LEMONVIE: Fantasy
Showing posts with label Fantasy. Show all posts
Showing posts with label Fantasy. Show all posts


Kadangkala seorang filmaker/sutradara membuat film bertujuan untuk menyelipkan pesan atau isu penting yang mampu ditangkap dengan mudah oleh penontonnya. Dan yang paling krusial pesan tersebut harus mampu direspon baik melalui emosi dan logika penontonnya. Terutama apakah film tersebut mampu ditangkap secara visual melalui akal sehat. Bisa dibilang Guillermo del Toro yang selalu akrab dengan film visionernya yang unik dan selalu meleburkan inovasi dan imajinasinya melewati batas-batas sinematis tertentu. Tapi, sejujurnya ini bukan lagi kisah dark fantasy konvensional seperti karya-karya del Toro sebelumnya seperti The Devil's Backbone dan Pan's Labyrinth, melainkan sebuah langkah berani dan menantang tentang konsep mustahil tentang cinta seorang manusia, tapi del Toro menciptakannya.

Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah wanita penyendiri dan kesepian. Ia bekerja sebagai janitor di sebuah fasilitas penelitian rahasia milik pemerintah. Setting film ini diambil sekitar tahun 1962, saat perang dingin antara Amerika dan Rusia sedang berkecamuk. Elisa sendiri adalah seorang tunawicara, ia tidak bisa berbicara semenjak lahir. Dia memiliki dua teman dekat, pertama tetangganya, Giles (Richard Jenkins) pria tua (yang saya kira bapaknya) yang bekerja sebagai freelance artist yang juga hidup kesepian dan Zelda Fuller (Octavia Spencer) teman kerja Elisa yang sama-sama seorang janitor. Suatu hari Elisa dan Zelda mendapati seorang seekor monster amfibi "Amphibian Man" (Doug Jones) misterius yang baru dibawa oleh Richard Strickland (Michael Shannon) sebagai bahan eksperimen. Tapi, monster yang tampak seram dan berbahaya tersebut ternyata memiliki kemiripan layaknya manusia, dan membuat Elisa merasa tertarik dan jatuh cinta padanya.


Ada yang menyebutnya sebagai kisah fairy tale "Beauty and the Beast", tapi saya rasa konsepnya tidak sesederhana dan semanis itu, tapi jauh lebih dewasa dan kompleks yang sejalan dengan arti, "Siapapun berhak mendapatkan cinta". Dan bagian terdalamnya, cinta bukan soal fisik, tapi tentang respon emosional yang mungkin akan terdengar complicated, tapi del Toro menyampaikannya secara lugas dan cermat tentang apa itu cinta dan dibalik itu terdapat pesan isu orientasi seksual. Apalagi konsep soal impossibility's no matter of love in the world semakin terasa kuat bagaimana del Toro bermain soal cinta tanpa penggunaan bahasa verbal sedikitpun, selain dunia antara Elisa dan Amphibian Man yang jelas kontras berbeda, di dunia tanpa kata-kata hubungan mereka bagai terhubung oleh jembatan tak kasat mata.

Mungkin terasa sangat ganjil dan aneh, apa yang dibawa oleh del Toro dengan ambisinya yang absurd nan gila. Bahkan pesan moral soal cinta yang menghampiri Elisa, bukan serta merta dibuat berdasarkan rasa empati semata, justru dibuat dengan ikatan seksual. Mengingatkan saya dengan salah satu karya Aaron Moorhead dan Justin Benson, "Spring". Tapi, dalam film Spring atau Beauty and the Beast, keduanya masih memiliki bentuk/wujud manusia yang membuat kita masih bisa menerima konsekuensi atas emosi tersebut, lain halnya dengan Amphibian Man yang hanya mengambil sedikit sekali identitas/wujud manusia, tidak sama bahasa, alam dan rupa.


The Shape of Water buat saya bukanlah sebuah ke-absurdan, sebaliknya del Toro bersama Vanessa Taylor yang bergandengan menuliskan naskah justru memiliki cerita puitis dan jujur. Ada adegan ketika Elisa membayangkan dirinya bisa berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada Amphibian Man sambil menari diatas panggung, mirip adegan di film "The Artist". Dibalik cerita yang gelap dan sentimentil yang kerap menciptakan suasana horror, ada aura keluguan dan kekakuan terpancar dari karakter Elisa yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Sally Hawkins, selain harus berakting bisu, ditambah adegan frontal dan berani ia lakoni tanpa sehelai benang-pun. Elisa adalah wanita pemberani di balik sifatnya yang lazim sekaligus unik, berbanding terbalik dengan Zelda, yang terbilang cerewet tapi caring. Richard Jenkins yang perannya pun cukup dominan, bermain peran dengan Sally terasa memiliki chemistry yang kuat, seolah mereka berdua tampak seperti ayah-anak karena memiliki sifat yang cenderung sama. Dan salah satu aktor favorit saya, Michael Shannon, sayang aktingnya kurang memikat di film ini, meski saya suka kemampuan Shannon betukar peran baik sebagai protagonis maupun antagonis di beberapa film sebelumnya. Entah kenapa, mungkin karena pendalaman tokoh Strickland yang stereotipikal, seharusnya pengenalan sampai kerumah tangganya bisa menjadi suntikan moral yang lebih dalam.


Tapi, diantara itu semua adalah kekuatan sinematis yang dibuat oleh Dan Laustsen, yang membawa The Shape of Water menjadi salah satu pemenang Oscar dalam Best Motion Picture of the Year, juga mengantongi 3 kategori lainnya. Melalui ciri khas del Toro, tone gelap dengan dominasi siluet, green dan teal, dan tak jarang membaurkan sedikit palet warna merah, tiap bingkai adegan dibuat begitu indah dan membekas, bahkan warna tersebut kerap menjadi simbolisasi yang mampu berbicara banyak yang kadang dijelaskan melalui dialog. del Toro menjelaskan bahwa film ini awalnya akan dibuat hitam-putih, tapi kemudian diputuskan untuk membuat film berwarna, warna hijau dominan mewakilkan soal masa depan (baca ini atau ini). Selain dari daya tarik visual hingga desain produksi yang memukau, gubahan musik dan scoring film ini pun mampu memberikan nuansa klasik dan elegan yang kadang pas dengan setiap adegan yang ada, sehingga The Shape of Water tidak saja menembus batas-batas imajinasi, daya pikatnya pun terhantar begitu dalam menghipnotis hampir ke seluruh indera.






Ditempat paling kecil, sunyi dan sempit sekalipun manusia akan temukan apa yang disebut kebahagiaan. The Red Turtle aka La tortue rouge mungkin semacam metafora kehidupan, selain memandang bahwa ada sebentuk life survival manusia ditengah keputusasaan dan kesepian. Selepas sang legenda Hayao Miyazaki pergi meninggalkan kursi sutradara, eks-partner studio Ghibli kemudian tertarik memanggil Michael Dudok de Wit untuk mengangkat animasi mereka ke layar lebar, menyukai salah satu film pendeknya berjudul Father and Daughter (2000). Akhirnya diputuskan de Wit mengarahkan film Ghibli pertama untuk versi non-Jepang bersama studio besar lainnya, Wild Bunch.

Bersamaan dengan hype besar film animasi Your Name, ditahun yang sama, nama The Red Turtle mungkin tidak terlalu menggema dibanding rivalnya yang sukses di box office Jepang tahun 2016. Tapi, disisi lain film ini sukses merangkak ke nominasi Oscar pada kategori "Best Animated Feature Film" mengalahkan karya Makoto Shinkai, yang lagi-lagi studio Ghibli harus berbangga hati meski lepas dari maestro-nya, karya mereka tetap diminati oleh para juri Oscar.

Mungkin jangan dulu membayangkan kisahnya mirip "Cast Away", Robert Zemeckis, memang kisahnya soal pria "tanpa nama" terdampar dan terisolasi disebuah pulau tropis tak berpenghuni, tapi ini bukan sebuah kisah survival berjuang bertahan hidup, melainkan tentang makna dibalik hidup, keluarga, cinta dan alam yang indah tempat manusia bernaung. Hingga takdir mempertemukan pria tersebut dengan seekor penyu merah, mengubah hidup pria itu untuk selamanya.


Film ini dibungkus dengan animasi sederhana dan apa adanya, tekstur warna dan sketsanya lebih mirip buku gambar. Tidak seperti animasi Ghibli biasanya, penuh dengan fantasi, imajinasi dan dunia tanpa batas dari realisasi penuh warna dan karakter yang sangat unik dan aneh. The Red Turtle tampil minimalis, hanya potret pria dewasa normal dengan baju putih lusuh dipakainya, sesekali semacam anjing laut, kepiting bayi, burung, hingga dipastikan penyu yang hidup di pulau tersebut hanyalah comic relief tanpa embel-embel sihir dsb. Tapi, tentu saja sentuhan animasinya tetap luar biasa, menangkap setiap moment seperti sunset, langit bintang, dan berbagai animasi yang terkesan natural begitu tertangkap mata kita. Dan sesekali juga lewat mimpi dan delusi si "pria" yang kalut karena kesepian pun semakin memberi dinamika animasi yang dilihat dalam secarik kertas tampak statis tapi surprisingly ini panorama indah dan luar biasa cantik.

Filmnya tanpa dialog, entah karena ekspresi dari de Wit yang notabene pembuat film pendek, hanya terdengar sayup-sayup sekedar panggilan, "heiii". Tapi, sentuhan tersebut menambah penyampaian film yang tampak lebih membumi, tanpa harus berjibaku membentuk dan mengenal tokoh dengan dialog yang cerewet ataupun corak cerita yang rumit. Bersamaan dengan Pascale Ferran membantunya menulis naskah, The Red Turtle menyampaikan kesubtilan soal kehidupan, keluarga, dan cinta, hingga hal-hal membawa secarik kisah fantasi dan soft fable. Mengurai fase kehidupan panjang sampai masa tua, seolah konteks masalah yang dihadapi sang "pria" dalam kebuntuan, kesepian dan kesulitan di awal, hilang sekejap tumbuh mengenal cinta dan keluarga menjadi solusi dan harapan. Entah kamu ada diperbatasan hidup paling rumit dan sukar sekalipun, hingga datang masa-masa paling putus asa, ini seolah gambaran realita dalam metafora soal kehidupan. Bahkan sketsa Tsunami yang menerjang pulau pun seakan menggambarkan realita peristiwa tak diinginkan dalam hidup.

Filmnya indah dan luar biasa, hingga di penghujung akhirpun secara sentimental membuat kita sadar, ada sesuatu yang menghilang saat orang-orang yang kita cintai menghilang dan pergi begitu saja, Menggambarkan betapa hidup adalah proses yang sama, "lahir", "hidup", "mencari", "tua" dan "mati". Menyiratkan pasang surut hidup seperti bagaimana sang pria pertama kali hidup kesepian dan melarat ditengah pulau, berubah sebagaimana sosok wanita yang ia cintai merubah segalanya. Filmnya sederhana, tapi tetap menyampaikan materinya begitu kuat dan menyentuh sebagaimana film-film Ghibli, meski terdapat banyak metafora yang kurang lebih sulit dicerna karena filmnya pun tidak dibentuk dengan istimewa, tapi ini murni bahwa, "Keajaiban adalah realita kehidupan dan proses mencari makna hidup yang bisa dicari seorang manusia dibawah batu sekalipun."



| Director |
Michael Dudok de Wit
| Writer |
Michael Dudok de Wit, Pascale Ferran 
| Studio |
Studio Ghibli
| Rating |
PG (for some thematic elements and peril)
| Runtime |
92 minutes (1h 20min)



OFFICIAL RATING | THE RED TURTLE (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶 I'm waiting for someone.🙷

Hantu, laksana entitas misteri yang takkan terjawabkan, apakah mereka hidup sama seperti kita atau samasekali berbeda. Ada yang menyebutkan mereka adalah arwah penasaran manusia yang telah mati, ada juga yang mempercayai sebagai sosok jin atau setan. David Lowery (Ain't Them Bodies Saints, Pete's Dragon) memilih sosok hantu berasal dari eks-manusia yang telah mati, jauh dari kata horror, film bertajuk perjalanan hantu melewati garis ruang dan waktu antara kehidupan dan kematian, ini sebuah karya orisinil, selain membawa sudut pandang hantu yang biasanya menjadi objektifikasi film horror yang guna menakuti penonton dengan penampakan seram lagi menakutkan. A Ghost Story lebih bermakna soal drama pencarian dan kehilangan, entitas yang seolah terlupakan dan tersesat di dunia yang tidak lagi dimilikinya.


Sebut saja C (Casey Affleck) hidup bahagia bersama kekasihnya M (Rooney Mara) yang tinggal disebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi naas kejadian tak terduga menimpa C yang saat itu sedang mengendarai mobil pribadi miliknya, mengalami kecelakaan sehingga nyawanya tak sempat lagi tertolong. C yang sudah meninggal dan jasadnya terbujur kaku, bangkit kembali namun dalam wujud yang berbeda, menggunakan kain putih disekujur tubuh dengan kedua lubang mata hitam di kepalanya, ia kembali ke rumah kekasihnya yang sekarang tinggal sendiri di rumah bekas tempat mereka tinggal berdua, mencoba mencari tahu dan berinteraksi.

Melalui persentasi, absurditas hingga kental akan nuansa arthouse, A Ghost Story memang hanya disajikan untuk penonton minoritas. Apalagi berharap ini akan menyajikan horror mencekam layaknya "Insidious" atau "The Conjurung", jangan harap, mengingatkan saya juga dengan salah satu indie horror dari negara Iran "A Girl Walks Home Alone at Night" menggapai orisinalitas dan element classic yang dipuji kritikus. Lowery mengajak kita mengenal dunia yang sering dibayangkan oleh banyak orang soal kehidupan setelah mati, kesepian, kehilangan, kesesatan, dan kekosongan tanpa terbayang bahwa di alam berikutnya tanpa sadar waktu terus berotasi, orang-orang yang kita cintai telah pergi dan tak mengingat kita lagi, dan kita bukan siapa-siapa sementara menjadi hantu eksis dalam kehampaan dan ketiadaan tanpa ujung.



Penekanan drama dalam dua dunia yang saling bersinggungan meski eksistensi hantu tak mampu dilihat dan dirasakan oleh manusia (hidup), tapi secara cerdik Lowery membentuk alasan yang kemudian menjadi ironi dan dilema. Ada emosi ketika sebait rasa disampaikan melalui M dalam ratapan duka dan lara menangisi sang kekasih, padahal didekatnya hadir hantu C yang hanya mampu melihatnya dari sisi lain, tak bergeming. Melalui bungkusan kain, mungkin sulit merasakan emosi hantu, selain hal tersebut berdampak menjadi kekosongan tak bernyawa, tapi bukan berarti tak nampak, sesekali kita ikut merasakan sentimental melalui perilaku yang kadang "Mungkin jika piring, bingkai foto, jatuh dan pecah, hantu sedang marah".

Filmnya memikat secara aneh, pesannya menyampaikan bahwa dunia kematian pun sama dengan kehidupan, mencari tujuan dan harapan selain eksistensi mereka di dunia pun begitu panjang. Memberikan jawaban tentang "Kenapa rumah itu berhantu?", "Kenapa hantu itu usil dan jahat?", "Kenapa hantu didefinisikan sebagai entitas roh yang gentayangan dan mengganggu?" dan "Kenapa hantu selalu ada, dan tak menghilang dari kehidupan manusia?". Ya, bukan itu saja, film ini pun mencoba melodramatis dalam keheningan, kehampaan jadi dilema, dalam kurun waktu yang begitu panjang, eksistensi hantu pun menjadi mengerikan, melewati evolusi kehidupan dan zaman, sementara eksistensi mereka pun tetap statis. Tapi, sayang menemukan kisah yang saya harap linear pun berubah menjadi janggal, menciptakan jenis realita dalam cerita ruang dan waktu pun menjadi terasa aneh. Meski ini tidak seaneh "2001: A Space Oddysey" atau "Interstellar", ini tidak terlalu cantik untuk sebuah narasi yang magis dan haunting dengan pendekatan yang lebih realistis, terkesan dalam simpul yang aneh.


Tapi, ini tetap persentasi yang luar biasa, emptiness dalam visual arthouse yang luar biasa, bagai lukisan gerak yang menjerat melalui garapan sinematografer Andrew Droz Palermo. Meski kadang beberapa bagian diambil dengan take long shot yang lama, bahkan adegan Rooney Mara yang makan kue pie sambil menangis hampir terasa 2 menit lebih berjalan tanpa cut, tapi hal ini sukses mendekatkan emosi penonton pada para tokoh, melalui kehangatan, kepiluan dan keheningan, juga Daniel Hart menggubah aransmen musik yang kadang dari sayatan biola yang melirih, ataupun musik tempo yang kadang mampu membangun atmosfer terasa mencekam.

Sebetulnya garapan Lowery terasa luar biasa, kala ia pun selalu berani merangkul kisah yang sulit di terima kaum generik, semenjak Pete's Dragon, dari adaptasi kartun Disney yang kurang sukses, namun ia garap sebaik mungkin dengan "hati". A Ghost Story, dengan budget kecil, meski tahu filmnya takkan hype besar-besaran, melalui sentuhan art cinematic dan keindahan visual yang luas, mempertaruhkan penghasilan daripada kecintaan. Tapi, melandaskan kisah hantu diantara ruang dan waktu, ini tidak terlalu istimewa sebagai karya orisinil, meski konklusi akhir menjadi nyawa film yang tersampaikan kuat, tapi linearitas menjadi imbas kekecewaan. Merubah rasa suka saya menjadi emptiness total, meski A Ghost Story tetap film yang cukup berbeda dan tetap memiliki "hati" didalamnya.



| Director |
David Lowery
| Writer |
David Lowery
| Cast |
Rooney Mara, Casey Affleck
| Studio |
Ideaman Studios
| Rating |
R (for brief language and a disturbing image)
| Runtime |
92 minutes (1h 32min)



OFFICIAL RATING | A GHOST STORY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶 Welcome to a new world of gods and monsters.🙷

Terpampang jelas dua suku kata "Dark Universe" dari special logo di film The Mummy kali ini, akan dipastikan monster-monster klasik semacam Drakula, Frankenstein, The Invisible Man, The Wolfman, dll akan muncul satu-persatu nanti. Katakanlah trend ini tak kalah menarik semenjak Marvel memulai start pertama kali, kemudian diikuti DC Comics, hingga creature monster macam King Kong dan Godzilla diadu dalam satu arena di dunia yang sama. Tapi, proyek yang telah dicapai melalui Dracula Untold (2014), namun sempat berakhir mengecewakan dan rencana tersebut di batalkan dan di undur, sehingga 3 tahun kemudian sepakat bahwa peresmian lahirnya Dark Universe akhirnya melalui film yang pernah di remake dan popular 18 Tahun lalu diperankan oleh Brandon Fraser. Tapi, sayangnya meski telah menjadi kick-off Universal Studios yang meyakinkan, ini bukan sebuah awal yang baik untuk memulai.


Memasang Tom Cruise sebagai pemeran utama, jelas film ini sedikit mirip dengan film-filmnya yang terdahulu, semisal Mission: Impossible dan Jack Reacher. Hal ini memang bukan hanya asa yang terasa dari trailer yang disuguhkan, melainkan memang merangkul David Koepp, Christopher McQuarrie dan sisanya Dylan Kussman sebagai penulis naskah, telah menegaskan elemen apa yang dibawa oleh The Mummy, yang juga digawangi sutradara yang pernah menyajikan film drama "People Like Us", Alex Kurtzman. Tom Cruise berperan sebagai treasure hunter bernama Nick Morton, pergi ke wilayah konflik Irak bersama temannya Chris Vail (Jake Johnson) untuk mencari harta karun tersembunyi disana. Saat terjebak akibat serangan mendadak pemberontak lokal, hingga peluru rudal terlontar di area tersebut, Nick tak menyangka lubang yang terbentuk dari ledakkan rudal justru membuka makam tersembunyi disana, tanpa mengetahui isi peti yang coba ia bawa bersama rekan yang baru datang Jenny Halsey (Annabelle Wallis), ternyata adalah makam mumi Mesir Princess Ahmanet (Sofia Boutella) yang dikutuk membawa malapetaka dan kejahatan di dunia.


Sebelum saya betul-betul merangkai kalimat untuk menjelaskan betapa buruknya The Mummy sebagai debut Dark Universe, secara garis besar naskah buatan Koepp, McQuarrie dan Kussman ini sangat menyakinkan dan punya jalinan cerita yang memikat. Hal-hal tersebut menyangkut teknik penceritaan gaya khususnya Koepp dan McQuarrie menegaskan parade aksi yang memukau, dari sekedar scene Tom Cruise dan Annabelle Wallis berjumpalitan dalam pesawat yang akan jatuh tanpa stuntman dan stuntwoman, mirip sekuens mendebarkan Tom Cruise di film "Mission: Impossible - Rogue Nation". Hingga deburan badai pasir yang dibuat oleh sihir Ahmanet memporak-porandakan kota London dan seisinya, menengok juga mirip adegan "Mission: Impossible - Ghost Protocol". Ini semua tanpa berusaha mencocoklogikan, pun dapat kita saksikan bagaiman visualisasi hingga permainan musik stylish dalam beberapa sekuens action telah mempertegas hal tersebut.

Tapi, sayang hal ini justru berdampak pada tempo cerita yang akhirnya jatuh sempoyongan, apakah ini karena pengaruh cerita yang harusnya bertema horror dan thriller jatuh menjadi laga aksi penuh fantasy dengan kesan yang akhirnya kurang menggigit? Entah pengaruh Tom Cruise yang ikut campur tangan mengedit naskah hingga pemasaran yang ia lakukan jatuh pada hasil pendapatan yang mengecewakan dan merugikan di box office dengan selisih $400 ribu dolar dari budget aslinya $125,000,000.



Bahkan melibas beberapa adegan aksi yang tidak lagi relevan dan terkesan aneh, hingga salah satu scene yang masih tersimpan dibenak saat detik-detik Ahmanet coba menusuk belati ke jantung Nick, namun aksinya tersebut sengaja dihentikan tanpa faktor yang kuat. Juga hal-hal menyangkut aksi tidak lagi spektakular dan menegangkan dikala hal ini pun berakhir dengan akhir yang antiklimaks yang kesannya justru sama dengan film-film horror chessy lainnya, berakhir tidak memuaskan. Meski diluar itu, sketsa kisah dan konflik memang terasa mengejutkan hingga kemunculan Dr. Henry Jekyll menambah kompleksitas masalah. Namun sayang, pengembangan karakter pun seadanya, sehingga ikatan diantara karakter tiada karuan, hingga motif tiap karakter lah yang membentuk mereka jadi masalah.

Hal berkesan dalam film ini hanya tentang akting Tom Cruise masih terasa menarik dengan selipan komedi yang masih mewarnai kemampuannya dalam berlaga ataupun bercanda. Identik dengan salah satu filmnya di "American Made" yang rilis di tahun sama. Untuk Sofia Boutella, saya tak tahu apa yang bisa saya sampaikan mengenai aktingnya, kecuali riasan menakutkan dengan bola mata mirip kelainan mata Polycoria, hingga ada scene mengerikan saat ia bergelantungan di rantai, namun kemudian penampakannya sekilas mirip villain superhero dengan kekuatan supernaturalnya yang memukau, seperti menghidupkan zombie hingga menyedot energi manusia melalui ciuman. Sementara Russell Crowe berperan sebagai Dr. Henry Jekyll, nama yang terdengar tidak asing lagi di film-film monster tentang seorang ilmuwan yang memiliki kepribadian ganda yang mengerikan, salah satu monster yang digadang-gadang akan dibuat versi solonya. Setelah ini mungkin Dark Universe punya tugas berat untuk kembali menyemangatkan ekspetasi penonton yang sudah dulu dikecewakan dengan film The Mummy ini.





| Director |
Alex Kurtzman
| Writer |
David Koepp, Christopher McQuarrie, Dylan Kussman
| Cast |
Tom Cruise, Sofia Boutella, Russell Crowe, Annabelle Wallis, Jake Johnson
| Studio |
Universal
| Rating |
PG-13 (for violence, action and scary images, and for some suggestive content and partial nudity)
| Runtime |
120 minutes (1h 50min)



OFFICIAL RATING | THE MUMMY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
🙶 Salt... that life may always have flavor.🙷

Seberapa cintamu pada hidupmu seperti seberapa besar berharganya hadirmu buat orang lain? Tidak ada yang bisa mengukur seberapa besar eksistensi kita sebagai manusia dengan segala pengorbanan dan perjalanan hidup saat semua yang kita lakukan ternyata terasa sia-sia atau mungkin sesuatu yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya justru menjadi sesuatu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bayangkan jika saya, anda, atau kita tidak pernah dilahirkan di dunia, dan keberadaan kita tidak pernah ada? It's a Wonderful Life seperti judulnya adalah film yang syarat makna begitu dalam tentang betapa berharganya hidup saat tanpa sadar kita telah melewatkan berbagai hal kecil yang ternyata itu berdampak besar bagi orang lain.

Film arahan sutradara Frank Capra ini memang sejatinya tidak akan pernah hilang dimakan usia, meski tampilan hitam putih, cerita sederhana tentang kehidupan sebuah keluarga dan impian yang sebetulnya terkesan sangat klise. Tapi, apa yang disampaikan film ini sanggup mengubah cara pandangmu akan dirimu sendiri hingga melekat sampai ke relung hati yang terdalam. Film ini memang di dedikasikan untuk film Christmas Day dan di Amerika setiap menjelang hari natal film ini selalu ditayangkan di televisi setiap tahun. Film ini bercerita tentang seorang pria paruh baya yang tinggal di Bedford Falls bernama George Bailey (James Stewart) yang harus mengorbankan setiap impian dalam hidupnya hanya untuk menolong orang lain sampai pada akhirnya ia mencoba bunuh diri dengan menceburkan dirinya dalam sungai di malam natal, hingga membawa malaikat penjaga Clarence Odbody (Henry Travers) ikut campur tangan untuk menolongnya dan memperlihatkan keajaiban yang tak pernah ia lihat sebelumnya.


Film yang secara tak sadar adalah genre drama fantasy, ternyata pernah mendapatkan peraihan buruk di box office karena tingginya biaya produksi dan persaingan yang ketat pada saat film ini diluncurkan, tapi kemudian hari gegap gempita dan pengaruhnya di dunia sangatlah besar hingga membuat film ini akhirnya memperoleh 2x lipat penghasilan dari budget produksinya sebesar $3,180,000. Salah satunya film ini dianggap sebagai film paling kritis yang pernah ada, hingga mendapatkan 5 nominasi Oscar di Best Picture, Best Actor in a Leading Role (James Stewart), Best Director, Best Sound, Recording, dan Best Film Editing. Selain penghargaan bergengsi tersebut lainnya datang dari American Film Institute yang memasukkannya dalam salah satu 100 film terbaik Amerika yang pernah ada di peringkat 11.

Sehebat itukah film ini? Ya, saya tidak memungkiri bahwa film ini sensasional dan sangat inspiratif, meski mungkin film ini cukup membosankan dan ceritanya biasa saja ketika saya menontonnya pertama kali, apalagi film ini cukup menghamparkan beberapa kesan cerita yang melodramatis. Tapi, disisi lain film ini memiliki beberapa sentuhan seperti romantisme antara pertemuan Goerge dan kekasih hatinya Mary Hatch (Donna Reed) yang dibuat cukup menarik, juga bagaimana kita melihat kehidupan masa kecil Goerge hingga dewasa dari sekedar melihat besarnya impian yang dimiliki juga pengorbanan yang tidak sedikit membuat kita bersimpati pada kehidupan sang tokoh utamanya. Well, It's a Wonderful Life adalah sebuah film klasik yang wajib ditonton, bagaimana akhirnya film ini mampu membuatmu untuk selalu bersyukur dan tidak pernah menyesali apapun yang terjadi dalam hidupmu.




| Director |
Frank Capra
| Writer |
Frank Capra, Frances Goodrich, Albert Hackett
| Cast |
 James Stewart, Donna Reed, Lionel Barrymore, Thomas Mitchell, Henry Travers, Beulah Bondi, Frank Faylen, Ward Bond
| Studio |
Liberty Films
| Rating |
PG (for thematic elements, smoking and some violence)
| Runtime |
130 minutes (2h 10min)



OFFICIAL RATING | IT'S A WONDERFUL LIFE (1946)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"There's a monster in all of us."

REVIEW:

Suatu hari di kota New York, Amerika Serikat seorang wanita bernama Gloria (Anna Hathaway) baru saja diusir dari apartment pacarnya selepas dirinya pulang dari pesta bersama teman-temannya sekaligus menjadi akhir dari hubungan antara dirinya dan pacarnya Tim (Dan Stevens), hingga kejadian tersebut memaksa Gloria harus pulang kembali ketempat asalnya. Di belahan negara lain di kota Seoul, Korea Selatan mendadak ramai atas serangan dan kemunculan sesosok monster misterius yang tiba-tiba datang entah darimana meluluh lantahkan kota tersebut. Sampai suatu ketika Gloria mendapatkan berita kemunculan monster tersebut tersadar bahwa ada keganjilan aneh pada si monster yang justru ada koneksi jarak jauh dan fenomena ganjil antara dirinya dengan si monster raksasa yang membuatnya terkejut. Menemukan korelasi cerita unik tentang wanita biasa yang mampu menggerakkan monster layaknya console Nintendo Wii, semenarik apa film yang disutradarai Nacho Vigalondo (The ABCs of Death, V/H/S: Viral) ini?


Sebelumnya film ini pernah mendapatkan tuntutan dari perusahaan Toho.Co, Ltd dari pemilik hak cipta Godzilla di tahun 2015 lalu. Dituding rumah produksi Voltage dan sutradara Vigalondo melakukan pelanggaran plagiarisme terhadap makhluk monster tersebut karena melakukan materi promosi dan penjualan di Festival Film Cannes 2015 lalu dengan sebuah buku yang menyebutkan kata "Godzilla". Lantas karena permasalahan ini untungnya tidak menghentikan niat Vigalondo untuk meluncurkan sebuah film murah tentang Godzilla namun tidak murahan. Alhasil hal ini berbuah manis dengan tema yang buat saya sendiri, Incredible movie monster meet strangeness and weirdness in a love obsession and live matters!


Fokus utama film ini adalah sekelumit masalah hidup yang terjadi pada Gloria sebagai seorang pecandu alkohol. Penyebab inilah yang membuatnya berpisah dengan kekasihnya Tim dan kehilangan pekerjaannya di New York. Tidak memiliki uang dan pekerjaan saat ia kembali kerumah asalnya, untungnya ia bertemu dengan teman masa kecilnya Oscar (Jason Sudeikis) yang memperkerjakan dirinya sebagai seorang waitress di sebuah bar yang dikelola olehnya. Oscar pun sekalian memperkenalkan kepada Gloria, kedua teman baiknya, Joel (Austin Stowell) dan Garth (Tim Blake Nelson). Tapi, ternyata salah satu teman Oscar yang kelihatan lugu dan canggung tapi tampan, Joel langsung membuat kepincut hati Gloria, hingga tanpa disadari hal tersebut justru menimbulkan perselisihan besar diantara mereka. Dalam tendensi kisah majemuk antara persoalan hidup dan ketertarikkan lawan jenis, diluar fenomena koneksi Gloria dan monster raksasa terjadi sebuah kompleksitas cerita yang tampak sangat mirip film rom-com.


Tapi, hebatnya Vigalondo mampu mengeksekusi situasi antara drama rom-com dengan fenomena 'puppeter' (dalang) yang terjadi pada Gloria. Menginjeksi kisah hubungan Oscar yang tersirat obsesi dan keinginannya pada Gloria, hingga ketidakpekaan Gloria menimbulkan sebuat riot. Mengimplikasikan melalui rasa peduli hingga perhatian seorang Oscar rela memberikan segalanya yang ia miliki pada Gloria menimbulkan simpati, namun secara emosional perasaan tersebut terganjal oleh sifat Gloria yang luar biasa tidak peka dalam dirinya yang dipenuhi masalah, justru menghantarkan rasa frustasi, kemarahan dan kegilaan dalam hubungan mereka. Ini nyatanya bukan fokus tentang menguak misteri monster dan fenomena yang tersembunyi dalam diri Gloria, malah menjadikan fenomena tersebut sebagai 'media' bagi kedua belah pihak sebagai manifestasi emosi dan perasaan. Dan tentu saja yang jadi korban dan terkena dampaknya adalah masyarakat Korea Selatan yang berada di dekat monster tersebut yang dari sisi Gloria ia ketakutan karena tanpa sengaja melakukan pembunuhan massal karena gerak-gerik dirinya yang membuat monster jadi tak terkendali, sedangkan Oscar (yang ternyata adalah puppeter robot) menjadikan fenomena tersebut misi mencari simpati sekaligus alat intimidasi bagi Gloria.


Banyak sekali sebetulnya hal-hal yang berhubungan dengan kelogisan film ini malah menjadi masalah besar, sehubungan tentang misteri monster yang menimbulkan tanda tanya. Seperti masalah penduduk Korea Selatan yang masih lalu lalang di area kota Seoul yang seharusnya telah dinetralkan, atau masalah twist yang justru terkesan maksa dan menghancurkan simpati dan emosi saya pada alur cerita. Namun film ini termasuk memiliki berbagai hal yang cukup banyak bisa dinikmati, dan tentu saja beberapa hal kocak seputar diri Gloria yang bagaikan dalang dan monster sebagai wayangnya menjadi sesuatu yang kocak dan lucu, mengikuti setiap gerakannya memicu tawa kecil dan besar pada saya melihat monster raksasa menari-nari, berpose sedang menelepon, maupun saat monster menampar robot menjadi sesuatu yang epic buat saya. Juga obsesi berlebihan pada diri Oscar yang buat saya malah membuat dirinya tampak gila, spontan dan konyol sebagai orang yang cemburuan dan posesif yang dipenuhi dengan amarah yang tidak masuk di akal. Dan hubungan keduanya ditampilkan dengan sangat baik oleh Anne Hathaway dan Jason Sudeikis dengan sangat kocak menimbulkan rasa kesal, bercampur emosi, sekaligus bersama-sama membuat saya tertawa akan hubungan diantara keduanya terjalin rumit dan kacau.




| Director |
| Writer |
| Cast |
NEON
| Rating |
R (for language)
| Runtime |
109 minutes (1h 49min)



OFFICIAL RATING | COLOSSAL (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes