LEMONVIE: Biography
Showing posts with label Biography. Show all posts
Showing posts with label Biography. Show all posts
"They're not even dogs anymore. They're warriors, and they come back with all the same issues we do."


Jika film tentang hubungan sepasang manusia sudah sangat membosankan, mungkin film ini bisa jadi alternatif saat hubungan kasih sayang dan cinta itu datang dari ikatan seekor anjing militer "K-9" bernama Rex dan pawangnya US Marine cantik bernama Megan Leavey (Kate Mara). "Nama" yang dipakai sebagai judul film ini adalah upaya sutradara Gabriela Cowperthwaite mengangkat biografi unik dan sederhana namun didalamnya terkandung penghormatan dalam skala besar sebagai warrior dan juga pelayan negara yang andil dalam pengendusan senjata, bom rakitan dan penyelamatan banyak nyawa saat mereka dikirim ke medan perang, Irak, disamping sekaligus memperlihatkan eksistensi mereka dalam perjuangan, kepercayaan, ikatan batin, loyalitas hingga kehangatan yang bisa saya rasakan melalui hubungan persahabatan yang indah dan luar biasa.


Megan lahir tanggal 28 Oktober 1983, ia adalah anak tunggal dari ibunya Jackie Leavey (Edie Falco) dan ayahnya Bob (Bradley Whitford), setelah mereka bercerai dan berpisah, Megan cenderung sebagai penyendiri hingga membuatnya mengalami masalah dalam menjalin komunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Sampai suatu ketika Megan memutuskan untuk bekerja sebagai seorang marinir AS, dan bertemu dengan Rex (E168) sebagai rekan satu timnya dalam menjalankan tugas misi ke wilayah perang Irak. 100 kali dalam dua kali penempatan mereka di Fallujah tahun 2005 dan Ramadi tahun 2006, hingga dalam misi terakhir mereka terkena luka akibat ledakan bom improvisasi saat bertugas. Sampai pada suatu waktu Megan memutuskan untuk hengkang dari satuan militer dan meminta izin untuk mengadopsi Rex dan membawanya pulang, namun permohonannya tersebut ditolak dan Megan menemui kesulitan saat anjing yang sudah dianggapnya sebagai sahabat dan penyelamat hidupnya tidak lagi bisa bersamanya.


Cowperthwaite adalah sutradara wanita yang pernah menangani film dokumenter "Blackfish" (2013) yang juga sama-sama mengangkat kisah hewan sebagai film perdananya mendapatkan cukup banyak pujian. Dan ini film keduanya bersama dengan tiga penulis naskah yang membantunya Pamela Gray, Annie Mumolo dan Tim Lovestedt dengan mengangkat tema serupa. Cerita film ini simple namun tidak membuatnya menjadi sajian yang klise apalagi membuatnya terasa kekanak-kanakan. Ya, ini bukan persahabatan seorang anak kecil dengan anjingnya yang pintar bermain basket atau sepak bola. Tapi, persahabatan hangat yang melibatkan kesetiaan besar didalamnya seperti "Hachi: A Dog's Tale" yang diperankan oleh Richard Gere. Hampir mirip, tapi tidak se-subtil dan semelodramatis itu, kisah Megan Leavey membentuknya sebagai titular karakter yang jauh lebih punya nyawa melalui penyampaian latar belakang kuat diantara keduanya. Tercermin melalui permasalahan keluarga, feminisme yang meletakkan figur perempuan yang digenjot secara mental dan fisik dari sketsa militarisasi, dan juga bagaimana membentuk chemistry kuat antara Megan dan Rex dari kesulitan PDKT hingga perjuangan Megan mengambil hak asuh Rex membentuk cinta yang terlihat begitu kuat dari aksi dan simpati yang tersampaikan melalui cara yang bittersweet.


Saya kira ini bukanlah film yang setengah hati, semua tampil mengejutkan dan menggetarkan melalui penyutradaraan yang sangat luar biasa. Membentuknya melalui serangkaian gejolak atmosfer dalam situasi negara Irak yang digambarkan cukup relevan, baik dalam penggambaran realita kondisi "panas" dan "mencekam" hingga bahaya yang mengintai dari arah yang tidak terduga. Ini sesungguhnya film biopik tentang persahabatan, tapi juga film perang. Semua di-mixed sedemikian rupa sehingga kisahnya pun terasa keras dan kasar namun subtil menyampaikan kehangatan yang emosional, semua mengikuti perkembangan karakter seorang wanita dalam wujud zero to hero diantara panasnya padang pasir, beratnya situasi perang, hingga berhadapan dengan terorisme, senjata api dan bom. Sehingga honorifik ini berasal dari penafsiran saya soal ekspansi kaum wanita selain tentang seberapa besar penghormatan mereka terhadap keberanian serta eksistensinya sebagai sukarelawan perang.


Saya menyematkan akting Kate Mara yang tampil cukup powerful dan natural, aktingnya bersama Rex membuat saya percaya ada ikatan batin yang secara tak langsung terasa diantara mereka berdua. Melalui pancaran rasa cinta hingga sorot mata diantara keduanya seperti menciptakan harmoni yang begitu hangat dan manis, yang bahkan lebih manis dari brownies kukus yang terasa sangat lezat. Ya, semua dibentuk dengan cara manisnya Cowperthwaite menceritakan secara perlahan hubungan yang dibentuk dengan kesukaran Megan berkomunikasi dan menundukkan Rex yang dianggap sebagai anjing paling agresif dan galak diantara anjing lainnya. Selain itu saya juga cukup menyanjung akting Tom Felton sebagai Andrew Deanyang, diluar perkiraan tampil cukup likeable dan sosok pria yang hangat saat ia menjadi mentor Megan yang berpengalaman, meski sebentar, diluar aktingnya yang biasa ia lakoni sebagai antagonis tukang bully, Draco Malfoy saya rasa cukup bagus juga lakonnya sebagai pria berwibawa yang diperankannya dengan wajah yang cukup manis dan baik hati.

Well, mungkin film ini tidak sampai membuat air matamu berlinang, tapi setidaknya cukup banyak memberikan haru deru dan juga luapan emosi yang terhantar hangat melalui akting dan chemistry Kate Mara. Juga persentasi melalui drama biopik soal perang ini juga bukan hal yang dibuat remeh-temeh. Semua dihamparkan melalui alur, kisah dan juga persentasi yang menarik juga relatable. Saya kira ini salah satu film tentang persahabatan anjing dan manusia terbaik tahun ini, dan juga tentang sebuah film untuk memberikan penghormatan besar bagi keduanya yang berhasil mendapatkan pujian dan penghargaan akan keberanian dan kerja keras mereka dalam sebuah tim yang solid, loyal dan bravely.




| Director |
Gabriela Cowperthwaite
| Writer |
Pamela Gray, Annie Mumolo, Tim Lovestedt
| Cast |
Kate Mara, Ramon Rodriguez, Tom Felton, Bradley Whitford, Common, Edie Falco, Geraldine James, Corey Johnson
| Studio |
Bleecker Street
| Rating |
PG-13 (for war violence, language, suggestive material, and thematic elements)
| Runtime |
116 minutes (1h 56min)



OFFICIAL RATING | MEGAN LEAVEY (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes


Korea Selatan terkenal dengan soap opera drama yang cukup mendunia terutama di Indonesia. Dimulai dari kisah asmara sepasang kekasih dari benci hingga cinta, sampai yang hits bertajuk drama perang yang terdengung sebagai drama televisi termahal di Korea Selatan. The Last Princess pun lewat sinema besar mencoba peruntungan lebih dari sekedar tetek bengek film asmara maupun drama keluarga yang membumi. Bertemakan sejarah kolonialisme Jepang dan merupakan adaptasi novel karya Bi-Young Kwon berjudul "Princess Deok-hye", Hur Jin-ho meletakkan kesempatan terbaiknya mentengahkan kisah nyata perjuangan besar wanita dalam sejarah yang hampir dilupakan oleh negaranya sendiri berjudul The Last of Princess (Deokhyeongju).

Bercerita di tahun 1912 Princess Deok-hye (Son Ye-jin) adalah pewaris kerajaan terakhir Joseoung (Korea). Semenjak ayahnya King Gojong (Baek Yoon-Sik) meninggal Deok-hye bersama ibunya terpaksa bertahan hidup dibawah kekuasaan Jepang. Saat beranjak usia 13 tahun Doek-hye dipaksa dikirim ke Jepang, ditemani handmaiden bernama Bok-soon (Ra Mi-ran). Bertolak belakang dengan keinginan hatinya sendiri, Deok-hye harus rela meninggalkan negara kelahirannya dan dijadikan sebagai alat kepentingan politik di negara Jepang. Suatu ketika Kim Jang-han (Park Hae-il) yang memiliki hubungan dengan Deok-hye sejak kecil muncul di Jepang, menyamar sebagai tentara. Jang-han membawa misi untuk “menyelundupkan” Deok-hye dan membawanya kembali ke Joseon.

Sebetulnya saya tidak begitu peduli bagaimana cara sebuah film digulirkan, meski teknik dan penceritaan Jin-ho lebih mirip soap opera ketimbang konsep yang diperkaya secara lebih tegas dan mulia. Tapi sayangnya The Last Princess jauh mementingkan aspek melodramatik ketimbang struggle yang menjadi kekuatan utamanya, yang justru overdramatic yang tidak efektif. Sedikit-sedikit Jin-ho menghasilkan air mata yang tumpah terlalu banyak dan tidak tepat sasaran. Dan ini ditemukan sepenuhnya dalam film, seolah metode ini dipergunakan sebagai amunisi utama Jin-ho untuk menghabiskan satu kotak tisu penontonnya, melalui serentet penderitaan yang dialami tokoh utamanya. Dan ini di "amin"kan oleh sang sutradara sekaligus penulis naskah yang keroyokan antara Hur Jin-ho, Lee Han-eol, dan Seo You-min, makin banyak penderitaan maka film yang dihasilkan lebih baik.


Tapi, beberapa scene saya menjumpai heroism dan keberanian dari tokoh utamanya, meski awalnya Jin-ho dibentuk melalui tokoh egosentris, naif dan distressing. Perangkatnya dikembangkan melalui yel-yel serta pidato menyentuh Jin-ho ditengah rakyat Korea yang ditindas dan dipekerja paksakan oleh Jepang. Tapi, setelah itu semangatnya kembali pudar dan akhirnya kembali diseret melalui tugas Deok-hye untuk berjuang kembali ke kampung halamannya yang selama ini ia rindukan. Beriringan kesedihan dan air mata terus-menerus menjadi pesan yang disampaikan oleh Jin-ho, hingga akhirnya air mata menjadi hal yang saya sepelekan. Apalagi penindasan ini dilakukan oleh antagonis yang buat saya terlalu dilebih-lebihkan kemunculannya, Yoon Je-Moon sebagai karakter bengis dengan tatapan jahatnya sebagai Han Taek-Soo.

Dan inipun diperburuk melalui kemampuan penyutradaraan Jin-ho yang terasa compang-camping. barisan cerita terasa tumpang tindih disetiap adegan, apalagi berharap film ini mampu membagi kisah antara dua alur cerita antara Kim Jang-Han sewaktu tua di tahun 1961 dengan kisah Deok-hye di tahun 1961, sayang diantara keduanya tidak saling menyeimbangkan, setiap film ini mencoba berkilas-balik hasilnya menjadi tidak rapih dan hasilnya sedikit berantakan.


Tapi, Jin-ho punya beberapa kelebihan untuk menutupi kekurangannya meliputi segi teknis dan art decoration-nya hampir menyamai "The Handmaiden". Juga pemilihan busana yang vintage tanpa membuatnya lebih kuno dan jauh lebih mencerminkan pesona yang lebih modern. Dan untuk segi aktingnya sendiri seperti Son Ye-jin meski terlalu banyak aura pesimistis dan kesedihan tapi saya sedikit suka aktingnya yang solid terutama dibagian akhir cerita saat digambarkan melalui realitanya di masa depan yang kelam selain aktingnya di A Moment to Remember. Dan juga Park Hae-il dalam perjuangannya menyelamatkan kekasih hatinya, meski film ini tidak didukung dengan cerita yang lebih romantis dan jauh lebih banyak mengandung aksi pun cukup mendukung chemistry antara keduanya.

Well, setidaknya film ini cukup punya ambisi menjadi film yang mencoba menjadi sebuah blockbuster Asia, meski realitanya film ini adalah segumpal biografi yang tercermin melalui penderitaan, air mata, hingga berujung pada kegilaan dan keputusasaan. Meski menyempit melalui persentasi yang kurang tepat dalam membentuk emosi dan empati. Saya kira film ini sedikit banyak menggambarkan realita yang ada antara tragedi eksploitasi wanita dan hak asasi manusia di Korea Selatan, semuanya cukup relevan tersaji melalui haluan kerja keras penyutradaraan Jin-ho meski dirasa dengan segala pernak-pernik melodramatisasi cerita film ini tampak klise dan sedikit berlebihan.



| Director |
Hur Jin-ho
| Writer |
Hur Jin-ho, Lee Han-eol, Seo You-min
| Cast |
Son Ye-jin, Ra Mi-ran, Park Hae-il, Yoon Je-Moon, Jeong Sang-hun
| Rating |
Not Rated
| Runtime |
127 minutes (2h 7min)



OFFICIAL RATING | THE LAST PRINCESS (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"You can never tell who your enemies are, or who to trust. Maybe that's why I love animals so much."

REVIEW:

Seringnya film-film bertema Nazi dan sejarah kelamnya diangkat menjadi sebuah film, baik dipakai sebagai media propoganda atau lebih menekankan rasa empathy dan duka terhadap mereka yang menjadi saksi bisu sebuah perang. Tapi, selama Hollywood masih mensumbangsihkan gambaran setiap sisi negatif perang dan berupaya menyebarluaskan penyakit manusia ini untuk memberi keprihatinan kita dengan apa yang masih terjadi pada konflik timur tengah sekarang. Maka saya tidak ragu dan mendukung sepenuhnya film yang tetap memegang penuh kekhawatiran mereka terhadap pencemaran hak asasi manusia di dunia nyata.

Tak selamanya perang itu dipenuhi dengan kesedihan dan penderitaan, disisi lain perang masih terus menyimpan banyak peristiwa penting yang berasal dari kemuliaan hati orang-orang yang masih rela mempertaruhkan nyawa mereka demi menyelamatkan para korban perang dunia II dan kaum Yahudi seperti di film The Zookeeper's Wife. Film ini berdasarkan novel non-fiksi karya Diane Ackerman, yang terinspirasi oleh catatan diary suami-istri Antonina Zabinska (Jessica Chastain) dan Jan Zabinski (Johan Heldenbergh). Mereka berdua adalah pemilik dari kebun binatang di daerah bernama Warsawa, Polandia tahun 1939, atas serangan bombardir yang menghancurkan sebagian kebun binatang beserta aset mereka, karena pada saat itu wilayah Polandia sepenuhnya telah dikuasai oleh tentara Nazi Jerman. Tapi, meski berada di pihak yang sama, mereka salah satu dari sekian banyak orang yang masih mau mengulurkan tangan mereka tanpa membeda-bedakan ras dan kebangsaan.


Salah satu bagian terpenting dalam mengilustrasikan sebuah film bertema WW2 dan Nazi adalah bagaimana film tersebut mampu memporsir sebanyak-banyaknya penonton kepada rasa empati dan emosi yang mendalam pada tragedi kemanusiaan. Dan juga seberapa pintar sutradara menyelipkan sebuah pesan moral yang mengatasnamakan hati nurani dan perasaan. Sutradara Niki Caro beserta penulis naskah Angela Workman sebenarnya punya potensi untuk mewakili kesetiaan mereka menuliskan kisah heartbreaking keluarga Zabinski. Apalagi melibatkan hewan-hewan kebun binatang yang mati hingga berhamburan keluar kandang, semestinya juga menyulut amarah dan kepedihan kita. Tapi sayangnya secara keseluruhan pengarahan Niki kurang terasa membius dan emosional.


Beberapa adegan memang terasa menyayat hati, apalagi tiap kali kita selalu melihat gadis-gadis kecil tak berdosa yang berusia sekitar 5-7 tahun berlalu lalang di perkampungan Yahudi hingga sederet anak-anak digendong Jan Zabinski memasuki gerbong-gerbong kereta yang mungkin dimaksudkan untuk dibawa ke Auschwitz (IYKWIM) mengundang realita kepedihan. Tapi sedemikian persen kisah yang dipaparkan Caro terlalu lunak dan melibatkan PG-13 sebagai pembatasan moral yang melibatkan margasatwa asli tanpa CGI, entah apa karena ia tidak terlalu berani memamerkan lebih banyak darah dan mayat bergelimpangan. Tapi, bagian tersebut mengurangi esensi yang terasa netral dan kurang melukai saya lebih dalam, kecuali perbuatan asusila yang terjadi seorang gadis kecil itu berhasil mengoyak-ngoyakkan batin saya lebih dalam.


Selain itu film ini pun tak lupa membawa kisah personal antara cinta segitiga Antonina, Jan dan seorang rekan kerja zoologist milik Hitler, Lutz Heck (Daniel Brühl) yang kurang lebih digambarkan sebagai antagonis abu-abu yang mengundang rasa kehati-hatian. Meski di bagian tersebut juga tidak banyak melibatkan emosi dan konflik karakter lebih terasa apa adanya, tapi saya cukup menyukai beberapa adegan seperti detik-detik menegangkan Jan dan Antonini yang harus berusaha menyembunyikan, membawa dan melewati puluhan tentara Nazi yang berkeliaran untuk menyelamatkan para Yahudi yang terdiri dari wanita, pria, anak-anak, dan lansia, dengan resiko petaruhan nyawa cukup menjadi moment dramatisasi yang menegangkan dalam film ini.

Well, The Zookeeper's Wife memang belum sepenuhnya memberi impact besar dalam sebuah tragedi WW2 meski film ini punya segudang potensi, kurangnya rasa dan emosi yang lebih dalam dan tragis dipicu kemungkinan rating tontonan yang dibatasi. Yap, ini memang kerap terasa seperti tontonan drama keluarga, hamparan sinematis yang kurang kelam dan terlalu cantik, meski saya cukup menyukai akting Jessica Chastain yang punya pengaruh dalam cerita. By the way, The Zookeeper's Wife sebagai representasi peristiwa dan biopik dari segelintir saksi bisu dan juga sukarelawan kemanusiaan, film ini patut di hargai.




| Director |
| Writer |
| Cast |
Focus Features
| Rating |
PG-13 (for thematic elements, disturbing images, violence, brief sexuality, nudity and smoking.)
| Runtime |
139 minutes (2h 7min)



OFFICIAL RATING | THE ZOOKEEPER'S WIFE (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
"To dream to seek the unknown. To look for what is beautiful is its own reward."

REVIEW:

Atlantis mungkin bukan satu-satunya kota hilang yang tak pernah ditemukan dan masih dianggap sebagai mitos belaka sampai saat ini, salah satunya adalah kota hilang yang diberi nama dari alfabet terakhir, 'Z' yang dicari oleh para eksplorer dan para peneliti arkeolog apakah kota yang dianggap memiliki peradaban paling maju ini benar-benar bersembunyi di pedalaman hutan terbesar ke-2 di dunia yaitu Amazon, Brazil. Dan orang pertama yang berusaha membuktikan hal tersebut adalah perwira tinggi berpangkat Major, Percy Fawcett (Charlie Hunnam). Awalnya Major Fawcett ditugaskan untuk melakukan pemetaan sebuah lokasi tak terjamah di hutan Amazon, karena terjadinya sengketa lahan hutan yang kaya akan sumber karet antara negara Bolivia dan Brazil. Tapi, tidak disangka diluar ekspedisinya tersebut ia secara tidak sengaja menemukan sebuah artefak kuno berupa pecahan pot serta ukiran wajah manusia yang diklaim dirinya sebagai peninggalan kota yang konon didengarnya melalui pribumi suku Indian yang disebutnya sebagai The Lost City of Z.


The Lost City of Z diambil dari buku berjudul sama yang ditulis oleh David Grann yang khusus menuliskan biografi kehidupan dan juga petualangan Percy Fawcett dalam menemukan hal yang hampir mustahil baik buat orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Lewat bukunya sutradara James Gray mengungkapkan segelintir kisah hidup dari latar belakangnya bersama istrinya Nina Fawcett (Sienna Miller), hingga lika-liku dirinya tidak hanya dalam sepak terjangnya menelusuri hutan yang dianggap neraka bagi sebagian rekan-rekan Fawcett yang ikut membantunya melakukan ekspedisi, tapi juga masalah yang dihadapi saat ia harus meyakinkan sebagian orang di kotanya bahwa The Lost City of Z itu benar-benar nyata meski segelintir orang menertawakan dan mengejeknya lantaran apa yang diklaimnya sebagai peninggalan budaya kota hilang tersebut hanyalah akal-akalannya dan obsesinya hanya sebuah kesintingan yang tak masuk akal.


Mungkin apa yang dilakukan oleh Percy Fawcett menjadi sebuah kontradiksi, banyak orang berpendapat bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan sia-sia. Tapi, ini mungkin adalah cerita yang bisa menjadi kisah inspiratif dan memotivasi sebagian orang apalagi bagi para peneliti maupun calon arkeolog. Kisah ini memang jauh lebih mendukung apa yang dilakukan oleh Fawcett ketimbang menjadikannya sebagai orang gila yang menyia-nyiakan hidup dengan sesuatu yang tidak jelas rimbanya. Di film ini pun menceritakan segelintir orang yaitu asistennya Henry Costin (Robert Pattinson) termasuk Nina sangat mendukung tindakkan yang dilakukan Percy meski saya sendiri agak kurang mengerti motif khusus Fawcett sampai-sampai rela menelantarkan anak bahkan istrinya yang bahkan sedang hamil demi menantang maut mencari kota tersebut, perihal latar belakang Fawcett sendiri bukanlah seorang arkeolog ataupun adventurer. Tapi, satu-satunya hal yang saya pahami adalah obsesi dan ambisi besarnya sebagai seorang Conquistador (penakluk) hutan Amazon, hingga sampai suatu adegan bagaimana seorang peramal mengatakan akan masa depan Fawcett lantaran sesungguhnya ia akan ditakdirkan untuk menjadi orang pertama yang menemukan kota hilang tersebut menjadi salah satu bagian yang menguatkan keinginan Fawcett sebagai landasan motif terbesarnya, meskipun hal tersebut bukan sesuatu yang mutlak dipercaya.


Disinilah letak pengorbanan besar dari seorang Percy Fawcett, ini bukan tentang hasil yang ia capai melainkan proses pencariannya yang penuh rintangan dan hambatan besar didepannya, hingga menimbulkan sebuah kompleksitas kecil yang hinggap dalam petualangan gilanya. Hal pertama dan terbesar tentu saja perjalanannya yang tidak sedikit waktu dihabiskan didalam hutan dan diikuti penderitaan dan taruhan nyawa, seperti serangan dari suku indian, piranha, hewan-hewan liar, rasa lapar maupun wabah penyakit. Tapi, sayangnya eksplorasi Fawcett terbagi dalam 3 acts yang justru memecah keseruan dan ketegangan Fawcett didalam hutan, yang terseparasi kehidupan selepas Fawcett yang tiba-tiba selamat dan pulang ke kotanya lantaran James Gray ingin mencoba memporsir drama dan hubungannya bersama keluarga serta konflik permasalahan dan pengaruh dirinya dalam pencariannya itu. Saya suka dengan momentum yang terjadi dalam permasalahan rumit yang mengintai Percy, salah satunya Jack Fawcett (Tom Holland) anak Percy paling sulung yang telah dewasa begitu menentang dan membenci impian ayahnya, hingga masalah miring lain seperti kurangnya dukungan, dana dan sukarelawan yang membuat dirinya putus asa hingga menganggap bahwa impiannya tersebut memang sia-sia.


The Lost City of Z mungkin punya plot yang bagus, hanya saja setiap pertukaran moment dari keberingasan hutan Amazon yang mematikan yang digambarkan betapa beratnya perjuangan Percy Fawcett dkk dalam menempuh hutan dan sungai hingga harus berhadapan dengan hal-hal tak terduga sekaligus dengan sinematografi apik yang mampu menangkap keindahan landscape hutan hujan tropis, dengan perpindahan repetisi kepulangan tiba-tiba Fawcett dengan sehat dan selamat dari Amazon. Seketika menghilangkan tendensi rasa putus asa dan ketegangan yang sebetulnya sudah muncul di awal. Seolah James Gray kesulitan menerjemahkan dengan benar setiap tulisan buku tersebut yang notabene dalam bukunya sendiri justru lebih banyak menggambarkan suasana mencekam diliputi rasa takut Fawcett dkk dalam menghadapi rintangan dalam hutan, menjadi lebih banyak menyajikan sajian biopik cerita yang generik dan melelahkan dengan durasinya yang melebihi 2 jam sehingga menghilangkan sense of adventure didalamnya.



| Director |
| Writer |
| Cast |
Amazon Studios/Bleecker Street Media
| Rating |
PG-13 (for violence, disturbing images, brief strong language and some nudity)
| Runtime |
140 minutes (2h 21min)



OFFICIAL RATING | THE LOST CITY OF Z (2017)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
REVIEW FILM: Jackie (2016)
"I never wanted fame. I just became a Kennedy."

REVIEW:

Mengatakan bahwa film "Jackie" karya dari sutradara Pablo Larraín ini sebagai film biography Jacqueline Kennedy (Natalie Portman), pasangan mantan presiden tersohor Amerika Serikat, JFK, mungkin tidak sepenuhnya salah tapi juga tak sepenuhnya benar, mengapa saya katakan begitu? Karena meski film ini syarat tentang biopik cerita yang mentengahkan kisah Jackie dan pasti juga mempertemukan tragedi besar sepanjang sejarah tentang peristiwa penembakan dan pembunuhan presiden negara adidaya tersebut, apa yang dilakukan oleh Pablo adalah mempersempit area cerita dengan mencoba mempertemukan biography, historical, dan psychological, dan bukan cerita lengkap tentang perjalanan hidup ibu negara tersebut, melainkan cerita pasca peristiwa yang melibatkan kehidupan, emosi, dan perasaan seorang Jackie yang dirundung rasa duka, kesepian, dan kegelapan terdalam saat langsung menjadi saksi mata terbunuhnya sang suami di depan matanya sendiri saat daging dan darah suaminya berhamburan didepan tubuhnya sendiri.

Mungkin memang Pablo bersama dengan penulis naskahnya Noah Oppenheim tidak ingin sengaja menjadikannya kisah film ini terasa repetitif, karena sejarah tentang penembakan mantan presiden JFK ini sudah pernah disampaikan melalui sutradara Oliver Stone, dalam filmnya yang berjudul JFK (1991). Karena tidak ingin kembali menceritakan hal yang hampir sama, ia melakukan pendekatan berbeda secara emosional dan menelusuri kepribadian mendalam dari Jackie yang tergambar jelas dari kepiawaian Portman yang tampil begitu luar biasa. Bahkan pujian datang dari jurnalis yang memang langsung menuliskan kehidupan asli dari ibu negara tersebut kepada akting wanita yang saya kagumi juga di film "Black Swan" karya "Darren Aronofsky", yang terlihat sangat perfeksionis nan anggun, yang sanggup memunculkan aura ikonik, pesona elegan, tenang dan berwibawa, sekaligus tampil tampak sangat rapuh, goyah, tak tenang, dan sedih saat sang suami mati didepan matanya sendiri.

Dengan gaya bercerita Pablo yang terkesan tarik ulur, mungkin hampir kurang dari 2 jam film Jackie terasa begitu lemah dalam mengeksploitasi emosi sang tokoh utama, meski perjuangan Portman yang tampil begitu eksploratif dan ekspresif dalam menggambarkan kesedihan, depresi, kesepian, hilang arah dan kehilangan, sayangnya Pablo kurang cerdik mengeskposisikan cerita yang seharusnya dibangun lebih mendalam dalam menelusuri sepak terjang Jackie. Kesannya terlihat naik turun tanpa tersusun rangkaian cerita yang justru tiap kali scene berubah-ubah demi memperlihatkan daya tarik ekspresi Portman yang matang, seringkali tumpang tindih. Saya kurang mendalami kesedihan yang datang dari gaya cerita Pablo yang terasa kurang lancar. Meski bagian terbaiknya kesedihan dan rasa kehilangan tersebut tetap sangat kuat terpancar dari departemen akting artisnya sendiri.

Dibalik kesedihan dan gejolak maksi ekspresi dalam film Jackie, mungkin cukup beruntung bahwa saya yang notabene kurang tahu samasekali sosok Jacqueline Kennedy ini semakin tahu seperti apa dirinya dan masalah yang dihadapinya. Memang tidak diceritakan secara gamblang, tapi dengan mengetahui kepribadian, tata cara busana yang fashionable, dan juga saat Jackie curhat dengan seorang pendeta, menuntun kita mengetahui sosok sebenarnya dari ibu negara tersebut. Apalagi karena beliau lah yang pertama kali membuat sebuah tur keliling gedung putih, sekaligus yang kembali menata ulang dan dekorasi gedung putih menjadi semewah dan seanggun sekarang. Ya, Jackie memang punya selera tinggi akan karya seni dan musik. Digambarkan lewat dekorasi ulang yang saya tangkap dari kepiawaian Véronique Melery mendekorasi semirip mungkin tata ruang gedung putih pada masa itu, juga tata busana film ini Madeline Fontaine, yang membawa nama Madeline mendapatkan nominasi Oscar tahun 2017.

Selain itu juga, film ini menggambarkan perjuangan seorang Jackie dibalik kehancuran dan kedukaan yang dia alami, saat ia harus memperjuangkan warisan mendiang suaminya dan masalah politik dan gejolak kelam negara pada saat itu yang berkecamuk dan dihinggapi rasa was-was dan takut akan teror yang mengancam negara mereka. Bahkan saat seorang Jackie sendiri dari pertama menyandang status sebagai ibu negara, kemudian berubah menjadi bukan siapa-siapa, merasa terasing, meski dibalik itu semua setiap orang tetap menghormati, bersimpati dan menyanjung dirinya saat itu dirinya kehilangan seseorang tempatnya bersandar dan saat ia harus kembali pergi dari tempat dimana ia bersama keluarga dan suaminya saat itu.

Well, Jackie adalah sebuah film yang mencurahkan perasaan dan isi hati seorang wanita bernama Jackie yang mengalami problematika kehilangan orang yang dicintainya serta perjuangannya menjaga nama baik dan hak suaminya sebagai seorang kepala negara. Ini adalah sebuah film penghormatan bagi mendiang ibu negara yang memiliki ciri khas tidak hanya sebagai ibu negara termuda pada saat itu, tetapi juga bagaimana pengaruh dirinya dimata dunia dan juga politik, serta besarnya jasa dan penghormatan Jackie dibalik tragedi kelam sepanjang sejarah tersebut. Dan tentu saja semua itu karena performa akting dari artis favorit saya, Natalie Portman yang memang layak menyandang status sebagai wanita yang selalu layak menyandang nominasi Oscar, yang tahun ini pun penghargaan bergengsi tersebut masih dilirik oleh juri sebagai salah satu nominator, meski harus kalah oleh Emma Stone dalam film La La Land tahun ini. Segmented! 🎬

🎥 Director | Pablo Larraín
🎥 Writer | Noah Oppenheim
🎥 Cast | Natalie Portman, Peter Sarsgaard, Greta Gerwig, John Hurt, Max Casella
🎥 Studio | Fox Searchlight Pictures
🎥 Rating | R (for brief strong violence and some language)
🎥 Runtime | 95 minutes (1h 40min)

POSTER: Jackie (2016)
RATING 76: Jackie (2016)

--------- [WHAT THE FACT!] ---------

-------------------

OFFICIAL RATING | JACKIE (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes
Denial (2016)
"Freedom of speech means you can say whatever you want, what you can't do is lie and expect not to be held accountable for it."

REVIEW:

Apakah ada yang sudah pernah menonton salah satu mahakarya sutradara Steven Spielberg berjudul "Schindler's List"? Jika sudah, maka kamu pasti ingat salah satu adegan yang paling memorable sekaligus menyayat-nyayat hati akibat kekejaman Nazi saat sebuah tragedi 'Holocaust' dimana Hitler memerintahkan para tentaranya untuk memasukkan jutaan kaum Zionis (Yahudi) yang telah dipersiapkan pada kamp-kamp konsentrasi di Eropa Timur ke dalam sebuah kamar gas untuk dibunuh secara massal. Nah, yang kemudian menjadi pertanyaan oleh seluruh orang di dunia tentang tragedi kolosal kemanusiaan itu adalah apakah kejadian itu benar-benar terjadi dalam sejarah ataukah itu hanya sebuah kebohongan dan isu yang dilakukan sebagai sebuah propoganda?

Jujur saja pertama kali menonton film berjudul Denial (Penyangkalan) karya sutradara Mick Jackson ini saya tidak membawa cukup banyak referensi sejarah dan latar belakang tokoh yang ada didalam film ini selain dari beberapa sinopsis cerita dan beberapa film yang menampilkan tema serupa. Sebagai kelompok netral saya bukanlah fanatik Nazi ataupun fanatik Yahudi, Saya melihat sebuah tragedi ini dari sisi kemanusiaan yang memang sangat kejam dan biadab, jika menilik latar belakang sejarah dan kediktatoran Hitler. Jadi, melihat konflik antara dua sejarawan yang saling berseteru di meja hijau tentang kebenaran sejarah tentang holocaust, saya pun setelah habis menonton film ini masih terasa menggantung akan kebenaran tragedi tersebut, membuat saya terpaksa mencari kembali literatur yang pasti akan hal ini.

Deborah Lipstadt (Rachel Weisz) adalah seorang dosen sekaligus pembuat buku sukses yang berjudul "History on Trial: My Day in Court with a Holocaust Denier". Dalam bukunya tersebut Deborah menyinggung tentang tragedi kebenaran sejarah Holocaust, hingga menceritakan tentang kebohongan dan propoganda yang dilakukan segelintir orang yang ingin memutarbalikkan sejarah tentang tragedi tersebut. Tentu saja Deborah pun menuliskan nama sejarawan, David Irving (Timothy Spall) dibukunya sebagai seorang penipu yang menebarkan kebencian pada kaum Zionis dan seorang anti-semit. Tentu saja merasa nama baiknya dicemarkan, Irving menuntut Deborah ke pengadilan dan memaksanya untuk membuktikan kebenaran yang ia yakini tentang pembunuhan massal kaum yahudi di kamar gas di depan hakim.

Menyambung kembali kalimat terakhir di paragraf kedua tadi, ya, film Denial memang lebih menitikberatkan perseteruan dua tokoh utamanya secara eksploitatif. Deborah digambarkan sebagai wanita yahudi yang dilanda kepanikan secara emosional akan dirinya yang sedang ditindas. Irving digambarkan sebagai seorang sejarawan licik dan pintar yang melakukan segala cara untuk menjatuhkan nama Deborah di pengadilan. Dengan hanya melihat pemerannya adalah Timothy Spall saja saya sudah menduga peran apa yang akan dimainkannya. Sebagai pihak netral, saya berada pada pertengahan konflik yang ada, meski memang secara naskah dan cerita yang ditulis langsung oleh Lipstadt dan David Hare, kita harus berada pada posisi mendukung Deborah.

Ya, film ini adalah tentang bagaimana keadilan ditegakkan dan sejarah diluruskan. Tapi, sayangnya Mick kurang mengeksploitasi karakter dengan lebih efektif dan lebih besar. Meski dialog-dialog yang digunakan oleh Mick dalam courtroom diambil dari rekaman asli, tapi diluar konteks cerita, Saya sulit untuk memberi kesimpulan Irving sebagai orang yang sepenuhnya salah. Hanya dengan mengeksploitasi kelicikkan dan manipulasi situasi, bahkan dengan adegan-adegannya yang mengintip dibalik jendela. Terasa kurang cukup memberikan pemikiran kepada saya tentang kejahatan yang dilakukan olehnya. Bahkan ketika sang hakim yang tiba-tiba berasumsi akan pemikiran Irving, malah membuat ambiguitas karakter yang terasa kurang kontroversi. Ya, mungkin ide ini bisa diterima jika memang kita bisa sedikit simpatik pada kaum Yahudi atau kita adalah kaum yahudi itu sendiri.

Meskipun begitu saya tetap menikmati apa yang tersaji oleh film ini sebagai film drama courtroom yang terus-menerus menganalogikan kebenaran sejarah holocaust dengan berbagai pembuktian terkait, meskipun ada saat-saatnya kita menerima kebenaran yang dinyatakan oleh pihak Deborah yang dibantu oleh beberapa pakar sejarah seperti Richard Rampton (Tom Wilkinson) dan Anthony Julius (Andrew Scott), saya pun tak membantah apa yang dinyatakan oleh Irving yang duduk di persidangan seorang diri dengan keterangannya yang juga cukup masuk akal.

Disinipun saya cukup menyanjung akting Rachel Weisz yang berperan sebagai wanita yang sedang berjuang untuk pembelaan dirinya sendiri dan juga berusaha keras untuk memperbaiki kekacauan sejarah yang dikaburkan kepada dunia. Tidak hanya itu, dibalik itu juga Deborah adalah karakter emosional dan kurang tenang dalam menghadapi masalah yang menerpanya, tapi juga Mick menggambarkan betapa emosional dan berperasaannya Deborah terhadap kekejaman dan kepedihan yang dirasakan oleh para korban, apalagi saat Rampton mengajak Deborah mengunjungi museum di kota Auswitch untuk mencari bukti-bukti sejarah terjadinya holocaust yang membuat Deborah sedikit terbayang akan tragedi tersebut yang menyakiti hatinya.

Well, mungkin satu hal yang bisa dipetik dari film ini adalah bahwa sejarah dan tragedi yang telah dibawa selama puluhan tahun pun bisa diputar balikkan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan sebagai propaganda dan dapat memicu tragedi diskriminatif dan kebencian. Meski saya sendiri sebagai kaum netral, kebohongan sejarah mungkin bisa lebih mengerikan daripada tragedi holocaust itu sendiri. Denial memang bukan sepenuhnya film yang mengangkat tentang pembongkaran kebohongan sejarah secara besar-besaran, tapi mungkin lebih diniatkan kepada sebuah konflik utama yang saat itu sedang terjadi. Meski saya menyayangkan eksploitasi cerita yang memang terasa kurang membawa bomb besar, yang meledak-ledakkan setiap emosi tokohnya dan pengaruh efektif yang mendatangkan propoganda yang menakutkan. So, ini adalah sebuah drama courtroom yang cukup menghibur dengan persentasi drama dan akting yang cukup absorbing dan powerful. 🎬

🎥 Director | Mick Jackson
🎥 Writer | David Hare
🎥 Cast | Rachel Weisz, Timothy Spall, Tom Wilkinson, Andrew Scott
🎥 Studio | -
🎥 Rating | PG-13 (for thematic material and brief strong language)
🎥 Runtime | 110 minutes (1h 49min)

RATING 6.7
POSTER | Denial
SCORE 67 | Denial

--------- [WHAT THE FACT!] ---------

-------------------

OFFICIAL RATING | DENIAL (2016)
Rating Film IMDB

Rating Film Rottentomatoes