbau mistis. Mendapati cerita teman saya yang baru menonton film IT, alih-alih takut sepanjang film, teman saya yang sebetulnya terbilang super-duper penakut malah menganggap Pennywise adalah badut yang lebih banyak berbuat konyol ketimbang seram. Tapi, sungguh daya tarik horor tak ubahnya genre lain yang berkembang seiring semakin canggihnya teknologi CGI, ada yang menyebutnya horror anti-mainstream atau modern horror. Horror jalur baru inilah yang kerap menghasilkan horror berkualitas dengan hasil berbeda seperti "The Witch" dan "It Comes At Night." Nah, kebetulan digarap oleh studio yang sama, A24 kembali menelurkan film antimainstream lainnya berjudul Hereditary.

Hereditary punya formula yang sama dengan keduanya, yaitu horror psikologis nan mengganggu lewat sesuatu yang tak nampak tapi menciptakan rasa takut dan cemas luar biasa. Dinahkodai oleh debut sutradara Ari Aster yang juga merangkap penulis naskah, menjadikan film Hereditary yang cukup banyak menjadi perbincangan hangat ini sukses membuat saya hampir terlompat dari kursi bioskop oleh pengalaman teror dengan rasa berbeda yang bahkan tidak saya jumpai dari film The Conjuring sekalipun. Meski tidak relevan untuk membandingkan dengan film tersebut, tentu saja Hereditary memiliki satu tingkat lebih baik dari film garapan James Wan ini.


Bercerita tentang Annie (Toni Collette) yang berprofesi sebagai pembuat miniatur bangunan, bersama dengan keluarga kecilnya yang terdiri dari suaminya Steve (Gabriel Byrne) dan kedua anaknya masing-masing si sulung, Peter (Alex Wolff) dan bungsu, Charlie (Milly Shapiro). Pasca ibu Annie meninggal karena penyakit demensia dideritanya, keluarga Annie perlahan mulai mengalami berbagai kejadian aneh dan mengerikan, yang kemudian menuntun Annie dari ancaman yang diwariskan oleh keluarganya sendiri secara turun temurun.

Ada yang mengatakan Hereditary ini memiliki kesamaan cerita dengan film Indonesia, Pengabdi Setan. Meskipun dibilang sama, tapi film yang tampil di Sundance Film Festival Februari 2018 lalu memiliki banyak modal untuk dianggap sebagai film unik dan berbeda dari film horror biasanya. Mungkin plot cerita terbilang umum, tapi saya suka bagaimana Aster mengolah sedemikian rupa sehingga malah menghasilkan teka-teki dan sandiwara penuh konflik emosional. Katakanlah saya tadi bilang bahwa Hereditary hampir membuat saya terlompat dari kursi, mungkin terdengar hiperbolis tapi jujur Hereditary bukan film bermodal jump scare sana-sini dengan scoring berlebihan demi menaikkan atmosfer. Cukup sederhana, film yang bermain dengan tempo lambat ini, membakar perlahan-lahan agar penonton jadi tenggelam didalamnya, sehingga beberapa kejutan yang bisa dibilang begitu tipis dan tak terduga begitu efisien mencengkram bulu kuduk penonton.


Tapi, horror dan ketakutan bukan elemen utama yang membuat Hereditary gampang disukai, Aster pun tidak main-main mengolah setiap sisi baik sinematografi yang apik hingga pengenalan karakter yang kuat. Sinematografi dari Pawel Pogorzelski melengkapi teror lewat visualnya, banyak gambar hingga close up wajah dengan beragam ekspresi sanggup memicu ketegangan dan emosi. Sinematis yang tidak saja mengagumkan, tapi juga sanggup melekat di ingatan penonton dalam jangka waktu lama. Dari kualitas akting yang didominasi oleh empat orang, Toni Collette sebagai leading act berakting luar biasa, berlakon sebagai Annie, ibu rumah tangga yang depresif dengan penyakit mental yang diwariskan oleh keluarganya, performa yang ditampilkan dengan segala kegelisahan dan kegilaannya mampu membuat saya sesak tak terhingga. Milly Shapiro dan Alex Wolff sebagai young cast juga punya daya magis dalam cerita, Milly yang digambarkan sebagai anak kecil dengan tingkah lakunya yang weird abis, dan Wolff berakting diluar dugaan dengan sosok remaja tanggung yang hobi menghisap ganja bersama temannya, tapi beberapa kali sorot wajahnya terekam begitu intens menjiwai karakternya yang labil ditengah kegilaan melanda keluarganya, dan salah satu scene yang memorable adalah ketika Peter memukul wajahnya di meja sampai berdarah, dan adegan ini real dilakukannya. Dan terakhir Gabriel Byrne, sosok kalem dari bapak yang kerap menjadi penengah dikeluarga gila ini.


Tapi, bukan berarti Hereditary berakhir tanpa cela, kerap kali saya membaca kritikan soal ending yang dianggap chessy, bahkan ada yang bilang gini, "endingnya udah gitu aja?". Hal ini pula yang saya rasakan setelah ending credit scene berakhir, ada mood yang hilang bercampur ketidak efektifan Aster meramu hasil, meski saya rasa semua kepingan puzzle tersusun rapi dengan simbolisme soal kutukan dibuat dengan sangat baik. Tapi, klimaks selalu punya peran besar menggeser mood penonton meski film Hereditary sendiri punya power cerita efektif luar biasa. Meski begitu, sekali lagi A24 berhasil merangkul horror antimainstream-nya, membawa teror psikologis dan curse-movie ketingkat lebih tinggi, beautiful, unique, powerful, emotional and to be sure it's haunting.







Kadangkala seorang filmaker/sutradara membuat film bertujuan untuk menyelipkan pesan atau isu penting yang mampu ditangkap dengan mudah oleh penontonnya. Dan yang paling krusial pesan tersebut harus mampu direspon baik melalui emosi dan logika penontonnya. Terutama apakah film tersebut mampu ditangkap secara visual melalui akal sehat. Bisa dibilang Guillermo del Toro yang selalu akrab dengan film visionernya yang unik dan selalu meleburkan inovasi dan imajinasinya melewati batas-batas sinematis tertentu. Tapi, sejujurnya ini bukan lagi kisah dark fantasy konvensional seperti karya-karya del Toro sebelumnya seperti The Devil's Backbone dan Pan's Labyrinth, melainkan sebuah langkah berani dan menantang tentang konsep mustahil tentang cinta seorang manusia, tapi del Toro menciptakannya.

Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah wanita penyendiri dan kesepian. Ia bekerja sebagai janitor di sebuah fasilitas penelitian rahasia milik pemerintah. Setting film ini diambil sekitar tahun 1962, saat perang dingin antara Amerika dan Rusia sedang berkecamuk. Elisa sendiri adalah seorang tunawicara, ia tidak bisa berbicara semenjak lahir. Dia memiliki dua teman dekat, pertama tetangganya, Giles (Richard Jenkins) pria tua (yang saya kira bapaknya) yang bekerja sebagai freelance artist yang juga hidup kesepian dan Zelda Fuller (Octavia Spencer) teman kerja Elisa yang sama-sama seorang janitor. Suatu hari Elisa dan Zelda mendapati seorang seekor monster amfibi "Amphibian Man" (Doug Jones) misterius yang baru dibawa oleh Richard Strickland (Michael Shannon) sebagai bahan eksperimen. Tapi, monster yang tampak seram dan berbahaya tersebut ternyata memiliki kemiripan layaknya manusia, dan membuat Elisa merasa tertarik dan jatuh cinta padanya.


Ada yang menyebutnya sebagai kisah fairy tale "Beauty and the Beast", tapi saya rasa konsepnya tidak sesederhana dan semanis itu, tapi jauh lebih dewasa dan kompleks yang sejalan dengan arti, "Siapapun berhak mendapatkan cinta". Dan bagian terdalamnya, cinta bukan soal fisik, tapi tentang respon emosional yang mungkin akan terdengar complicated, tapi del Toro menyampaikannya secara lugas dan cermat tentang apa itu cinta dan dibalik itu terdapat pesan isu orientasi seksual. Apalagi konsep soal impossibility's no matter of love in the world semakin terasa kuat bagaimana del Toro bermain soal cinta tanpa penggunaan bahasa verbal sedikitpun, selain dunia antara Elisa dan Amphibian Man yang jelas kontras berbeda, di dunia tanpa kata-kata hubungan mereka bagai terhubung oleh jembatan tak kasat mata.

Mungkin terasa sangat ganjil dan aneh, apa yang dibawa oleh del Toro dengan ambisinya yang absurd nan gila. Bahkan pesan moral soal cinta yang menghampiri Elisa, bukan serta merta dibuat berdasarkan rasa empati semata, justru dibuat dengan ikatan seksual. Mengingatkan saya dengan salah satu karya Aaron Moorhead dan Justin Benson, "Spring". Tapi, dalam film Spring atau Beauty and the Beast, keduanya masih memiliki bentuk/wujud manusia yang membuat kita masih bisa menerima konsekuensi atas emosi tersebut, lain halnya dengan Amphibian Man yang hanya mengambil sedikit sekali identitas/wujud manusia, tidak sama bahasa, alam dan rupa.


The Shape of Water buat saya bukanlah sebuah ke-absurdan, sebaliknya del Toro bersama Vanessa Taylor yang bergandengan menuliskan naskah justru memiliki cerita puitis dan jujur. Ada adegan ketika Elisa membayangkan dirinya bisa berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada Amphibian Man sambil menari diatas panggung, mirip adegan di film "The Artist". Dibalik cerita yang gelap dan sentimentil yang kerap menciptakan suasana horror, ada aura keluguan dan kekakuan terpancar dari karakter Elisa yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Sally Hawkins, selain harus berakting bisu, ditambah adegan frontal dan berani ia lakoni tanpa sehelai benang-pun. Elisa adalah wanita pemberani di balik sifatnya yang lazim sekaligus unik, berbanding terbalik dengan Zelda, yang terbilang cerewet tapi caring. Richard Jenkins yang perannya pun cukup dominan, bermain peran dengan Sally terasa memiliki chemistry yang kuat, seolah mereka berdua tampak seperti ayah-anak karena memiliki sifat yang cenderung sama. Dan salah satu aktor favorit saya, Michael Shannon, sayang aktingnya kurang memikat di film ini, meski saya suka kemampuan Shannon betukar peran baik sebagai protagonis maupun antagonis di beberapa film sebelumnya. Entah kenapa, mungkin karena pendalaman tokoh Strickland yang stereotipikal, seharusnya pengenalan sampai kerumah tangganya bisa menjadi suntikan moral yang lebih dalam.


Tapi, diantara itu semua adalah kekuatan sinematis yang dibuat oleh Dan Laustsen, yang membawa The Shape of Water menjadi salah satu pemenang Oscar dalam Best Motion Picture of the Year, juga mengantongi 3 kategori lainnya. Melalui ciri khas del Toro, tone gelap dengan dominasi siluet, green dan teal, dan tak jarang membaurkan sedikit palet warna merah, tiap bingkai adegan dibuat begitu indah dan membekas, bahkan warna tersebut kerap menjadi simbolisasi yang mampu berbicara banyak yang kadang dijelaskan melalui dialog. del Toro menjelaskan bahwa film ini awalnya akan dibuat hitam-putih, tapi kemudian diputuskan untuk membuat film berwarna, warna hijau dominan mewakilkan soal masa depan (baca ini atau ini). Selain dari daya tarik visual hingga desain produksi yang memukau, gubahan musik dan scoring film ini pun mampu memberikan nuansa klasik dan elegan yang kadang pas dengan setiap adegan yang ada, sehingga The Shape of Water tidak saja menembus batas-batas imajinasi, daya pikatnya pun terhantar begitu dalam menghipnotis hampir ke seluruh indera.






Sejak dulu saya selalu berangan bisa menuliskan atau setidaknya membuat sebuah film autobiografi kehidupan saya sendiri, hanya saja siapa yang mau mendengar cerita hidup saya yang sangat membosankan dan tidak terlalu penting. Tapi, kadang berbagai film seperti Boyhood, Edge of Seventeen, 20th Century Woman atau Paterson, kesederhanaan dan kekosongan yang kita lewati dalam hidup, jika kita mau melihat diri kita sendiri lewat sudut pandang orang ketiga ternyata hidup ini menyimpan sesuatu yang bermakna dan bernilai tinggi tanpa kita sadari. Itulah kenapa saya bisa begitu jatuh cinta dengan film yang tampil dengan kesederhanaannya sama seperti kisah semi-autobiografi dari debut penyutradaraan Greta Gerwig, Lady Bird yang related dengan kehidupannya sendiri.

Lady Bird atau nama tokoh utama bernama lengkap Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan) sebetulnya remaja SMA 17 tahunan yang serupa dengan gadis belia seusianya, punya banyak impian, struggling dan naif. Mengambil setting lokasi sama dengan tempat lahir Greta, Sacramento, California di tahun 2002, film ini menceritakan sekelumit kisah kehidupan keluarga, sekolah, sosial dan percintaan dari gadis yang bermimpi bisa kuliah di New York dan pergi meninggalkan kota tempat ia dibesarkan.


Sebetulnya kisah Lady Bird sekelibat tampak membosankan, bukan? Apalagi pernah teman saya yang melihat sebentar cuplikan trailer film ini pun jadi enggan menontonnya hanya karena trailernya tampak tak menarik dan terkesan generik. He was very wrong! Justru bagian menariknya adalah sang tokoh utama itu sendiri yang membuatnya menarik, nama "Lady Bird" (dengan tanda kutip) sama seperti tatanan warna rambut merahnya yang unik adalah hasil kreasinya sendiri, bahkan ia bersikeras menolak dipanggil dengan nama aslinya, "I gave it to myself. It’s given to me, by me". Selain itu Lady Bird adalah gadis yang selalu berusaha menjadi pusat perhatian dan mencoba berbeda dari yang lain, tampak dari berbagai kekonyolan yang ia lakukan kadang membuat saya tersenyum simpul.

Lady Bird adalah gadis yang keras kepala, sangat vocal, naif dan selalu berusaha menjadi pusat perhatian orang lain disekitarnya. Interpretasi nama Lady Bird seperti mewakili ciri seekor burung yang bisa terbang tinggi bebas dan berkicau semaunya dimanapun ia berada dengan pesona yang coba ia tebarkan ke dunia. Dalam keluarganya, Lady Bird selalu bertengkar dengan ibunya Marion McPherson (Laurie Metcalf) yang sama-sama keras kepala dan bersikap otoriter terhadap hidupnya, bahkan masalah-masalah sepele hingga adu mulut pun membuat kericuhan kecil seperti kucing dan tikus, meski setelahnya mereka kembali akrab satu sama lain dan pertengkaran sebelumnya pun terlupakan. Berbanding terbalik dengan ibunya, ayahnya Larry McPherson (Tracy Letts) justru bersikap sangat lunak dan pasif meski Larry tetap bisa menjadi figur ayah yang baik dan memberikan support terhadap apa yang anaknya inginkan. Lady Bird pun memiliki kisah cinta, dari pacar pertamanya yang canggung Danny (Lucas Hedges) dan pacar keduanya Kyle (Timothée Chalamet), anak band yang berteman akrab dengan gadis populer dan modis disekolahnya, Jenna (Odeya Rush). Bertemu dengan problematika dari putus cinta dan pengalaman seks pertamanya memberikan dinamika kehidupan Lady Bird seiring pencarian jati dirinya sebagai seorang wanita.


Nama Greta Gerwig tentu saja sangat mengejutkan, Lady Bird sebagai debut penyutradaraannya mampu ditanggapi positif sebagian besar kritikus bahkan sanggup terpilih dalam 5 nominasi Oscar, salah satunya pada kategori tertinggi "Best Motion Picture of the Year", meski disayangkan Greta belum mampu menyabet satupun piala disana. Membawa kisah kehidupannya sendiri melalui film indie bergaya hipster, Lady Bird adalah film yang begitu realistis terutama kehidupan Lady Bird sangat mencerminkan kehidupan sehari-sehari. Selain itu Greta berhasil mendeskripsikan setiap konflik dan tokoh sampingan tidak terbuang sia-sia, semua tokoh mampu dihidupkan dan mengisi kehidupan sang tokoh utama. Naskah yang ditulis sendiri oleh Greta pun diisi dengan dialog-dialog yang tidak membosankan dan padat makna, sebagaimana Greta memang sudah terbiasa menulis naskah film semisal Mistress America dan Frances Ha.

Mendapuk Saoirse Ronan sebagai karakter sentris dan artis senior Laurie Metcalf, keduanya mampu merealisasikan relasi ibu-anak yang terasa natural, powerful, lucu, manis dan emosional, mungkin tidak heran jika keduanya pun bisa meraih nominasi di ajang piala Oscar kemarin. Dan tentu saja sentuhan sinematografi yang terhampar dari tiap sudut take-shot yang menawan dan perfect, meski pengambilan gambarnya hanya melalui sudut rumah, pertokoan, dan sekolah katolik tempat Lady Bird belajar tapi gaya sinematis ini mendukung susunan cerita yang menambah suasana terasa warm dan sweet. Seolah Greta bukan saja ingin menyampaikan semi-otobiografi dirinya, tapi melalui kota kelahirannya Sacramento, Greta ingin mewakilkan rasa rindu dan cinta dirinya oleh ikatan kuat masa lalu di kota yang pernah ia tinggali.






Setelah sekian lama blog menganggur dan tidak menonton film, dikarenakan sampai hari ini mencari mood untuk menonton itu susah dan ke-sok sibukan saya di dunia nyata, hingga salah satunya saya terlena mengurus blog lain yang ternyata lumayan berhasil di monetisasi. Lalu, saya kepikiran dengan blog lemonvie yang tampaknya tak kunjung berkembang, bukan masalah soal (ngarep) monetisasi google adsense yang tak kunjung diterima, tapi hanya saja terlalu sayang bahwa blog yang sudah berumur 2 Tahun lebih ini akhirnya jadi terbengkalai karena kemalasan saya menulis. Padahal saya sudah membuang uang demi membuat domain khusus buat blog ini. Jadi, kebetulan karena dari kemarin saya penasaran dengan film-film Indonesia, lalu saya mencoba mencari referensi film Indonesia yang bagus, dan bertemulah saya dengan film berjudul Posesif yang dirilis tanggal 26 Oktober 2017 kemarin.

Seperti tampak dari judul dan poster yang manis dengan warna cerah yang menggambarkan kebahagiaan dua pasang remaja SMA Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino) yang sedang memadu romansa kehidupan cinta mudanya, saya mengira film yang disutradarai oleh Edwin ini bakal bercerita banyak soal romantisme klise murahan bergaya rom-com ala drama FTV. Tapi, diluar ekspetasi Posesif berubah menjadi film dengan taste berbeda, cerdik merangkai naskah yang memiliki limpahan gejolak emosional luar biasa untuk drama coming of age yang minimalis seperti ini, apalagi nuansa sekolah sederhananya membentuk kejenakaan dan kenaifan remaja yang justru disentil melalui penceritaan yang realistis dan berani oleh Edwin.

Lala adalah seorang gadis SMA sekaligus atlet lompat indah, bersama ayah sekaligus pelatihnya (Yayu A.W. Unru), Lala menjadi anak tunggal semata wayang yang menjadi tumpuan harapan keluarganya agar bisa menjadi atlet lompat indah profesional seperti mendiang ibunya yang telah tiada. Suatu hari Lala bertemu dan berkenalan dengan Yudhis, murid pindahan baru yang bersekolah ditempatnya. Karena saling tertarik dan jatuh cinta keduanya pun berpacaran, namun meski begitu hubungan mereka harus mengalami jungkir balik yang menyertai hubungan keluarga hingga masalah berat yang menguji komitmen dan masalah cinta diantara mereka.


Edwin sang sutradara memang bukan sutradara yang boleh dipandang sebelah mata, lewat karya film pendeknya berjudul Kara, Anak Sebatang Pohon yang berhasil menembus ajang Festival Film Cannes 2005 dalam sesi Director's Forthnight. Selain itu film pendek lainnya, Perempoean Yang Dikawini Andjing diputar di berbagai ajang festival internasional dan berhasil meraih berbagai pernghargaan dalam negeri. Jadi, bisa dikatakan Edwin ini memang bukan filmmaker konvensional, setelah Posesif pun akhirnya film karya terbarunya ini mendapatkan berbagai penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia 2017 dalam kategori Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik (Putri Marino) dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik untuk (Yayu Unru).

Maka dari itu Posesif melalui naskah cerita Gina S. Noer (Rudy Habibie, Pinky Promise) terbilang luar biasa yang mampu menekan sisi gelap dari yang namanya berpacaran, alias sisi yang menimbulkan tindak kekerasan dalam love-relationship. Posesif mampu membuat judul terasa kuat dan lekat dalam cita rasa yang berbeda, kuat mengiringi bukan saja lewat hubungan dan masalah antara Yudhis dan Lala, tapi permasalahan yang saling berbenturan satu sama lain antara kehidupan sosial Lala maupun masalah antara keluarga yang juga saling menguatkan definisi soal Posesif itu sendiri, semacam bola billiard yang dipukul saling berbenturan satu sama lain menimbulkan kompleksitas dan keriuhan yang berarti. Menonton Posesif ini ibarat saya seperti merasa was-was saat menonton film "The Gift", yang mampu menimbulkan rasa tidak nyaman, ketakutan dan teror,  tentu saja yang berbeda adalah definisi bahaya itu sendiri datang dari orang yang paling dekat dan paling dicintai.


Edwin pandai meracik narasi, meski menenggelamkan saya ditengah-tengah cumbu, rayu dan gombal disetiap adegan dan dialog yang kadang terselip kelucuan, tapi tidak membuatnya menjadi chessy dan justru membuat chemistry kedua tokoh utamanya semakin kuat. Karena chemistry yang dibangun saya semakin lupa dan akhirnya tersadar, bahwa Edwin sebenarnya sedang membawa saya pada tahap realita kehidupan, tak ayal membangunkan saya dari mimpi-mimpi indah tentang cinta yang sesungguhnya racun dan tentu saja relatively violent, bahwa ia pun mampu membawa luka juga melukai tanpa sadar. Posesif membawa sebuah kisah yang relatable, mengundang pernyataan bahwa cinta itu bisa mendatangkan labilitas emosional dan psikologis. Dan kemudian ikatan kuat itu malah membuatnya semakin menjerat dan merantai. Ada kompleksitas yang hadir, obsesi serta kegilaan membuat perasaan saya menjadi campur aduk menonton film ini.

Tentu saja kekuatan itu mampu ditunjukkan melalui akting para pemeran utama dan pendukungnya, terutama Adipati dan Putri yang tampil memikat. Salah satunya Yudhis yang diperankan Adipati. Tokoh yang sempat membuat saya menyangka hanya sebagai protagonis sentris biasa, namun kemudian ia berubah menjadi antagonis berbahaya, dibalik sikapnya yang penyayang dan pengertian, namun ia over possessive, temperamental, hingga kadang bisa berperilaku kasar dan kejam. Lalu ada Putri Marino yang berperan sebagai Lala yang mampu mensinkronitaskan kehadiran Yudhis, seorang gadis biasa nan luar biasa yang mampu menarik perhatian hati saya, melalui setumpuk masalah kompleks dan penderitaan baik fisik dan psikis, tapi ia adalah wujud dari tough-girl, dari kesetiaan, ketulusan dan pengorbanannya meski dibalik itu pun ia sosok yang naif dan egois. Tapi, tak urung mengimbangi sosok Yudhis yang keduanya punya karakter kuat. Posesif mampu menunjukkan sebuah 'warning' dalam realitas kehidupan remaja atau dewasa sekalipun dalam tindak kekerasan gender dan selipan moral, dengan begitu banyaknya bombardir emosi dan sebuah 'breakthrough' film romantis yang juga tak luput untuk tetap tampil manis ini mampu meletupkan rasa berbeda dari genre romantis sendiri.







Kanibalisme, sebuah kata yang cukup terdengar mengerikan di telinga awam. Lewat temanya saja kanibal seolah identik dengan kekejaman, kebrutalan dan pemberi rasa mual karena manusia normal mana yang mau melihat manusia memakan manusia lainnya ketika bagian tubuh dicabik dan dimutilasi sampai pada tingkat mengkonsumsi layaknya daging sapi dimakan mentah. Identitas itu cukup melebur secara klasik dalam dua film bertema serupa seperti "Cannibal Holocaust" yang kontroversi dan "The Silence of the Lambs" yang fenomenal. Raw aka Grave merupakan film berbahasa Prancis, debut sutradara Julia Ducournau yang kembali memberi tantangan pada penontonnya apa arti dari kanibalisme sebenarnya bukanlah soal tradisi suku primitif ataupun merupakan gejala penyakit psikopatik, melainkan gejala dalam sosial urban yang ternyata mampu melekat dalam kondisi manusia normal manusia yang bersifat 'natural'.

Justine (Garance Marillier) merupakan gadis remaja yang baru saja akan memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswa di kampus kedokteran hewan. Semua keluarga Justine berprofesi sebagai dokter hewan sekaligus penganut prinsip hidup vegetarian. Sebelumnya Justine harus mengikuti kegiatan ospek mahasiswa yang dilakukan oleh senior di kampusnya. Namun, melalui beberapa kejadian memaksanya melanggar prinsip keluarga dan terpaksa mengkonsumsi daging sebagai pantangannya. Lambat laun Justine menemui gejala aneh setelah ia tahu pertama kalinya rasa dari daging yang ia makan hingga membawanya menyadari akan dirinya adalah seorang kanibal yang kecanduan.



Mencampur kisah coming of age, Raw secara simpel menjelma sebagai horror (drama) tentang kehidupan gadis normal ditengah tekanan sosial dan pencarian jati dirinya sebagai remaja belasan tahun. Justine tampak sebagai gadis biasa, polos, pendiam (kuper) namun cerdas dalam bidang akademiknya. Justine pun begitu akrab dengan seorang pria gay yang baru ia kenal dan juga sekamar dengannya, Adrien (Rabah Nait Oufella) sebagai satu-satunya teman dekatnya yang baik dan ramah terhadapnya. Selain itu Justine pun memiliki seorang saudara kandung sekaligus seniornya sendiri bernama Alexia (Ella Rumpf), wanita berperawakan emo, kasar, egois dan suka seenaknya terhadap Justine.

Raw mengajak saya menikmati gelagat tumbuhnya kepribadian Justine sekaligus mengungkapkan fakta dirinya sebagai seorang kanibal yang tidak diketahui oleh dirinya sendiri. Antara dilema moral sebagai manusia dan hewan kanibal. Pergolakkannya dalam mencari jati diri sembari mengenal siapa dirinya, hingga menawarkan sedikit romansa pergolakan jiwa muda dalam kenaifannya mencari cinta kepada seorang homoseksual ataupun mudahnya ia diperalat oleh tindakan senioritas dan dominasi dari kakaknya sendiri.


Ducournau yang juga selaku penulis naskah film ini mempunyai sekelumit misi untuk memberi kesenangan demi kesenangan meski tempo mengalun lambat, melalui visualisasi yang cukup gory dan mengganggu, dari sekedar memakan rambut sampai mengubek-ubek anus sapi. Ducournau dengan rasa tak berdosa memaksa penonton gentar dengan teror visualnya, hingga film ini selesai tiada kata indah terucap untuk merangkai kisah yang begitu menjijikkan namun cantik, selain menahan lahap makanan yang hampir terkunyah masuk tenggorokan kembali dimuntahkan akibat hampir setiap adegan dipenuhi kegiatan-kegiatan menjijikkan dan mengganggu yang asalnya tidak semua berasal dari adegan kanibalisme. Sedangkan Ducournau sengaja mempropoganda penonton lewat visual tapi tidak lewat teror kanibal yang adegan tersebut bisa dihitung dengan jari dan tak segila yang dibayangkan.

Selain itu Raw menyelipkan isu remaja dalam pencarian identitas, saat para pemilik almamater ini begitu liar dalam kegiatan mereka diluar jam kegiatan kuliah dengan masih tercium aroma seks bebas, cinta monyet, senioritas dan alkohol disamping fakta yang tanpa kita sadari film ini masih dalam ruang lingkup kampus dan asrama. Di lain hal Ducournau menjelaskan hubungan antara Justine dan Alexia sebagai saudara kandung pun tampak absurd, kecenderungan antara perasaan benci-cinta itu justru merusak konflik relatable dalam perkembangan cerita sebagaimana kisahnya sendiri lebih banyak dibangun oleh hubungan keduanya, dan justru ketertarikan saya muncul pada hubungan semi-romantis antara Justine dan Adrien yang kadang menemui dilema.


Raw sebenarnya bukanlah film kanibal yang terasa menghantui dan memberi ruang teror mengerikan, hasil itu hanya tampak pada usaha keras Ducournau menonjolkan ke semuanya dari segi visual yang disturbed dan bukan pada pola kisah yang lebih berani dan menantang. Menampik batas-batas kewajaran dalam sinematis yang masih terlihat memikat dan cantik, Raw dikategorikan horror kanibal yang masih wajar dan tidak pada sampai tahap kontroversi, meski terdapat kasus pada Festival Film Gothenburg, Swedia. Raw setidaknya membuat 30 orang meninggalkan layar bioskop sebelum film selesai, sisanya dikondisikan pingsan dan muntah saat menontonnya.

Tapi, Raw masih bisa ditolerir, akting memikat artis muda Garance Marillier cukup memberi nuansa teror dalam keheningan yang sangat intens yang cukup dapat dinilai dari tatapan matanya yang tajam mengumbar nafsu buasnya, hingga tahap adegan vulgar dan gila yang berani ia lakukan. Selain itu melalui tema horror urban film ini menunjukkan identitas kanibalisme, karena Ducournau sendiri sedang menggambarkan eksistensi mereka yang bisa saja hidup ditengah masyarakat seperti yang pernah disampaikan melalui film "The Neon Demon", ataupun persamaan akan gelora hasrat para kanibal terhadap daging manusia sebagaimana keluarga vampir Cullen pada darah manusia. Obsesi, kecanduan, orientasi hingga sifat natural seorang kanibal yang kemudian ditampar oleh kesadaran berpikir manusia yang masih menggunakan hati nurani dan akal.






Ini adalah film tv series ketiga setelah Game of Thrones dan Breaking Bad yang saya akui segila keduanya, meski film yang diberi judul The Handmaid's Tale ini baru berjalan 1 season. Tapi, sejujurnya ini merupakan film horror yang sebetul-betulnya horror mengerikan. Ya film horror khusus buat perempuan sekaligus kental dengan selipan feminisme lewat gempuran kebobrokkan dunia syarat radikalisme agama. Hingga saat saya menikmati film yang memiliki 10 episode dengan durasi hampir 1 jam saya sudah banyak-banyak beristighfar sangking gilanya film ini!

The Handmaid's Tale adalah cerita fiksi yang berasal dari novel best-Seller karangan Margaret Atwood, seorang wanita asal Kanada yang pertama kali mempublikasikan bukunya di tahun 1985, kemudian diadaptasikan melalui program TV 'Hulu' di tahun 2017. Singkatnya The Handmaid's Tale berkisah tentang dunia distopia dimana negara adidaya dan liberal yaitu Amerika Serikat dikuasai oleh ekstrimis agama (mungkin pandangan kita di dunia nyata semacam gerakan ISIS), yang sekarang berubah nama menjadi 'Republic of Gilead'. Film ini dilatar belakangi isu kekacauan dunia akibat polusi udara oleh pabrik dan juga kerusakan alam yang mengakibatkan sebagian besar manusia mengalami kemandulan baik pria dan wanita, sehingga kekacuan tersebut dimanfaatkan oleh gerakan ekstrimis agama dengan mensabotase kekuasaan di negeri Paman Sam.


Kisahnya diawali dengan seorang wanita handmaid bernama Offred (Elisabeth Moss) (bukan nama asli, namanya diganti setelah ia menjadi handmaid yang diambil dari nama depan tuannya, Commander (istilah buat para pria kepala rumah tangga) bernama Fred (Joseph Fiennes) dan istrinya Serena Joy (Yvonne Strahovski)). Sebelum Offred menjadi handmaid, ia adalah wanita karir yang memiliki kehidupan normal bersama suaminya Luke (O-T Fagbenle) dan gadis kecilnya Hannah, ia terpaksa terpisah dengan keluarganya setelah berusaha kabur dari kejaran anggota sekte tersebut dan ditangkap. Offred yang tertangkap kemudian dipaksa untuk bekerja sebagai handmaid bagi keluarga kaya dan elite, Waterford (Fred dan Serena). Selain disana ia pun mengenal Rita (Amanda Brugel) pembantu rumah tangga dan Nick (Max Minghella) sopir khusus keluarga Waterford.

Sebelumnya wanita digolongkan oleh beberapa kelas berdasarkan tugas/peran yang tersimbol melalui warna pakaiannya, red (merah) menandakan the handmaid (pembantu/budak), green (hijau) menandakan istri-istri para commander, brown (coklat) pembantu rumah tangga yang sudah renta (menopause) biasanya mengurusi dapur dll, dan black (hitam) atau biasa dipanggil "bibi" mereka ibarat 'suster' yang mengatur tindak tanduk para handmaid. Wanita di film ini tidak lagi punya hak dan kebebasan mutlak, mereka dikekang oleh teokrasi kejam. Mereka tidak bisa lagi diizinkan memiliki aspirasi, opini, tidak diizinkan bekerja, tidak diizinkan keluar rumah selain untuk keperluan penting, hingga tidak diizinkan membaca atau menulis (alias tidak diizinkan memiliki pengetahuan sama sekali). Semua yang mereka lakukan dibatasi, hanya diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah dan melayani suami/tuan mereka. Sedangkan kaum laki-laki memiliki kekuatan/kewenangan penuh atas pekerjaan yang mana wanita tidak diizinkan melakukannya.


Yang paling miris mereka yang masih memiliki rahim subur ditangkap dan dipaksa menjadi handmaid hingga hampir dari mereka semua diperlakukan sebagai "alat" untuk berkembang biak (istilah kasarnya: jadi ternak manusia) bagi para majikan mereka yang tidak mampu menghasilkan keturunan alias mandul. Jika mereka tidak menurut atau melanggar aturan agama, mereka disiksa, sebagian di rajam (potong tangan/kaki) dan selebihnya dibunuh dan digantung di tembok-tembok jalanan. Selain dari itu, para pelaku homoseksual hingga yang dianggap pezina (wanita/pria) dihukum berat dan sebagian pula ada yang dihukum mati.

Sejenak ketika saya sedang menggambarkan betapa kejam dan mengerikannnya film ini, terutama bagi kaum wanita. Secara tidak langsung apa yang tersirat pada distopia masa depan film ini lumayan tersinkronisasi dengan apa yang sedang berkecamuk di masa kini. Ya, film ini seperti sedang menggambarkan ramalan buruk yang mungkin bisa terjadi di masa depan nanti. Mencolek beberapa negara seperti Iran dan juga gerakan taliban, hingga polusi dan pemanasan global yang kian hari merusak ekosistem dan mengancam kesehatan manusia. Kegilaan inilah yang coba di serempetkan oleh Bruce Miller sebagai kreator film ini mencoba mengkritisi sekaligus memberi pemahaman terhadap gejala yang terjadi sekarang, sehingga The Handmaid's Tale yang diluncurkan tahun 2017 lalu begitu pas dengan isu yang terjadi sekarang ini.


The Handmaid's Tale sendiri adalah film yang betul-betul menggambarkan kebobrokkan, keputusasaan yang membuat saya menelan ludah berkali-kali, sempat mengalami emosi hingga tak jarang meneteskan air mata kala setiap episode berhasil menggilas perasaan saya. Plot dan cerita The Handmaid's Tale sebetulnya sangat simpel, berjalan dengan alur yang begitu lambat. Tapi, Miller berkali-kali berhasil membangun atmosfer tanpa membuatnya terasa membosankan,  permainan scoring yang menyeramkan, kadang juga beberapa musik popular diselipkan dibeberapa bagian untuk menghilangkan stress penonton (meski sama sekali tak berpengaruh).

Pendeskripsian tema cerita pun begitu menyengat, saya seperti sedang kembali ke masa lalu Amerika Serikat saat terjadinya perbudakkan kaum kulit hitam, tapi dengan gaya kota yang sudah termodernisasi. Dekorasi dan dress yang mereka pakai pun melengkapi tema yang disampaikan seolah peradaban maju dan modern kembali mundur dan tradisional, hingga bagaimana Miller menciptakan suasana teror yang kian menghinggap tiap detik dalam kesunyian. Juga bagaimana kota-kota dan pinggiran rumah berubah seperti kota suram meski cukup ramai orang berlalu lalang baik mereka handmaid yang hendak berbelanja atau tentara bersenjata yang sedang berkeliling menjaga kota, kehidupan statis, suram dan beberapa teknologi dan benda-benda yang sebagian dimusnahkan agar dapat menjalankan beberapa aturan-aturan tak masuk akal yang berasal dari alkitab yang mereka yakini berasal dari Tuhan.


The Handmaid's Tale mengganyang dua penghargaan Golden Globes dalam kategori "Best Television Series - Drama" dan "Best Performance by an Actress in a Television Series - Drama" untuk akting Elisabeth Moss. Film yang kemudian menggambarkan distopia ini pun tak elak mengkuatkan isu feminisme ke tengah-tengah cerita. Perjuangan yang digambarkan melalui penderitaan, ketegaran, dan putus asa para wanita selain tersirat jelas melalui apa yang dirasakan Offred selaku tokoh utama ditengah pusaran kegilaan ini menjadi isu yang menonjok keras. Berkali-kali pun sempat saya temukan dialog-dialog yang menyindir kultur dan sosial akan eksistensi dan keberdayaan wanita di tengah masyarakat.

The Handmaid's Tale adalah film yang wajib ditonton, memandang bahwa film ini mencoba mengkritisi dan membawa isu penting soal kehidupan modern seperti sekarang, tentang moral, hak asasi manusia hingga pemahaman-pemahaman sensitif terkait feminisme, kultur dan agama. Ini mungkin adalah film sakit dan gila, cukup yakin bahwa menonton film ini harus kuat mental, karena banyak sekali ironi dan tragedi yang dialami wanita-wanita di film ini baik fisik dan psikis mereka, dihadapkan pada tragedi holocaust, pembantaian, pemerkosaan dan tragedi moral yang tak sedikit membuat perasaan tak nyaman. Tapi selebihnya, jika kalian penyuka film-film 'hardcore' seperti Breaking Bad atau Game of Thrones, mungkin The Handmaid's Tale pilihan yang tepat, apalagi buat yang sedang menunggu lama GoT (seperti saya) yang masih harus menunggu tayang 2019 nanti, mudah-mudahan film ini bisa meredam rasa sakit hati Anda.







Perempuan cantik berkelahi dan membunuh memang bukan lagi tontonan baru, cukup tengok contoh paling fenomenal Black Mamba yang diperankan Uma Thurman di film Kill Bill vol 1 & 2. Adegan yang selalu dilakoni aktor laki-laki ini kemudian berubah haluan saat perempuan mengambil alih lebih banyak. Tahun 2017 pun turut diramaikan bukan saja melalui "Atomic Blonde" yang mampu membuat akting Charlize Theron sangat anggun sekaligus badass, Korea Selatan pun tidak mau kalah menampilkan perempuan-perempuan berparas girl band ini sama gilanya dengan si "blondie" yang berjudul The Villainess aka Ak-Nyeo.

Sook-hee (Kim Ok-bin) seorang wanita malang yang berusaha mengejar pembunuh ayahnya, kini harus berada dibawah naungan organisasi underground yang dipimpin oleh Kwon-Sook (Kim Seo-hyung). Dengan sebuah identitas baru dan kehidupan baru untuk menyamarkan dirinya sebagai mata-mata dan pembunuh bayaran, Sok-hee yang berharap untuk mendapatkan kehidupan normal bersama anaknya Eun-Hye, tidak serta-merta membuat kehidupan Sook-Hee terlepas dari masalah ketika ia dihadapkan pada dua pria yang dicintainya Joong-sang (Shin Ha-kyun) sang mantan kekasih dan Hyun-soo (Bang Sung-Jun) pria yang baru dikenalnya.


Sebelum saya membahas bagaimana adegan bak-bik-buk dalam film ini yang tampil begitu panas dan brutal, saya ingin mempertegas lagi bagaimana sosok perempuan di film ini begitu eksklusif. Jung Byung-Gil sang sutradara memberi posisi eksklusif bagi sosok wanita yang justru berbeda dari Atomic Blonde dalam ruang lingkup cerita espionase yang lebih dalam tapi tidak menekan kepribadian dan emosi sang tokoh utama. The Villainess sebaliknya, membawa potensi cerita yang lebih sempit dengan mengedepankan sensitifitas tokoh utama, Byung-Gil memporsikan cerita lebih mendasar dan lebih personal.

Diluar tema yang tampak begitu deras akan aksi. The Villainess mungkin bisa saya sebut sebagai melodrama-action yang tak kunjung henti memperlihatkan ketar-ketir kehidupan Sook-hee. Jung Byung-Gil beserta penulis naskah Jung Byung-Sik membuat ceritanya kian memporsir kedekatan kita pada emosi dan perasaan Sook-hee. Kita ikut bersimpati sekaligus menyukainya. Ketika ia beraksi segila, selincah dan sebadass, tapi tak luput akan sisi feminim dan manusiawinya Sook-hee. Dia tampak kuat dan beringas ketika menghabisi lawan-lawannya tanpa ampun, tapi disisi lain diperlihatkan sisi wanita naif dan lemah saat ia dipertemukan dengan kehidupan percintaan dan tenggelam oleh perasaannya tersebut. Dengan setumpuk kehidupan cinta dan pertemuannya dengan dua orang pria yang dicintainya, tentu selipan unsur romansa pastinya saya temui disini, meski adegan tersebut tampil begitu klise dari yang paling menempel dalam otak saya saat Sook-hee berpayungan dengan Hyun-soo ditengah hujan atau hal-hal romantis klise lainnya sehingga sekelibat saya seperti sedang menyaksikan serial drama korea, tapi ini tidak melunturkan imej The Villainess sebagai film action, justru mempertegas hubungan emosional para tokohnya terkukuh lebih solid.


Disisi lain Byung-Gil mencoba mengekspansi kehadiran wanita jauh lebih berpengaruh dalam film ini, seperti halnya Kwon-Sook sebagai tokoh chief wanita yang tegas dan karismatik, hingga para wanita assassin lainnya selain Sook-hee turut menyumbangkan ototnya, hingga terasa wanita di film ini tampak seperti kunoichi (ninja wanita) yang ototnya lebih banyak terpakai daripada pria (selain para anggota kriminal tentunya). Hingga menyelipkan seputar kultur modern di Korea Selatan soal operasi plastik sebagai standarisasi kecantikan di Korea, meski hal ini hanya terselip melalui sepercik adegan tak penting, tapi cukup mewadahi sedikit sindiran Byung-Gil mengenai hal ini.

Sebagai elemen utama yang disajikan yaitu aksi, ternyata berperan besar dalam menawarkan sinematis yang variatif dan belum pernah saya saksikan sebelumnya. Selain polesan sinematografinya yang sangat apik, perpaduan warna palette yang selalu pas dalam menggambarkan setiap moment yang berbeda-beda. Tapi, yang perlu digaris bawahi adalah penggunaan teknik dan efek kamera yang sangat fantastis saat aksi mulai diputar. Beberapa momen aksi diambil dengan efek teknikal "first person" (istilah dalam game FPS yang mengambil langsung sudut pandang orang pertama) hingga efek "fisheye", memberikan pengalaman sinematis yang begitu melekat dan dinamis dengan mata saya sehingga aksi brutal layaknya The Raid dan Kill Bill ini seolah kita sendiri yang mengalaminya, tanpa harus membuat saya pusing dan bingung dengan gerakan kameranya yang sangat aktif dan liar.



Tapi, sayang The Villainess memiliki ending yang tidak begitu konklusif dan terkesan membingungkan. Entah apa karena saya sebagai penulis dan penonton  yang kurang peka atau memang Byung-Gil yang kurang menggali lebih dalam soal konflik cerita. Kontradiksi ini lahir dari hubungan Sook-hee dan Joong-sang, perpisahan dan pertemuan mereka tampak begitu ambigu, apalagi sosok Joong-sang yang memiliki rahasia yang sedari awal sudah saya tebak dan memang mencurigakan. Dan hal aneh ini mengganggu saya terutama *SPOILER: Saya tak mengerti kenapa Joong-sang tega memutuskan membunuh anak darah dagingnya sendiri Eun-Hye yang buat saya masih sangat lucu-lucunya, (ingat adegan anak buah Joong-sang menyandra Hyun-soo dan Eun-Hyo dirumah, kemudian Hyun-Soo mengatakan pada Joong-sang melalui handphone bahwa Eun-Hye adalah anak kandungnya, tapi sayang jawaban dari Joong-sang sengaja dibuat tidak terdengar), ini membuat saya makin tak paham, apakah Joong-sang tak mempercayai kata-kata Hyun-Soo atau memang murni Joong-sang ini goblok dan tak menyadari bahwa Eun-Hye adalah anaknya sendiri? Tapi sayangnya Joong-sang mengakui pernah jatuh cinta pada Sook-hee, mereka menikah dan saya rasa dia tidak gila dan saya rasa dia hanya sedikit goblok dalam bertindak. Dari sini saya kontradiksi dengan kepribadian dan masalah yang dialami Joong-sang, hanya karena alasan pernah membunuh ayahnya Sook-hee, ia kemudian memalsukan kematian,  menyengsarakan Sook-hee dan tega membunuh Eun-Hye? Ini terlalu dangkal untuk sebuah konklusi. Meski saya menyadari mungkin seharusnya Byung-Gil dan Byung-Sik mengambil lebih banyak waktu menceritakan lebih dalam profil Joong-sang, sehingga konklusi terasa lebih masuk akal dan beralasan. Tapi, sayang ini membuat cerita menjadi timpang dan membuatnya menjadi menyebalkan. *SPOILER END*. Selain itu saya pun tak memahami apapun kondisi yang terjadi di universe The Villainess, termasuk organisasi yang dipimpin Kwon-Sook yang notabene apakah mereka berasal dari organisasi dibawah naungan polisi atau memang mereka berasal dari sindikat kriminal elite semacam John Wick yang menugaskan Sook-hee dan para wanita (cantik) rekrutan ini membunuhi target tanpa harus mempertanyakan siapa mereka. Meski ini bukan pondasi yang ingin disampaikan, tapi ini juga menimbulkan tanda tanya besar di akhir, sehingga menimbulkan kemungkinan adanya The Villainess 2, meski hal ini tak mungkin terjadi.