LEMONVIE: Sci-Fi
Showing posts with label Sci-Fi. Show all posts
Showing posts with label Sci-Fi. Show all posts


Tepat 1 dekade setelah Marvel menerobos kesuksesan melalui MCU (Marvel Cinematic Universe) dengan mampu memboyong fanatisme masif dunia. Tentu saja ini bukan sekedar euforia semata, melainkan impian nyata dari segenap penonton yang dulu mungkin berangan-angan adanya crossover, termasuk saya ketika dulu masih berseragam abu-abu membayangkan akan adanya pertemuan antara Superman, Wonder Woman dan Batman dalam satu tim. Kesuksesan ini pun dibayar lunas ketika genap 10 Tahun Marvel terus-menerus membuktikan ketajaman mereka merangkul setiap film tanpa ada yang collapse. Dan puncaknya pasca Avengers: Infinity War, saya penasaran apa yang akan coba Marvel tawarkan, mengingat masih ada dua film lagi yaitu "Ant-Man and the Wasp" dan "Captain Marvel" sebelum nantinya kulminasi Avengers ke-4 tiba. Mengingat Avengers: Infinity War sendiri, saya seperti sedang menyaksikan major war atau klimaks cerita yang melibatkan antar-galaksi, ras alien dan dewa-dewa mitologi yang lebih melar. Dan ketika semuanya terjadi, kita pun bertanya apa / kemana peran Ant-Man dan setiap karakternya pada saat itu absent?

Dr. Hank Pym (Michael Douglas) dan anaknya Hope Van Dyne (Evangeline Lilly) mendapatkan misi baru untuk mencari Janet Van Dyne (Michelle Pfeiffer) istri Pym yang diduga masih hidup terjebak di Quantum Realm. Tentu saja pencarian mereka tidaklah mudah, pertama, mereka sedang diburu oleh FBI menyangkut konflik pasca film Captain America: Civil War. Kedua, musuh baru yang mampu menembus partikel padat, Ava aka Ghost (Hannah John-Kamen) yang mencoba mencuri teknologi milik Pym. Sedangkan sang tokoh utama, Scott Lang aka Ant-Man (Paul Rudd) pun sedang menjalani tahanan rumah, sehingga ia juga sedang terjebak dan mengalami hambatan untuk turut membantu misi mendesak tersebut.

 

Masih dengan sutradara yang sama, Peyton Reed beserta tim penulis naskah Chris McKenna, Erik Sommers, Paul Rudd, Andrew Barrer dan Gabriel Ferrari. Ant-Man and The Wasp memiliki warna yang hampir sama dengan film sebelumnya, ringan dan ceria dengan segala komedi pengobat lara di tiap menitnya. Hadir dalam sentuhan cerita soal keluarga juga tetek bengek menyoal new hi-tech hingga pengenalan lebih dalam dunia quantum realm yang pernah dimasuki Scott saat menyusut ke ukuran subatom. Eksplorasi dunia dilakukan oleh Marvel dari skala terkecil sampai skala terbesar semakin menembus dimensi yang tak terjamah akal dan kemampuan manusia, seperti ketakjuban kita tentang alam semesta dunia MCU di film Doctor Strange.

Film yang tampak sederhana ini mungkin di isi dengan dialog-dialog yang terdengar saintifik dengan istilah yang mungkin terdengar asing seperti subatom, quantum realm dsb. Tapi, filmnya tidak tampil begitu nge-jelimet dan memusingkan semacam "Interstellar" karya Christopher Nolan, tersirat pula dari wajah bengong dan ketidakpahaman Scott yang kerap kali terjebak dengan ocehan para jenius karakter membicarakan yang kadang kitapun hampir tidak paham. Komedi masih tetap mengguncang tawa, entah dalam keadaan normal atau keadaan kritis dan serius, bahkan sesekali mengandalkan kostum Ant-Man hingga repetisi lelucon ikonik Luis (Michael Peña) yang tetap banyol. Saya pun suka akan daya tarik baru tentang abstraksi visual, sajian porsi small-big swap events kostum Ant-Man yang tidak saja keren tapi dibuat lucu, debut The Wasp aka Hope dengan gaya rambut baru casual-nya, bersamaan kokohnya chemistry antara Scott aka Ant-Man dengan keterlibatannya dalam aksi yang lebih intens. Plus, Michelle Pfeiffer, pesona artis senior berusia 60 tahun yang tak kalah enchanting dan youthful, membuat saya terpikat untuk melihat lebih dinamika aksinya di film ini.


Selain itu, hadir pula Ava aka Ghost sebagai villain kedua wanita setelah Hela. Mungkin banyak yang mengecap buruk perihal karakter dan motifnya yang sentimentil, apalagi para pemuja Thanos, si big boss karismatik kerap dijadikan pembanding yang tak seimbang. Pemilihan tokoh yang kadangkala terbesit soal ability-nya melawan hukum fisika dan logika, namun saya mengamini Marvel membuatnya tanpa obsesi semata, melainkan masih mempergunakan efektifitas dan mencoba memainkan sisi kemanusiaan dan sentimen kehidupan tanpa memandang hitam-putih karakternya. Ada pula Dr. Bill Foster (Laurence Fishburne) rekan lama Hank Pym yang terlihat tak akur, dan selalu menganggap Hank Pym adalah rekan yang keras kepala dan egois. Trio Luis (Pena), Kurt (David Dastmalchian) dan Dave (T.I.) masih tetap tim yang tak ketinggalan untuk menambah adegan aksi dan humor menggelitik disetiap tempat. Dan tak lupa lupa keluarga Scott yang selalu tampak begitu erat dan harmonis, terutama little chemist dengan anaknya Cassie (Abby Ryder Fortson) yang semakin menggemaskan memadu kedekatan dengan ayah yang dicintainya.

Mencoba menetapkan genre family sebagai suntikan varian barunya, Ant-Man and The Wasp adalah wadah paling cocok untuk memperlihatkan secara subtil bahwa Marvel adalah studio yang tahu caranya menawarkan sesuatu tanpa terpengaruh euforia. Meski sekuel Ant-Man tidak terlalu istimewa, tapi sama seperti Thor: Ragnarok, cenderung memiliki cerita progresif dan terbuka, lelucon-lelucon segar, dan koloborasi kuat dua protagonisnya, hingga sentuhan manis soal keluarga begitu kental mengisi ruang-ruang cerita, meski kerap ada pula memandang sinis akan kebiasaan Marvel tentang konsep filmnya yang masih kurang berani dan kurang dark. Tapi, buat saya MCU sudah terkonsep dengan brilliant, cerdas dan berani, sehingga bukan mustahil jika MCU akan tetap mampu bersinar untuk 1 dekade lagi, jika mereka mau.







Ini adalah film tv series ketiga setelah Game of Thrones dan Breaking Bad yang saya akui segila keduanya, meski film yang diberi judul The Handmaid's Tale ini baru berjalan 1 season. Tapi, sejujurnya ini merupakan film horror yang sebetul-betulnya horror mengerikan. Ya film horror khusus buat perempuan sekaligus kental dengan selipan feminisme lewat gempuran kebobrokkan dunia syarat radikalisme agama. Hingga saat saya menikmati film yang memiliki 10 episode dengan durasi hampir 1 jam saya sudah banyak-banyak beristighfar sangking gilanya film ini!

The Handmaid's Tale adalah cerita fiksi yang berasal dari novel best-Seller karangan Margaret Atwood, seorang wanita asal Kanada yang pertama kali mempublikasikan bukunya di tahun 1985, kemudian diadaptasikan melalui program TV 'Hulu' di tahun 2017. Singkatnya The Handmaid's Tale berkisah tentang dunia distopia dimana negara adidaya dan liberal yaitu Amerika Serikat dikuasai oleh ekstrimis agama (mungkin pandangan kita di dunia nyata semacam gerakan ISIS), yang sekarang berubah nama menjadi 'Republic of Gilead'. Film ini dilatar belakangi isu kekacauan dunia akibat polusi udara oleh pabrik dan juga kerusakan alam yang mengakibatkan sebagian besar manusia mengalami kemandulan baik pria dan wanita, sehingga kekacuan tersebut dimanfaatkan oleh gerakan ekstrimis agama dengan mensabotase kekuasaan di negeri Paman Sam.


Kisahnya diawali dengan seorang wanita handmaid bernama Offred (Elisabeth Moss) (bukan nama asli, namanya diganti setelah ia menjadi handmaid yang diambil dari nama depan tuannya, Commander (istilah buat para pria kepala rumah tangga) bernama Fred (Joseph Fiennes) dan istrinya Serena Joy (Yvonne Strahovski)). Sebelum Offred menjadi handmaid, ia adalah wanita karir yang memiliki kehidupan normal bersama suaminya Luke (O-T Fagbenle) dan gadis kecilnya Hannah, ia terpaksa terpisah dengan keluarganya setelah berusaha kabur dari kejaran anggota sekte tersebut dan ditangkap. Offred yang tertangkap kemudian dipaksa untuk bekerja sebagai handmaid bagi keluarga kaya dan elite, Waterford (Fred dan Serena). Selain disana ia pun mengenal Rita (Amanda Brugel) pembantu rumah tangga dan Nick (Max Minghella) sopir khusus keluarga Waterford.

Sebelumnya wanita digolongkan oleh beberapa kelas berdasarkan tugas/peran yang tersimbol melalui warna pakaiannya, red (merah) menandakan the handmaid (pembantu/budak), green (hijau) menandakan istri-istri para commander, brown (coklat) pembantu rumah tangga yang sudah renta (menopause) biasanya mengurusi dapur dll, dan black (hitam) atau biasa dipanggil "bibi" mereka ibarat 'suster' yang mengatur tindak tanduk para handmaid. Wanita di film ini tidak lagi punya hak dan kebebasan mutlak, mereka dikekang oleh teokrasi kejam. Mereka tidak bisa lagi diizinkan memiliki aspirasi, opini, tidak diizinkan bekerja, tidak diizinkan keluar rumah selain untuk keperluan penting, hingga tidak diizinkan membaca atau menulis (alias tidak diizinkan memiliki pengetahuan sama sekali). Semua yang mereka lakukan dibatasi, hanya diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah dan melayani suami/tuan mereka. Sedangkan kaum laki-laki memiliki kekuatan/kewenangan penuh atas pekerjaan yang mana wanita tidak diizinkan melakukannya.


Yang paling miris mereka yang masih memiliki rahim subur ditangkap dan dipaksa menjadi handmaid hingga hampir dari mereka semua diperlakukan sebagai "alat" untuk berkembang biak (istilah kasarnya: jadi ternak manusia) bagi para majikan mereka yang tidak mampu menghasilkan keturunan alias mandul. Jika mereka tidak menurut atau melanggar aturan agama, mereka disiksa, sebagian di rajam (potong tangan/kaki) dan selebihnya dibunuh dan digantung di tembok-tembok jalanan. Selain dari itu, para pelaku homoseksual hingga yang dianggap pezina (wanita/pria) dihukum berat dan sebagian pula ada yang dihukum mati.

Sejenak ketika saya sedang menggambarkan betapa kejam dan mengerikannnya film ini, terutama bagi kaum wanita. Secara tidak langsung apa yang tersirat pada distopia masa depan film ini lumayan tersinkronisasi dengan apa yang sedang berkecamuk di masa kini. Ya, film ini seperti sedang menggambarkan ramalan buruk yang mungkin bisa terjadi di masa depan nanti. Mencolek beberapa negara seperti Iran dan juga gerakan taliban, hingga polusi dan pemanasan global yang kian hari merusak ekosistem dan mengancam kesehatan manusia. Kegilaan inilah yang coba di serempetkan oleh Bruce Miller sebagai kreator film ini mencoba mengkritisi sekaligus memberi pemahaman terhadap gejala yang terjadi sekarang, sehingga The Handmaid's Tale yang diluncurkan tahun 2017 lalu begitu pas dengan isu yang terjadi sekarang ini.


The Handmaid's Tale sendiri adalah film yang betul-betul menggambarkan kebobrokkan, keputusasaan yang membuat saya menelan ludah berkali-kali, sempat mengalami emosi hingga tak jarang meneteskan air mata kala setiap episode berhasil menggilas perasaan saya. Plot dan cerita The Handmaid's Tale sebetulnya sangat simpel, berjalan dengan alur yang begitu lambat. Tapi, Miller berkali-kali berhasil membangun atmosfer tanpa membuatnya terasa membosankan,  permainan scoring yang menyeramkan, kadang juga beberapa musik popular diselipkan dibeberapa bagian untuk menghilangkan stress penonton (meski sama sekali tak berpengaruh).

Pendeskripsian tema cerita pun begitu menyengat, saya seperti sedang kembali ke masa lalu Amerika Serikat saat terjadinya perbudakkan kaum kulit hitam, tapi dengan gaya kota yang sudah termodernisasi. Dekorasi dan dress yang mereka pakai pun melengkapi tema yang disampaikan seolah peradaban maju dan modern kembali mundur dan tradisional, hingga bagaimana Miller menciptakan suasana teror yang kian menghinggap tiap detik dalam kesunyian. Juga bagaimana kota-kota dan pinggiran rumah berubah seperti kota suram meski cukup ramai orang berlalu lalang baik mereka handmaid yang hendak berbelanja atau tentara bersenjata yang sedang berkeliling menjaga kota, kehidupan statis, suram dan beberapa teknologi dan benda-benda yang sebagian dimusnahkan agar dapat menjalankan beberapa aturan-aturan tak masuk akal yang berasal dari alkitab yang mereka yakini berasal dari Tuhan.


The Handmaid's Tale mengganyang dua penghargaan Golden Globes dalam kategori "Best Television Series - Drama" dan "Best Performance by an Actress in a Television Series - Drama" untuk akting Elisabeth Moss. Film yang kemudian menggambarkan distopia ini pun tak elak mengkuatkan isu feminisme ke tengah-tengah cerita. Perjuangan yang digambarkan melalui penderitaan, ketegaran, dan putus asa para wanita selain tersirat jelas melalui apa yang dirasakan Offred selaku tokoh utama ditengah pusaran kegilaan ini menjadi isu yang menonjok keras. Berkali-kali pun sempat saya temukan dialog-dialog yang menyindir kultur dan sosial akan eksistensi dan keberdayaan wanita di tengah masyarakat.

The Handmaid's Tale adalah film yang wajib ditonton, memandang bahwa film ini mencoba mengkritisi dan membawa isu penting soal kehidupan modern seperti sekarang, tentang moral, hak asasi manusia hingga pemahaman-pemahaman sensitif terkait feminisme, kultur dan agama. Ini mungkin adalah film sakit dan gila, cukup yakin bahwa menonton film ini harus kuat mental, karena banyak sekali ironi dan tragedi yang dialami wanita-wanita di film ini baik fisik dan psikis mereka, dihadapkan pada tragedi holocaust, pembantaian, pemerkosaan dan tragedi moral yang tak sedikit membuat perasaan tak nyaman. Tapi selebihnya, jika kalian penyuka film-film 'hardcore' seperti Breaking Bad atau Game of Thrones, mungkin The Handmaid's Tale pilihan yang tepat, apalagi buat yang sedang menunggu lama GoT (seperti saya) yang masih harus menunggu tayang 2019 nanti, mudah-mudahan film ini bisa meredam rasa sakit hati Anda.





🙶 I was trying to make the moment more epic.🙷

Pertama kali saya doyan yang namanya nonton film, Transformers, jadi salah satu favorit yang membuat saya tergila-gila dengan karya Michael Bay satu ini. Terbatas bodohnya saya soal film, terpikat oleh daya tarik CGI dan robot super-duper-keren juga transformasi mereka ke mobil sport mewah yang tak kalah ultra-kecenya. Esensi menonton Transformers memang menjadi ketakjuban sendiri melihat Amerika Serikat pertama kali dimana negara lain pun belum sanggup menyentuh kerealistisan dan kemewahan yang ditawarkan film ini. Tentu saja alasan ini mendasar, lewat kemunculan perdana Transformers film Bay langsung mampu membuat takjub hati penonton maupun segelintir kritikus, dimana film pertamanya mampu menyabet 3 nominasi Oscar untuk kategori "Best Achievement in Sound Mixing", "Best Achievement in Sound Editing", dan "Best Achievement in Visual Effects". Menggebrak batas-batas visual dan auditory spektakular pada masa itu.



Tapi, Bay seperti terlena dan teradiksi dengan kesuksesan film pertama, hingga trilogi tercipta melalui "Revenge of the Fallen" dan "Dark of the Moon" yang ternyata tidak sebaik pendahulunya. Menyatakan film tersebut akan berakhir, nyatanya Bay masih bernafsu dan enggan mengakhiri perjuangan Optimus Prime dan para Autobots untuk melindungi bumi dan manusia, hingga dilanjutkan dengan Cade Yeager (Mark Wahlberg), menggantikan posisi Sam Witwicky (Shia LaBeouf) sebagai peran sentral. Rasa lelah ketika Bay sama sekali mengabaikan eksekusi matang cerita, melainkan membudidayakan visual effect hingga sound effect penuh ledakan. Hingga semakin saya menonton film Transformers, kejenuhan dan rasa lelah menonton film tak berotak hasil ambisi besar Bay ini tak meninggalkan kesan berarti, kecuali rasa jengkel.

Melanjutkan sekuel Transformers: Age of Extinction, rupanya bumi masih belum bisa jauh dari kata aman, setelah terombang-ambing di angkasa, Optimus Prime mencoba kembali ke planetnya Cybertron untuk menemui penciptanya, Quintessa. Tapi, Quintessa punya rencana lain guna menjadikan bumi sebagai wadah dan tumbal untuk mengembalikan planet mati Cybertrone seperti sedia kala. Dilain pihak, bumi, saat para Transformers berduyun-duyun datang ke bumi melalui sebongkah komet menjadi ancaman tersendiri bagi manusia, hingga diciptakan sebuah organisasi bernama TRF (Transformers Reaction Force) untuk memburu para Transformers. Sehingga sang heroik pelindung para Autobots, Cade Yeager bersama rekan setianya Bumblebee terpaksa bersembunyi sebagai buronan dunia.



Sebetulnya banyak sekali ruang lingkup yang dihadirkan dalam film Transformers sebagaimana konflik memecah berbagai sudut pandang cerita, menjadi wadah konflik yang lebih besar dan lebih universal, hingga mencoba mencocokkan sekelumit legenda Inggris, King Arthur hingga sosok penyihir Merlin, bahkan juga membawa-bawa perang dunia II hingga jam pembunuh yang konon telah menewaskan sang Fuhrer, Hitler sebagaimana peran para Transformers lebih besar dari yang kita duga. Tapi, ya itu tadi, jangan pernah berharap penyajian naskah cerita Art Marcum, Ken Nolan, dan Matt Holloway ini seepik kedengarannya. Menjelajahi segala cerita ajaib nan absurd, 2 jam 29 menit disajikan melalui gegap gempita visual CGI bombastis yang faktanya ini film Transformers termahal yang pernah dibuat Bay, hingga desingan sound effect dari sekedar dialog para Transformers dan suara robot Quintessa mirip efek DJ robot, hingga suara senjata nan canggih non-stop tidak membuatmu berkedip dan pasang telinga sepanjang film. Ini film bombastis dengan susunan cerita penuh kehampaan, penuh plot sembarang tempel seperti kapal Titanic yang tiba-tiba hancur dan menjadi kacau-balau saat menabrak bongkahan es.


Saya sebenarnya bingung mendefiniskan film Transformers dengan banyak plot yang kacau balau, kecuali CGI non-stop bin mahal ini sepenuhnya masih memanjakan mata, memang tidak membosankan, tapi pengaruh ini menyebabkan rasa jengkel ditambah rasa mual tak tertahankan mengiringi transisi cerita tak bersusun, melompat kesana kemari, hingga terburu-burunya Bay dalam bercerita tanpa substansi yang terkukuh kuat, ditambah durasinya pun terlampau panjang untuk menyebabkan rasa lelah hingga rasa ngantuk tak tertahankan oleh mata. Temponya cepat, secepat lompatan cerita yang tidak lagi fokus untuk bisa sekedar membentuk narasi dan tensi, perkembangan karakter, motif, hingga emosi dan chemistry yang memikat kuat. Meski sedikitnya tercuri kedekatan kita pada karakter utama, Yeager kala itu seorang single parent, ditinggal anak perempuannya kuliah, berusaha mencari pendamping hidup, hingga kisah memilukan seorang gadis bernama Izabella (Isabela Moner), hidup diantara reruntuhan kota saat menjadi korban perang epik di film prekuelnya dahulu.


Meski begitu, masih banyak hal positif sehubungan dangkalnya cerita nan epik penuh keabsurdan film Transformers. Kala kita masih menemukan beberapa imajinasi liar Bay sehubungan karakter baru yang muncul baik para Transformers maupun manusia. Ada beberapa karakter menarik yang masih mencuri atensi sehubungan desain kopi ulang karakter familiar di film-film seperti "Wall-E" dan "Chappy". Karakter manusia pun sama halnya, saat dua wanita beda generasi mulai mendekati kehidupan Yeager, tampil cantik juga sensual yang tak kalah memikatnya dengan Megan Fox dan Rosie Huntington-Whiteley. Dua-duanya memang lumayan memikat tidak hanya menjual daya tarik fisik, melainkan performa akting hingga memberi nyawa Vivian Wembley (Laura Haddock) dan Izabella sebagai pemanis, terutama Izabella, peran gadis kecil yang rasanya terlalu di eksploitasi Bay dengan umur dibawah kewajaran gadis seusianya. Namun sayang, Anthony Hopkins yang berperan sebagai Sir Edmund Burton, penghubung antara Vivian dan Yeager, sepintas punya andil besar namun ternyata hanya tokoh kosong belaka.

Overall, Transformers: The Last Knight masih layak tonton bagi mereka yang mencari hiburan tak berotak dengan maksimalitas visual dan gelora sound effect, mengabaikan keabsurdan dan ketidakmasuk akalan cerita. Hingga lontaran demi lontaran kocak barisan komedi, kadang garing, kadang lucu juga masih cukup mampu menyegarkan, meski kedunguan dan kebisingan cerita masih tak terbendung oleh pikiran kita. Well, saya harap fakta bahwa Transformers ke-5 akan menjadi film terakhir si-jenius Michael Bay yang terlupakan, meski masih terdengar isu soal 14 naskah yang akan dikembangkan untuk franchise ini kedepannya. Tentu menarik melihat siapa lagi yang akan menangani film epik ini sekali lagi.



| Director |
Michael Bay
| Writer |
Art Marcum, Ken Nolan, Matt Holloway
| Cast |
Anthony Hopkins, Mark Wahlberg, Isabela Moner, Laura Haddock,
| Studio |
Paramount Pictures
| Rating |
PG-13 (for violence and intense sequences of sci-fi action, language, and some innuendo)
| Runtime |
149 minutes (1h 50min)



OFFICIAL RATING | TRANSFORMERS: THE LAST KNIGHT (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
Logan (2017)
"Logan, you still have time."

REVIEW:

Menjadi part terakhir dalam petualangan sang pemilik cakar adamantium, Wolverine aka Logan yang diperankan oleh satu-satunya bintang yang telah diperankan dengan sangat lovable, Hugh Jackman menjadi sajian film adaptasi komik marvel yang sangat breakthrough dan emotional yang pernah saya tonton. Apalagi ini adalah film terakhir Hugh Jackman selama sembilan kali perannya sebagai anti-hero yang sudah pasti image seorang Wolverine dan Jackman telah sangat melekat dibenak penonton dan para fans X-Men, yang membuat dirinya tidak bisa dilepaskan lagi dan mungkin tidak bisa lagi tergantikan oleh orang lain. Mungkin sama seperti Downey Robert Jr. yang berperan sebagai Tony Stark aka Iron Man, yang menurut saya sulit mencari pengganti dirinya untuk memerankan karakter tersebut dengan sangat intimately.

Pilihan James Mangold selaku sutradara sekaligus penggubah cerita asli yang dibantu oleh penulis naskah Scott Frank dan Michael Green untuk membuat sebuah sequence cerita Logan syarat dengan drama yang lebih kaya dan kental tentu berharap dan menuntut karakter Wolverine menjadi karakter dengan lebih substansial sepenuhnya berhasil ia lakukan demi menutup karir Jackman di film ini. Apalagi melihat beberapa film stand alone Wolverine yang memang bukan film sukses semacam, "X-Men Origins: Wolverine" yang gagal total dan "The Wolverine" yang sekedar hiburan standard semata, Mangold punya PR besar selaku memuaskan para pencinta film X-Men yang betul-betul harus mengupayakan karakter Wolverine yang punya great influence buat X-Men menjadi memorable character at the last.

Nuansa berbeda berani ditampilkan Mangold di film ini, semacam film-film gritty dan berbau western style, dengan setting masa depan (2029), semacam film-film "No Country For Old Men" atau film terbaru di 2016 kemarin, "Hell or High Water". Film ini semacam film yang mencoba lebih kelam, lebih menderita, dan lebih rapuh dengan segala aspek dan background setting yang ada di film ini, yang menggambarkan kepunahan mutant di dunia. Apalagi karakter-karakter disini yang memang terlihat sudah agony, mature dan rapuh. Diantaranya Logan yang menghabiskan waktunya bekerja sebagai supir limousine, linglung, emosional, dan pemabuk yang mencoba mencari arti dari kedamaian dan ketenangan hidup yang cukup digambarkan betapa manusiawinya para mutant dan terlihat betapa kerasnya hidup dalam keterasingan dan masa tua, bersanding dengan Professor-X aka Charles Xavier (Patrick Stewart) yang juga sakit-sakitan dan rewel dengan kondisi fisik dan otak yang sudah renta dengan bantuan kursi roda dan obat. Mereka berdua saling menjaga dan membutuhkan, tinggal di sebuah gedung bekas, dibantu oleh salah satu mutant yang juga merawat mereka berdua, Caliban (Stephen Merchant).

Hingga ketenangan hidup Logan dan Charles kembali terenggut karena kedatangan seorang wanita misterius bersama dengan seorang gadis kecil yang dikenal dengan nama Laura (Dafne Keen) mutant kecil yang memiliki hubungan darah dengan Logan, meminta bantuannya untuk menyeberangi perbatasan demi meloloskan Laura dari kejaran organisasi jahat yang berniat mengincar kekuatannya yang dipimpin oleh seorang pria bertangan android bernama Pierce (Boyd Holbrook). Dengan sebuah konfrontasi dan konflik yang terjadi, Logan tidak serta merta mengiyakan dan menyetujui permintaan wanita tersebut, apalagi Logan tak pernah mengenal bahkan saat melihat Laura sama sekali tidak terbesit bahwa ia pernah memiliki seorang anak.

Bukan saja membuka sebuah konflik eksternal antara Logan dan organisasi jahat, tapi juga faktor internal dari sebuah konflik batin Logan menolak dan menerima sebuah kenyataan. Dan bagaimana ia harus bahkan terpaksa terlibat dalam sebuah eksplosif emosi dan pengorbanan, antara melindungi apa yang ia punya atau melindungi apa yang masih membuatnya bimbang dan ragu, bahwa terlihat dari scene Logan tanpa berat hati meninggalkan Laura yang tengah diburu, tapi lama kelamaan ada intimasi pada tiap karakter yang tadinya saling berlawanan dan bertolak belakang, menjadi saling memahami dan melindungi saat melihat karakter Logan dan Laura yang notabene punya sifat keras dan pemarah tapi sama-sama punya kebesaran hati dan peduli yang sama-sama tidak mau orang yang disayanginya dilukai dan disakiti. Ini juga hadir dalam hubungan emotional pasif antara karakter-karakter lainnya yang cukup saling berhubungan dan terjalin kuat tanpa mengobral intimasi berlebihan yang juga menguatkan orang-orang disekitar Logan dan Laura, sama seperti yang terjadi pada keluarga petani baik hati yang telah mengizinkann mereka bermalam dirumah mereka.

Meski hampir terlihat didominasi oleh sebuah drama kehidupan dan mencari arti keluarga secara sentimentil dengan cara bercerita yang low-pace, tentang sebuah harapan para mutan dan juga dilema cerita tentang perjuangan bertahan hidup, Mangold tahu bagaimana membuat pondasi cerita dan juga scene action terasa sangat padu, adegan aksi yang Mangold buat tidak sekedar asal jebret dan asal tusuk, semua dibangun atas dasar drama dan emosi tiap karakter yang dibangun breathtaking dan powerful. Ada rasa amarah bercampur sedih yang juga sangat terasa bagaimana kita memahami setiap karakter yang ada, dengan scene action yang terlihat begitu sadis dan berdarah dengan sebuah senjata adamantium di tangan baik Logan yang secara brutal membabat habis para keronco pasukan Pierce maupun Laura yang lincah dan liar mencabik dan memenggal kepala manusia tanpa ampun, membuat film ini pun masuk dalam rating R untuk genre komik marvel, selain Deadpool. Tapi, juga bersamaan dengan sebuah karakter yang berjuang melindungi apa yang mereka miliki meski dengan kerapuhan dan kelemahan fisik yang mereka miliki, film ini memang punya daya tarik secara "human" dan "contemplative".

Well, Logan bukan saja film yang memuaskan tapi juga menurut saya wajib masuk dalam list film terbaik tahun 2017. Film ini pun telah mengukuhkan akting Hugh Jackman sebagai Wolverine menjadi terasa sangat memorable dan sangat dicintai, well-acting juga bersamaan dengan aktor senior Patrick Stewart dan juga artis junior Dafne Keen, yang mungkin akan menjadi 'the next-generation' Wolverine. Meski tidak menutup kemungkinan studio 20th Century Fox me-reboot ulang Wolverine, tapi tetap Logan menjadi salah satu film terbaik Marvel saat ini. Dengan 'dramatically action' yang terus-menerus membuat kita puas dengan violent action dan emotionally figure yang secara bersamaan terus-menerus mengguncang batin dan emosi kita secara luar biasa. Segmented! 🎬

🎥 Director | James Mangold
🎥 Writer | James Mangold (story), Michael Green, Scott Frank
🎥 Cast | Hugh Jackman, Patrick Stewart, Dafne Keen, Stephen Merchant, Boyd Holbrook
🎥 Studio | 20th Century Fox
🎥 Rating | R (for strong brutal violence and language throughout, and for brief nudity)
🎥 Runtime | 135 minutes (2h 17min)

Rating: 4.5
POSTER | Logan
SCORE 91 | Logan

--------- [WHAT THE FACT!] ---------

-------------------

OFFICIAL RATING | LOGAN (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
Arrival (2016)
"If you could see your life from start to finish, would you change things?"

REVIEW:

Jika ada sebuah film yang menampilkan penampakan pesawat luar angkasa yang besar, melayang di atas permukaan bumi, sudah pasti adegan berikutnya pesawat tersebut melakukan sebuah serangan dadakan tanpa peringatan dan menghancur leburkan kota-kota yang disinggahinya tanpa belas kasih. Tapi, film "Arrival" karya Denis Villeneuve ("Prisoner", "Sicario") akan terasa berbeda dari film-film klise semacam itu. Mungkin kurang lebih seperti Neill Blomkamp yang juga mengeksposisi kisah kedatangan alien dengan sudut pandang berbeda di "District 9". Ya, tidak ada pertempuran besar melibatkan tank, pesawat, senjata misil ataupun rudal, justru film yang diadaptasi dari short-story karangan Ted Chiang, berjudul "Story of Your Life"  melakukan sebuah transisi cerdas dan manusiawi antara manusia dengan alien yang dijuluki (heptapod) melalui cara komunikasi bahasa (language) dua arah.

Mungkin kedatangan alien tetap saja menjadi momok menakutkan dan tentu menjadi ancaman besar bagi bumi dan seluruh umat manusia, bagaimana sebuah benda asing dari luar atmosfer bumi tiba-tiba datang dengan sangat misterius. Meski kedatangan mereka ke bumi tidak dalam bentuk ancaman, namun untuk mengetahui misi dan rencana sebenarnya para heptapod itu ke bumi, maka Louise Banks (Amy Adams) salah seorang profesor yang ahli dalam penerjemah bahasa (linguist), dimintai bantuan oleh seorang kolonel tentara bernama Weber (Forest Whitaker) yang untuk menerjemahkan bahasa heptapod guna mendapatkan informasi dari mereka melalui kontak komunikasi secara langsung.

Bersama dengan para regu penyidik yang Louise pimpin termasuk salah seorang fisikawan teoritis bernama Ian Donnelly (Jeremy Renner), mereka kemudian dikirim langsung ke dalam pesawat alien. Dalam sebuah ruangan yang cukup luas di bagian kapal alien, Louise dan regu akhirnya bertatap muka dengan dua heptapod yang di separasi oleh sebuah dinding berbentuk kaca. Nah, saat memasuki paruh inilah Saya mulai merasakan sebuah perbedaan besar yang dilakukan oleh Villeneuve dalam merangkai cerita yang amat jenius dan butuh sebuah analisa, bagaimana ia menata konsep bahasa dan linguistik yang dimiliki oleh alien tersebut, yang tentu saja betul-betul berbeda dengan pemahaman dan pandangan manusia selama ini.

Seperti saat Ian mengemukakan tentang teori Saphir-Whorf, bagaimana sebuah bahasa dapat mempengaruhi pikiran seseorang. Dari sebuah gagasan ide yang dimiliki Villeneuve, kemudian ia memberikan teori observasi dan analisa khusus dari sebuah materi bahasa yang benar-benar asing dan tentu saja fiktif (tidak nyata). Kita di ajak menganalisa dan mengetahui pola-pola dasar yang dipelajari oleh Louise, seperti tulisan alien yang circle yang dibuat dari semburan tinta yang berasal dari tangan alien dan juga bahwasanya bahasa yang dimiliki oleh alien tersebut tidak terpaut oleh waktu (non-linear). Disinilah Saya mengakui kejeniusan Villeneuve menjabarkan teori-teori tak baku tentang bahasa dann sains, kita diajak mengenali sesuatu yang asing tapi dengan mudah kita menyimak dan mengikuti apa yang disajikan oleh film ini. Sama ketika Christopher Nolan menggagaskan ide 5 dimensinya di film "Interstellar", meskipun buat saya ide cerita Arrival jauh lebih bisa diterima dan lebih mudah dimengerti.

Selain menyisipkan ideologi bahasa alien yang begitu cerdas, permainan cerita Arrival pun membentuk sebuah puzzle dan twist yang cerdas. Dengan naskah gubahan Eric Heisserer ("Final Destination", "Lights Out"), kita tidak bisa menebak dengan mudah apa yang diinginkan oleh para alien heptapod tersebut. Apakah kehadiran mereka sebagai scientist ataukah hanya sebagai tourist? Dengan suasana dalam ruangan pesawat alien yang begitu mencekam, misterius dan asing, apalagi gubahan sound effect dan scoring music Jóhann Jóhannsson membuat sebuah kick atmosfer yang membuat bulu kuduk merinding. Lalu, alur maju-mundur dari problematika Louise beserta kenangan anaknya memberikan dramatisir cerita yang terasa kuat akan sosok Louise, apalagi saya sangat mengakui akting Amy Adams yang cukup depresif dan bagus di film ini.

Secara global, film ini pun cukup berhasil membawa isu tentang perang, propoganda, bentrokkan dan juga beda prinsip yang dipegang tiap-tiap negara menyangkut kedatangan alien tersebut, meski memang tak benar-benar menyeluruh dan malah film ini hanya berkutat dalam satu tempat saja, tapi bagaimana tangkasnya Villeneuve menyeret tragedi besar ini menjadi peristiwa non-minoritas. Membuat situasi yang terasa chaotic, ada konflik bahkan ketika semua orang mulai meragukan kehadiran alien tersebut, satu-satunya yang masih berpikiran positif dan masih mempertanyakan kehadiran sebenarnya heptapod tersebut hanyalah Louise.

Well, "Arrival" adalah sebuah film sci-fi luar biasa jenius yang berhasil mempertemukan antara ilmu sains dan ilmu bahasa (linguistik). Meski bukanlah sebuah film yang akan dipenuhi visual effect menggelegar atau perang invasi skala besar, tapi cinematography arahan Bradford Young ini juga mampu tampil misterius dan megah, dengan alur cerita yang punya narasi kompleks dan drama kehidupan yang lebih manusiawi. Meski film ini akan memenuhi segudang pertanyaan menggelitik, apalagi soal waktu yang dijelaskan oleh film ini tampak sulit untuk di relevansi, tapi bagian inilah yang membuat Arrival tidak langsung mudah dilupakan begitu saja, karena film ini akan membuat siapapun tertarik untuk kembali menyusun kepingan puzzle tersebut, dan saat berhasil menyelesaikannya maka siapapun mereka akan mendapatkan sesuatu yang terasa memuaskan dan sangat menakjubkan.

*SPOILER*

Pasti ada yang masih kebingungan perihal twist yang dihadirkan oleh "Arrival" di film ini, saya akan menjelaskan sedikit saja apa yang sedang terjadi, tentu dengan pemahaman dan pendapat saya sendiri, dan juga berasal dari referensi yang saya kumpulkan (Sejauh kepintaran otak saya yang tidak seberapa ini, hehe). Jadi, jangan coba-coba membaca spoiler berikut jika tidak mau kena bocoran isi film ini. So, pertama, apakah alien heptapod itu berniat jahat? Jelas jawabannya tidak! Justru kehadiran heptapod itu untuk membantu para manusia, sekaligus meminta sebuah bantuan kepada manusia. Salah satu alien heptapod telah menjelaskan bahwa selama 3000-an Tahun sudah mereka telah membantu kelangsungan hidup manusia hingga saat ini, jelas dalam dialog saat Louise dikirim sendirian oleh alien heptapod tersebut, kita sudah mengetahui misi dari alien tersebut datang ke bumi. Juga keinginan mereka untuk meminta bantuan kepada manusia, meski cerita film ini juga tidak menjelaskan permintaan tolong apa yang diinginkan oleh para heptapod kepada manusia.

Selain dari itu, sisi menariknya lagi, kedatangan para heptapod ini untuk mencegah terjadinya perpecahan diantara negara yang sedang memanas, makannya film ini juga membawa isu tentang konflik dan perseteruan negara yang terjadi dalam realita kehidupan nyata, dan cara alien untuk menyatukan negara adalah meletakkan 12 UFO pada tiap-tiap titik lokasi bumi yang berbeda. Dalam keadaan terancam sudah pasti setiap negara akan bersatu dalam melindungi bumi dari serangan alien.

Dan terakhir, kedatangan alien tersebut adalah untuk memberikan sebuah skill dan miracle kepada manusia, mereka secara tidak langsung mengajarkan pada manusia untuk mempelajari bahasa mereka sekaligus membaca tulisan circular. Manfaatnya? Sudah jelas bahwa siapapun yang menguasai dan memahami tulisan itu akan mempunyai kemampuan untuk melihat masa depan dan juga dapat merubahnya. Mungkin tampak rumit dan tampak tak masuk akal jika tidak dijelaskan secara rinci teori yang dikemukakan oleh film ini.

Kata kuncinya hanya dua untuk mengartikannya, pertama teori yang dikemukakan oleh Saphir-Whorf, bagaimana teori ini menjelaskan bahwa 'bahasa' bisa mempengaruhi pikiran seseorang. Kedua, pemahaman bahasa circular para alien heptapod yang tidak dipengaruhi oleh waktu (non-linear). Teori ini pula yang coba dikuatkan melalui seorang Louise Banks sebagai satu-satunya yang mengerti dan mengetahui arti tulisan circular milik alien tersebut. Dengan menguasai bahasa tersebut secara tidak langsung Louise bisa mengetahui masa depan suami dan anaknya, sebagai sequence twist film ini. Berdasarkan teori, bahasa diartikan bisa berpengaruh pada mental dan psikologis seseorang, seperti yang beberapa kali Ian tanyakan kepada Louise yang mempelajari bahasa alien, "Apakah kamu bermimpi tentang alien-alien tersebut?", "Jika kau mengerti bahasa mereka, maka kamu akan sama seperti alien-alien tersebut.".

Samar-samar secara halus Villeneuve memaparkan kondisi mental dan psikologis Louise, tentang munculnya buah pikiran soal anaknya yang mengidap penyakit kanker di masa depan. Dan itu terjadi pada saat Louise mulai memahami bahasa heptapod tersebut. Jika mendalami tata bahasa yang dimiliki alien tentang bagaimana alien heptapod tidak terpaut oleh waktu adalah, teori sederhana tentang pola lingkaran dalam bentuk tulisan alien tersebut sebagai simbol mengisyaratkan pola waktu yang tidak maju (non-linear), atau dalam artian tidak berawal dan berujung seperti sebuah circular. Tidak seperti manusia yang mengenal adanya masa lampau, masa sekarang dan masa lalu, atau bisa dikatakan linear (maju). 🎬

🎥 Director | Denis Villeneuve
🎥 Writer | Eric Heisserer
🎥 Cast | Amy Adams, Jeremy Renner, Forest Whitaker
🎥 Studio | -
🎥 Rating | PG-13 (for brief strong language)
🎥 Runtime | 116 minutes (1h 56min)

Arrival (2016)
Arrival (2016)
SCORE 97 | Arrival (2016)

--------- [WHAT THE FACT!] ---------

-------------------

OFFICIAL RATING | ARRIVAL (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
Gambar Film | Rogue One: A Star Wars Story
"We have hope. Rebellions are built on hope!"

REVIEW:

Bagi Saya Rogue One: A Star Wars Story adalah sebuah film penting bagi franchise gede sebesar Star Wars. Meski hanya merupakan sebuah spin-off dan Stand-Alone, tapi Rogue One menjelma sebagai kisah yang benar-benar akan mempengaruhi ketiga kisah Star Wars: A New Hope, Star Wars: The Empire Strikes Back dan Star Wars: Return of Jedi. Kenapa? Karena ini adalah prequel yang mengarah pada pembuatan senjata berbahaya yang paling dikenal dalam sejarah film Star Wars, Death Star. Dan semua berkat keberhasilan Gareth Edwards yang dipercayai menangani side story of an epic movie. Ketika ia berhasil melucuti kembali dunia besar yang masih terkait dalam cerita Star Wars terdahulu.

Jika saja ia gagal maka reputasi besar yang telah dibangun J.J. Abrams lewat Star Wars: The Force Awakens akan kembali terburai. Apalagi ini adalah franchise yang dipercaya akan bersinar kembali di era ini sebagai salah satu best sci-fi and space traveler movie, ketika  karya J.J. Abrams telah benar-benar mengangkat setinggi-tingginya derajat esensi dunia yang dicintai para fanboys Star Wars, tatkala hancur lebur di triloginya yang dulu, Star Wars: The Phantom Menace, Star Wars: Attack of the Clone dan Star Wars: Revenge of the Sith.

Rogue One akan membuka ceritanya tanpa ada lagi embel-embel opening crawl yang selalu menghiasi awal kisah Star Wars, dan langsung mengarah pada kemegahan visualnya. Hingga kita diperkenalkan pada seorang wanita bernama Jyn Erso (Felicity Jones). Dia merupakan seorang anak dari ilmuwan bernama Galen Erso (Mads Mikkelsen) yang dipaksa Empire untuk membangun sebuah senjata paling berbahaya dan paling mematikan, Death Star.

Agar dapat menghancurkan senjata pemusnah massal tersebut, Rebellion mencoba merekrut Jyn yang mempunyai koneksi kuat dengan Galen agar dapat menemukan dan mendekati dirinya, sebagai satu-satunya orang yang mengetahui titik lemah Death Star. Dalam misi tersebut Jyn dibantu oleh Cassian Andor (Diego Luna) anggota Rebellion dan droid milik Imperial yang diprogram ulang, K-2SO (Alan Tudyk), lalu dibantu oleh tiga orang pria yang ditemuinya di planet Jedha, Bodhi Rook (Riz Ahmed), pilot Imperial yang membelot, Chirrut Imwe (Donnie Yen) ksatria buta dan rekannya, Baze Malbus (Jiang Wen).

Bagaikan kisah-kisah sebelumnya, Rogue One akan membawamu pada konflik sengit antara Empire dan Rebellion. Tapi, tanpa embel-embel sang Jedi. Bahkan disini kita akan menemukan begitu banyak tokoh-tokoh baru yang sedikitpun tak akan kita kenal. Meski begitu Rogue One ditulis oleh dua penulis naskah handal, Chris Weitz yang telah menulis naskah Cinderella (2013), dan Tony Gilray yang telah menulis trilogi film The Bourne. Telah berhasil membawa sebuah cerita solid antara perang dingin dan perang panas antara dua kubu yang saling berseteru di hamparan dunia seluas angkasa raya. Dan juga konflik politik dan pemberontakan yang cukup kental dan sedikit kelam.

Bahkan taste dari karya sang pencipta, Goerge Lucas ini berhasil dimunculkan kembali, tatkala Saya sendiri sedikit meragukan sutradara Gareth Edwards dengan karya-karya sebelumnya, Monsters, Monsters: Dark Continent dan Godzilla. Walau cukup menyenangkan, tapi itu bukanlah karya yang luar biasa. Tapi kali ini, Edwards membuktikan bahwa ia bisa seperti J.J. Abrams yang mengerti dan mampu memberi sensasi antara classical element dan juga bagaimana cinematography film ini berhasil memperkokoh segi visualnya. Kita masih menemukan atmosfer luar biasa kala kita menemukan hamparan planet-planet fiksi, starfighter, blaster gun, dan paling utama scene-scene kemunculan Darth Vader yang menjadi perhatian paling besar, bahkan bagaimana nantinya sang penguasa Sith ini penampilannya berhasil se-badass dulu, bagaimana ia lahir sebagai salah satu villain terbaik yang pernah ada di dunia perfilman.

Disini kita mengenal kembali sosok wanita sebagai tokoh utamanya, Jyn Erso yang diperankan cukup powerful oleh Felocity Jones. (Bahkan new-Jedi pun seorang wanita, membuat Star Wars sekarang menjadi kisah tentang emansipasi wanita, hahaha...). Jyn menjadi tokoh utama yang terpaksa berada ditengah konflik sengit. Wanita tangguh yang dibebani sebuah tanggung jawab besar dan juga dilema ketika ayahnya sendiri menjadi sosok penjahat yang juga diburu oleh Rebellion. Kita juga diajak mempermainkan emosi antara hubungan seorang anak dan ayahnya. Walau Gareth sendiri kurang mampu membuat kisah emosional yang lebih menggigit. Tapi, cukup memberi nyawa pada tokoh yang diperankan oleh Felocity Jones.

Untuk peran Mads Mikkelsen disinipun agak kurang mencuri perhatian, dikala aktingnya sendiri kurang mendapat sorotan kamera. Dan juga beberapa sidekick seperti Donnie Yen dan Jiang Wen pun hanya sebagai tempelan dan tujuan mereka tampil hanya sebagai bodyguard dan tukang pukul Jyn Erso. Meski sosok Donnie Yen cukup berperan hingga akhir film, tidak seperti dua pesohor Indonesia kita yang hanya muncul sebagai cameo di film Star Wars. Dan juga droid K-2SO yang disuarakan oleh Alan Tudyk, sidekick yang cukup memberi hiburan dengan dialog-dialognya yang absurd. Dan Diego Luna sebagai yang paling dekat hubungannya dengan Jyn Erso, bahkan ada keterikatan dan konflik dalam hubungan mereka pun sama-sama tak bisa berperan lebih penting dari sekedar pengawal dan pelindung. Membuat hampir semua jajaran cast dalam film ini tampak seperti tempelan dan tak begitu memorable.

Well, Rogue One: A Star Wars Story adalah film yang cukup memuaskan, dengan cerita yang cukup solid dibawakan oleh Edwards. Menjadikan Rogue One sebagai paket komplit dari franchise besar milik Star Wars. Walau bukan kisah yang penuh adegan dramatis dan emosional, dan juga bukan karya besar yang masih punya banyak kekurangan. Sebagai sebuah blockbuster film ini cukup menghibur bahkan bagi para penggemarnya pun Rogue One adalah sebuah film wajib tonton. 🎬

🎥 Director | Gareth Edwards
🎥 Writer | Chris Weitz, Tony Gilroy
🎥 Cast | Felocity Jones, Mads Mikkelsen, Diego Luna, Donnie Yen, Jiang Wen, Alan Tudyk, Forest Whitaker, Ben Mendelsohn, Riz Ahmed
🎥 Studio | Walt Disney Pictures
🎥 Rating | PG-13 (for extended sequences of sci-fi violence and action)
🎥 Runtime | 133 minute (2h 13min)

Rogue One: A Star Wars Story (2016)
Rogue One: A Star Wars Story (2016)
Rogue One: A Star Wars Story (2016)

--------- [WHAT THE FACT!] ---------
Rogue One: A Star Wars Story merupakan film Star Wars pertama yang diproduksi Disney sejak Lucasfilm dan franchise film ini dibeli pada tahun 2012.
-------------------

OFFICIAL RATING | ROGUE ONE: A STAR WARS STORY (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
gambar film midnight special by lemonvie
~Anak yang Berkemampuan Luar Biasa~

SINOPSIS:
Dikisahkan seorang anak bernama Alton (Jaeden Lieberher) memiliki kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Bersama ayahnya Roy (Michael Shannon) dan sahabat lamanya Lucas (Joel Edgerton) berusaha bersembunyi dan lari, demi melindungi putranya dari orang-orang pemerintahan dan sekte yang berniat merebut kekuatannya.

REVIEW:
Ini adalah film kolaborasi ketiga antara Jeff Nichols dan Michael Shannon. Setelah sebelumnya Shannon telah membintangi dua film terdahulunya (Shotgun Stories dan Take Shelter). Kali ini Jeff menghadirkan sebuah film bertema sci-fi dengan menjadikan topik cerita seorang anak berkemampuan luar biasa. Ia disini mencoba membangun sebuah hubungan antara seorang ayah dan seorang putranya yang sangat-sangat berbeda dari kebanyakann orang.

Entah mengapa Saya merasa ada sebuah kesamaan antara Midnight Special dan Take Shelter. Jika berbicara aktor, ya tentu saja ada Shannon yang memang dia menjadi aktor pada kedua film itu. Tapi, ada elemen-elemen yang sama ketika Saya menyaksikan kedua film ini. Dimana elemen tersebut menyangkut sebuah karakterisasi tokoh yang terlihat normal tapi di dalamnya memiliki sebuah misteri yang aneh, dimana sebetulnya ia menjadi salah satu orang dalam sebuah keluarga yang normal. Kemudian ia tampak menjadi cerita drama yang eksistensinya menjadi lebih kelam dan akhirnya menjadi konklusi akhir cerita yang ditunggu-tunggu penonton tentang jawaban akhirnya.

Mengingat ceritanya yang tampil menjadi misterius, Jeff sepertinya tidak melupakan sebuah hubungan antara ayah dan anak yang menjadi salah satu pondasi cerita ini. Meskipun ia tampil tidak begitu hangat dan emosional. Tapi, ia mampu menampilkan chemistry baik Alton, Roy, maupun bersama Lucas. Dan juga nantinya ada Sarah (Kirsten Dunst) selaku ibunya Alton yang juga ikut serta melindungi putra tunggalnya tersebut.

Meski bisa dibilang untuk segi cerita sendiri karya Jeff mungkin tak perlu diragukan lagi. Untuk film satu inipun ia masih bisa menghiburmu dengan elemen cerita sci-fi meski ia tak begitu banyak mengumbar atau menawarkan visual effect seperti tema sci-fi pada umumnya, tapi ia akan membawamu kepada petualangan cerita yang menarik yang akan terus berupaya membawamu pada klimaks cerita. Walau Saya sendiri berharap pada petualangan yang lebih seru lagi dari yang bisa disajikan Jeff.

OVERALL, satu hal yang bisa saya nikmati dan enjoy pada film Midnight Special ini adalah petualangan serta upaya orang tua yang berusaha melindungi anaknya dari tangan orang-orang berkuasa. Melindungi orang yang disayangi karena kemampuan luar biasanya dari tangan orang yang mungkin saja berniat jahat. Meski Saya pribadi mengatakan ia bukanlah karya Jeff Nichols yang Special, namun Midnight Special mampu menceritakan kisahnya sendiri dengan sangat baik.

Midnight Special (2016)
Midnight Special (2016)
Midnight Special (2016)
gambar film the lobster by lemonvie
"Memilih antara mendapatkan pasangan hidup atau menjadi hewan selamanya."

SINOPSIS:
Bercerita tentang seorang laki-laki paruh baya bernama David (Colin Farrell). Nah, Si David ini seorang single alias jomblooo broo (Sama Kayak Gw!), terpaksa mengikuti sebuah kontes mungkin di sebuah hotel dimana dia beserta para jomblowan dan jomblowati harus mencari pasangan hidup. Menariknya, kalau mereka tidak mendapatkan pasangan yang tepat maka dalam waktu kurun 45 hari mereka akan dirubah menjadi hewan (Oh, Shit!?). Dan hewan tersebut adalah sesuai keinginan orang yang dirubah tersebut.

REVIEW:
Jadi, bisa Saya liat sendiri bahwa film ini entah mau disebut aneh atau unik. Dan juga premis ceritanya itu loh yang membuat Saya tertarik menontonnya, ternyata dibalik ini semua ada kesan yang bercampur aduk setelah menonton film ini. Ya, sesampainya si David udah nyampe hotel dan berpartisipasi didalam hotel tersebut, terjadilah hal-hal horor disini.

Horor? Ga salah bang? Beneran?

Ada kesan psikologis di film ini, bagaimana seorang seperti David dan juga peserta dipaksa cari pasangan hidup. Kalau ngga ya itu tadi... Dirubah jadi hewan, karena orang yang tidak sanggup mencari pasangan tidak layak menjadi manusia alias cupu broo!

Bukan hanya itu saja sih yang Saya dapet, selain ide cerita yang menarik. Film ini juga dibalut dengan kesan yang sangat konyol, lucu, serem, romantis, unik, aneh... Seperti permen Nan*-Nan*, rame rasanya.

Dan tidak lupa juga selain karakter utama, tokoh-tokoh yang bermunculan di film ini juga sangat unik.

OVERALL, ini salah satu film dengan daya tarik yang berbeda, menarik, lucu, sekaligus ada kesan serem dan sedikit horor. Pada dasarnya film ini menyinggung bagaimana seorang jomblo itu harus cepat-cepat cari pasangan.

The Lobster (2016)
The Lobster (2016)
The Lobster (2016)