LEMONVIE


Kadangkala seorang filmaker/sutradara membuat film bertujuan untuk menyelipkan pesan atau isu penting yang mampu ditangkap dengan mudah oleh penontonnya. Dan yang paling krusial pesan tersebut harus mampu direspon baik melalui emosi dan logika penontonnya. Terutama apakah film tersebut mampu ditangkap secara visual melalui akal sehat. Bisa dibilang Guillermo del Toro yang selalu akrab dengan film visionernya yang unik dan selalu meleburkan inovasi dan imajinasinya melewati batas-batas sinematis tertentu. Tapi, sejujurnya ini bukan lagi kisah dark fantasy konvensional seperti karya-karya del Toro sebelumnya seperti The Devil's Backbone dan Pan's Labyrinth, melainkan sebuah langkah berani dan menantang tentang konsep mustahil tentang cinta seorang manusia, tapi del Toro menciptakannya.

Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah wanita penyendiri dan kesepian. Ia bekerja sebagai janitor di sebuah fasilitas penelitian rahasia milik pemerintah. Setting film ini diambil sekitar tahun 1962, saat perang dingin antara Amerika dan Rusia sedang berkecamuk. Elisa sendiri adalah seorang tunawicara, ia tidak bisa berbicara semenjak lahir. Dia memiliki dua teman dekat, pertama tetangganya, Giles (Richard Jenkins) pria tua (yang saya kira bapaknya) yang bekerja sebagai freelance artist yang juga hidup kesepian dan Zelda Fuller (Octavia Spencer) teman kerja Elisa yang sama-sama seorang janitor. Suatu hari Elisa dan Zelda mendapati seorang seekor monster amfibi "Amphibian Man" (Doug Jones) misterius yang baru dibawa oleh Richard Strickland (Michael Shannon) sebagai bahan eksperimen. Tapi, monster yang tampak seram dan berbahaya tersebut ternyata memiliki kemiripan layaknya manusia, dan membuat Elisa merasa tertarik dan jatuh cinta padanya.


Ada yang menyebutnya sebagai kisah fairy tale "Beauty and the Beast", tapi saya rasa konsepnya tidak sesederhana dan semanis itu, tapi jauh lebih dewasa dan kompleks yang sejalan dengan arti, "Siapapun berhak mendapatkan cinta". Dan bagian terdalamnya, cinta bukan soal fisik, tapi tentang respon emosional yang mungkin akan terdengar complicated, tapi del Toro menyampaikannya secara lugas dan cermat tentang apa itu cinta dan dibalik itu terdapat pesan isu orientasi seksual. Apalagi konsep soal impossibility's no matter of love in the world semakin terasa kuat bagaimana del Toro bermain soal cinta tanpa penggunaan bahasa verbal sedikitpun, selain dunia antara Elisa dan Amphibian Man yang jelas kontras berbeda, di dunia tanpa kata-kata hubungan mereka bagai terhubung oleh jembatan tak kasat mata.

Mungkin terasa sangat ganjil dan aneh, apa yang dibawa oleh del Toro dengan ambisinya yang absurd nan gila. Bahkan pesan moral soal cinta yang menghampiri Elisa, bukan serta merta dibuat berdasarkan rasa empati semata, justru dibuat dengan ikatan seksual. Mengingatkan saya dengan salah satu karya Aaron Moorhead dan Justin Benson, "Spring". Tapi, dalam film Spring atau Beauty and the Beast, keduanya masih memiliki bentuk/wujud manusia yang membuat kita masih bisa menerima konsekuensi atas emosi tersebut, lain halnya dengan Amphibian Man yang hanya mengambil sedikit sekali identitas/wujud manusia, tidak sama bahasa, alam dan rupa.


The Shape of Water buat saya bukanlah sebuah ke-absurdan, sebaliknya del Toro bersama Vanessa Taylor yang bergandengan menuliskan naskah justru memiliki cerita puitis dan jujur. Ada adegan ketika Elisa membayangkan dirinya bisa berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada Amphibian Man sambil menari diatas panggung, mirip adegan di film "The Artist". Dibalik cerita yang gelap dan sentimentil yang kerap menciptakan suasana horror, ada aura keluguan dan kekakuan terpancar dari karakter Elisa yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Sally Hawkins, selain harus berakting bisu, ditambah adegan frontal dan berani ia lakoni tanpa sehelai benang-pun. Elisa adalah wanita pemberani di balik sifatnya yang lazim sekaligus unik, berbanding terbalik dengan Zelda, yang terbilang cerewet tapi caring. Richard Jenkins yang perannya pun cukup dominan, bermain peran dengan Sally terasa memiliki chemistry yang kuat, seolah mereka berdua tampak seperti ayah-anak karena memiliki sifat yang cenderung sama. Dan salah satu aktor favorit saya, Michael Shannon, sayang aktingnya kurang memikat di film ini, meski saya suka kemampuan Shannon betukar peran baik sebagai protagonis maupun antagonis di beberapa film sebelumnya. Entah kenapa, mungkin karena pendalaman tokoh Strickland yang stereotipikal, seharusnya pengenalan sampai kerumah tangganya bisa menjadi suntikan moral yang lebih dalam.


Tapi, diantara itu semua adalah kekuatan sinematis yang dibuat oleh Dan Laustsen, yang membawa The Shape of Water menjadi salah satu pemenang Oscar dalam Best Motion Picture of the Year, juga mengantongi 3 kategori lainnya. Melalui ciri khas del Toro, tone gelap dengan dominasi siluet, green dan teal, dan tak jarang membaurkan sedikit palet warna merah, tiap bingkai adegan dibuat begitu indah dan membekas, bahkan warna tersebut kerap menjadi simbolisasi yang mampu berbicara banyak yang kadang dijelaskan melalui dialog. del Toro menjelaskan bahwa film ini awalnya akan dibuat hitam-putih, tapi kemudian diputuskan untuk membuat film berwarna, warna hijau dominan mewakilkan soal masa depan (baca ini atau ini). Selain dari daya tarik visual hingga desain produksi yang memukau, gubahan musik dan scoring film ini pun mampu memberikan nuansa klasik dan elegan yang kadang pas dengan setiap adegan yang ada, sehingga The Shape of Water tidak saja menembus batas-batas imajinasi, daya pikatnya pun terhantar begitu dalam menghipnotis hampir ke seluruh indera.






Kenapa wanita selalu jadi korban pelecehan dan pemerkosaan? Seringkali tuduhan yang menyebabkan pelaku (lelaki) memperkosa wanita karena akibat dan ulah wanita itu sendiri. Jika tubuh perempuan tersebut semakin terbuka dan menggoda maka otomotis status wanita tersebut semakin inferior dan impolite, bahkan digenerelisasi secara intelektual dan dianggap sumber biang keladi masalah. Jadi, sangat wajar jika wanita jauh lebih banyak mendapat perkosaan karena perilaku mereka sendiri. Jika seperti itu kemana posisi laki-laki untuk bisa menghargai wanita dan tubuh mereka bukan sebagai objektifikasi dan olok-olok semata?

Revenge berasal dari film Prancis yang di nahkodai oleh sutradara debutan Coralie Fargeat. Melalui film pertamanya Revenge bercerita tentang seorang wanita sosialita bernama Jen (Matilda Lutz) yang diajak berlibur oleh kekasihnya yang kaya Richard (Kevin Janssens), di sebuah lokasi rumah mewah terisolasi di tengah padang gurun tak bernama. Tentu saja Jen tidak sendirian, Richard yang seorang pemburu ternyata mengajak kedua temannya Stan (Vincent Colombe) dan Dimitri (Guillaume Bouchède) ikut tinggal bersama mereka tanpa sepengetahuan dirinya. Tentu saja hal yang tidak diinginkan Jen terjadi, ia mendapat tindak perkosaan bahkan pembunuhan oleh ketiga pria tersebut. Dianggap sudah mati, Jen yang ternyata masih hidup menuntut balas dendam atas perbuatan ketiganya.


Film Revenge terdengar klise, iya. Tapi, Revenge buka film tanpa konteks, meski genre rape-revenge sudah kesekian kali dibuat, bahkan hampir berbarengan dengan film serupa yang berasal dari Indonesia, Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak. Coralie yang merangkap sebagai penulis naskah punya motif kuat yang bersandar pada isu feminisme dan eksploitasi wanita, tapi tentu dengan pendekatan yang sangat maskulin. Film ini penuh dengan adegan brutal, gory, bloody dan mengekspos rentetan adegan sensual. Tentu film ini tentang konfrontasi antara 1 wanita dan 3 pria, mengajak kita peduli soal nasib Jen yang terperangkap tak berdaya tanpa kekuatan dan pelindung. Perkosaan seperti sebuah kisah teror realita tak terelakkan pada wanita menghadapi takdir dominasi dan patriarki pria.

Eksploitasi adalah permainan yang dibawa Carolie ke ranah cerita, saya mengerti kenapa kamera begitu ragam mengumbar hampir seluruh bagian fisik Jen yang kerap mengundang birahi dibabak awal cerita. Kemudian melalui gestur dan mimik canda-menggoda didepan 2 pria asing, Jen tampak berjoget gemulai tanpa bimbang karena ia tahu sang pacar Richard disana sama-sama menyaksikannya. Lalu ditengah kesempatan lahirlah pemerkosaan. Dan selalu dibalik pemerkosaan melahirkan pembunuhan. Coralie sengaja memfasilitasi tokoh utama Matilda Lutz untuk terus berpakaian minim, meski seringkali ia berpakaian terbuka bukan untuk menggoda, kadang situasi dan kondisi tak mendukung dirinya untuk tampil tertutup. Bahkan ketika Jen, Stan dan Dimitri berpapasan pertama kali, bukan keinginan Jen untuk memperlihatkan dirinya sedang memakai celana dalam, kan?



Meski Carolie memuat isu feminisme. Tapi, saya menyukai bagaimana Revenge mencoba mempropoganda dua sisi koin baik-buruk. Bahkan Jen bukan serta-merta tokoh yang purely, gadis baik-baik lalu mendadak jadi korban. Semua punya asal muasal, sebut saja Richard peselingkuh yang berstatus keluarga ternyata seorang yang kasar dan kejam, Stan, pengecut yang penuh nafsu yang juga berstatus keluarga, Dimitri, pria apatis, bodoh dan doyan planga-plongo dan Jen tokoh utama yang ternyata seorang pelakor. Dan kemudian kita ditanya siapa yang jadi pemicu masalah? Apakah karena Jen seorang pelakor lalu ia bisa dicap sebagai wanita penggoda sehingga wajar jika ia diperkosa, sedangkan Jen kemudian dianggap wanita disposable, slut dan brainless oleh ketiga pria ini. Bahkan beberapa ucapan ofensif menohok masuk ke telinga saya mendengarkan pria-pria ini merendahkan Jen, "Woman always put up a fight" dan "Even for your tiny little oyster brain, it shouldn't be too difficult to understand." Ah, sakit!

Coralie tidak terlalu banyak menggunakan dialog, ia menggantinya dengan bahasa visual, gestur serta mimik wajah. Semudah kita mengetahui bahasa tubuh dan gestur Jen yang menggoda setiap saat, tatapan mesum nan mengganggu Stan yang kadang digambarkan sebagai predator iguana, tingkah planga-plongo Dimitri yang mengesalkan, dan bajingan bernama Richard yang patut dibenci atas tindakannya yang picik. Dengan membeberkan informasi seminimal mungkin, keyakinan moralitas tiap individu terasa twisted. Bermotifkan balas dendam yang terasa dominan, dari perubahan drastis wanita lemah dengan celana dalam seksi sekejap berubah menjadi wanita badass, kejam dan anarkis tanpa dipertanyakan lagi. Tentu saja tanpa peduli bahwa Jen adalah pelakor sekalipun, kita ikut mendukung aksi balas dendam yang dilakukannya.


Selain cerita, visualisasi yang dihamparkan Carolie terasa memikat dan berani, film dengan hamparan tanah tandus terasa gritty, dipadu dengan warna pinky. Kemudian ditimpal dengan adegan penuh darah merah meluluh lantah kesetiap saat dan tempat seolah sedang banjir darah, bahkan Carolie mengaku selalu kehabisan darah palsu hanya untuk mengisi adegan berdarah yang tidak tertampung jumlahnya. Meski saya tahu ini bukan film Quentin Tarantino, tapi adegan gore yang ditampilkan Carolie terasa menyakitkan dan berdarah-darah, bahkan memaksa penonton yang sudah terbiasa dengan film serupa harus menahan rasa ngilu dan sakit, apalagi adegan Jen yang tergelepar di atas pohon kering dalam keadaan terbalik tak nyaman, sembari menahan sakit perut tertusuk berjam-jam dialiri darah segar sudah cukup membuat saya lemas. Ditambah lagi, Carolie berhasil membuat sebuah adegan saling berburu yang menegangkan dan intens, meski ada satu adegan dimana saya disuruh menyaksikan adegan berputar-putar di satu tempat, dan juga absurditas tato burung di perut Jen kadang menggelitik pita tawa saya, tapi film ini tetap sangat menegangkan (menghibur).






Sejak dulu saya selalu berangan bisa menuliskan atau setidaknya membuat sebuah film autobiografi kehidupan saya sendiri, hanya saja siapa yang mau mendengar cerita hidup saya yang sangat membosankan dan tidak terlalu penting. Tapi, kadang berbagai film seperti Boyhood, Edge of Seventeen, 20th Century Woman atau Paterson, kesederhanaan dan kekosongan yang kita lewati dalam hidup, jika kita mau melihat diri kita sendiri lewat sudut pandang orang ketiga ternyata hidup ini menyimpan sesuatu yang bermakna dan bernilai tinggi tanpa kita sadari. Itulah kenapa saya bisa begitu jatuh cinta dengan film yang tampil dengan kesederhanaannya sama seperti kisah semi-autobiografi dari debut penyutradaraan Greta Gerwig, Lady Bird yang related dengan kehidupannya sendiri.

Lady Bird atau nama tokoh utama bernama lengkap Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan) sebetulnya remaja SMA 17 tahunan yang serupa dengan gadis belia seusianya, punya banyak impian, struggling dan naif. Mengambil setting lokasi sama dengan tempat lahir Greta, Sacramento, California di tahun 2002, film ini menceritakan sekelumit kisah kehidupan keluarga, sekolah, sosial dan percintaan dari gadis yang bermimpi bisa kuliah di New York dan pergi meninggalkan kota tempat ia dibesarkan.


Sebetulnya kisah Lady Bird sekelibat tampak membosankan, bukan? Apalagi pernah teman saya yang melihat sebentar cuplikan trailer film ini pun jadi enggan menontonnya hanya karena trailernya tampak tak menarik dan terkesan generik. He was very wrong! Justru bagian menariknya adalah sang tokoh utama itu sendiri yang membuatnya menarik, nama "Lady Bird" (dengan tanda kutip) sama seperti tatanan warna rambut merahnya yang unik adalah hasil kreasinya sendiri, bahkan ia bersikeras menolak dipanggil dengan nama aslinya, "I gave it to myself. It’s given to me, by me". Selain itu Lady Bird adalah gadis yang selalu berusaha menjadi pusat perhatian dan mencoba berbeda dari yang lain, tampak dari berbagai kekonyolan yang ia lakukan kadang membuat saya tersenyum simpul.

Lady Bird adalah gadis yang keras kepala, sangat vocal, naif dan selalu berusaha menjadi pusat perhatian orang lain disekitarnya. Interpretasi nama Lady Bird seperti mewakili ciri seekor burung yang bisa terbang tinggi bebas dan berkicau semaunya dimanapun ia berada dengan pesona yang coba ia tebarkan ke dunia. Dalam keluarganya, Lady Bird selalu bertengkar dengan ibunya Marion McPherson (Laurie Metcalf) yang sama-sama keras kepala dan bersikap otoriter terhadap hidupnya, bahkan masalah-masalah sepele hingga adu mulut pun membuat kericuhan kecil seperti kucing dan tikus, meski setelahnya mereka kembali akrab satu sama lain dan pertengkaran sebelumnya pun terlupakan. Berbanding terbalik dengan ibunya, ayahnya Larry McPherson (Tracy Letts) justru bersikap sangat lunak dan pasif meski Larry tetap bisa menjadi figur ayah yang baik dan memberikan support terhadap apa yang anaknya inginkan. Lady Bird pun memiliki kisah cinta, dari pacar pertamanya yang canggung Danny (Lucas Hedges) dan pacar keduanya Kyle (Timothée Chalamet), anak band yang berteman akrab dengan gadis populer dan modis disekolahnya, Jenna (Odeya Rush). Bertemu dengan problematika dari putus cinta dan pengalaman seks pertamanya memberikan dinamika kehidupan Lady Bird seiring pencarian jati dirinya sebagai seorang wanita.


Nama Greta Gerwig tentu saja sangat mengejutkan, Lady Bird sebagai debut penyutradaraannya mampu ditanggapi positif sebagian besar kritikus bahkan sanggup terpilih dalam 5 nominasi Oscar, salah satunya pada kategori tertinggi "Best Motion Picture of the Year", meski disayangkan Greta belum mampu menyabet satupun piala disana. Membawa kisah kehidupannya sendiri melalui film indie bergaya hipster, Lady Bird adalah film yang begitu realistis terutama kehidupan Lady Bird sangat mencerminkan kehidupan sehari-sehari. Selain itu Greta berhasil mendeskripsikan setiap konflik dan tokoh sampingan tidak terbuang sia-sia, semua tokoh mampu dihidupkan dan mengisi kehidupan sang tokoh utama. Naskah yang ditulis sendiri oleh Greta pun diisi dengan dialog-dialog yang tidak membosankan dan padat makna, sebagaimana Greta memang sudah terbiasa menulis naskah film semisal Mistress America dan Frances Ha.

Mendapuk Saoirse Ronan sebagai karakter sentris dan artis senior Laurie Metcalf, keduanya mampu merealisasikan relasi ibu-anak yang terasa natural, powerful, lucu, manis dan emosional, mungkin tidak heran jika keduanya pun bisa meraih nominasi di ajang piala Oscar kemarin. Dan tentu saja sentuhan sinematografi yang terhampar dari tiap sudut take-shot yang menawan dan perfect, meski pengambilan gambarnya hanya melalui sudut rumah, pertokoan, dan sekolah katolik tempat Lady Bird belajar tapi gaya sinematis ini mendukung susunan cerita yang menambah suasana terasa warm dan sweet. Seolah Greta bukan saja ingin menyampaikan semi-otobiografi dirinya, tapi melalui kota kelahirannya Sacramento, Greta ingin mewakilkan rasa rindu dan cinta dirinya oleh ikatan kuat masa lalu di kota yang pernah ia tinggali.






Mengadaptasi sebuah game kedalam film memang bukan perkara gampang. Berulang kali menciptakan film yang sesukses atau setidaknya mendekati keberhasilan versi game-nya nyatanya tidak sebaik yang diharapkan, bahkan gagal meski mencoba berupaya tetap konsisten menyuntikkan berbagai hal ikonik dan otentik dari set piece background cerita, desain karakter, hingga stunning aksi yang hampir menyerupai standard game aslinya, seperti Assassin Creed dan Warcraft. Upaya menjaga orisinalitas agar tetap dapat dinikmati para fans bahkan memperkenalkan kepada non-gamers sekalipun ternyata tetap tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, bahkan untuk big franchise bernama Tomb Raider ini hanya sekedar daur ulang materi dalam game dengan segala cerita dan aksi yang sangat minim dan tidak sebombastis yang dibayangkan.

Karena saya sudah pernah menikmati game Tomb Raider dan Rise of the Tomb Raider hingga tamat. Mungkin lebih afdol jika saya sedikit membandingkan antara versi game (yang juga reboot) dengan versi live action-nya, jadi saya tidak akan mencoba membandingkan dengan versi milik Angelina Jolie, karena diantara versi Alicia Vikander yang berperan sebagai new Lara Croft ini dibangun dengan image yang berbeda. Setelah 17 tahun berselang new Tomb Raider ini memaksa kita mengenal lebih awal Lara Croft yang sungguh masih sangat hijau dan minim pengalaman. Sebagaimana Lara yang kita kenal pun masih bekerja sebagai kurir, bahkan Lara samasekali tidak memiliki kematangan sebagai petualang, sebagaimana hal ini baru ia dapat ketika ia mencoba mencari ayahnya Richard Croft (Dominic West) yang hilang selama 7 Tahun disebuah pulau misterius bernama Yamatai. Sebuah pulau yang menyimpan misteri legenda makam kuno Jepang, sang ratu Himiko yang konon dikenal sebagai cenayang yang memiliki kekuatan sihir yang besar. Dan Lara harus terseret kedalam bahaya tersebut.


Saya sebenarnya tidak begitu peduli dengan berbagai komentar sinis tentang pemilihan Alicia Vikander sebagai Lara. Sedangkan yang lain membandingkannya dengan Angelina Jolie yang memang tampak lebih sensual. Hei! ini bukan film semi-porn yang hanya menjual sensualitas belaka, kenyataannya ini adalah film garapan serius yang menampilkan adegan aksi penuh kekerasan, bukan film yang sedikit-sedikit mencoba mengumbar payudara dan bokong besar, jadi karena saya tidak begitu sentimen dengan fan service yang terlampau sexist, saya sebagai penikmat franchise ini pun menganggap Alicia memiliki cukup eyecandy yang memikat dengan caranya sendiri meski tampil penuh lumpur, luka dan darah disekujur tubuhnya. Ya, menarik tidak selalu tentang fisik bukan?

Sebagaimana franchise besar, dibawah naungan sang pemilik lisensi game, Square Enix dan sutradara Roar Uthaug. Keinginan untuk memberikan pengalaman sinematis intens sebagaimana keseruan dalam game didapat pula dalam LA-nya ternyata tampil begitu corny. Semua maksimalitas di hampir setiap adegan ikonik dan familiar dipastikan diketahui oleh fans (bagi yang pernah memainkan game-nya) hanya sekedar mengenalkan semua itu kepada khalayak awam yang baru mengenal Tomb Raider reboot, tanpa sedikitpun berpengaruh pada apakah semua itu bisa lebih seru dan menegangkan seperti dalam game? Mencoba lebih tegang dari sejak pertemuannya dengan Lu Ren (Daniel Wu) hingga bertemu dengan sindikat organisasi besar yaitu Trinity yang dipimpin oleh psikopat berdarah panas Mathias Vogel (Walton Goggins), potensi untuk meraih ketegangan itu memang terasa namun gagal mengikat hingga akhir, sebagai satu-satunya perempuan yang bertualang atau lebih dari sekedar life survival movie seorang diri ditengah dominasi kaum pria memang terasa menakjubkan melihat Lara seorang yang cerdik, berani dan tangguh. Tapi sayang, melemparkan rantaian adegan stunning action di dalam hutan hingga makam kuno, ternyata hanyalah terapi visual penuh kebetulan dan terlampau dipaksa, dimana nyawa Lara yang tampak berkali-kali seharusnya meregang nyawa tapi bak kucing 9 nyawa hanya karena hal-hal diluar dugaan dirinya terselamatkan begitu saja, seolah hidup berpihak padanya.


Tapi, hal tersebut sebenarnya masih bisa saya maklumi, karena masalah terbesar dari film ini adalah plot yang terlampau sederhana. Dramatisasi hubungan ayah-anak antara Lara dan Richard mungkin cukup emosional mengundang empati, namun karena ini adalah kisah Lara Croft yang terkenal mengandung teka-teki dan kunci arkeologis bak film Indiana Jones atau Treasure Hunter, hampir sepanjang film samasekali tidak menantang penonton ikut tertarik dan penasaran dengan plot yang sungguh predictable selain otot Lara yang justru jauh lebih memikat ketimbang puzzle itu sendiri. Semua pecahan puzzle yang dituntaskan hanya sekedar puzzle biasa tanpa membuat penonton ikut memutar otak, semua puzzle diselesaikan tanpa ada hal menarik didalamnya, seperti anak kecil yang mencoba membuka toples selai dan mengambil isinya tanpa harus bersusah payah membukanya, semua sudah diberi clue dan semua sudah diberi petunjuk, dengan sedikit akal dan otot Lara bisa melakukan semuanya begitu mudah. Cerita Tomb Raider hanya soal petualangan linear yang teramat biasa dan kerap kali terasa membosankan.






Setelah sekian lama blog menganggur dan tidak menonton film, dikarenakan sampai hari ini mencari mood untuk menonton itu susah dan ke-sok sibukan saya di dunia nyata, hingga salah satunya saya terlena mengurus blog lain yang ternyata lumayan berhasil di monetisasi. Lalu, saya kepikiran dengan blog lemonvie yang tampaknya tak kunjung berkembang, bukan masalah soal (ngarep) monetisasi google adsense yang tak kunjung diterima, tapi hanya saja terlalu sayang bahwa blog yang sudah berumur 2 Tahun lebih ini akhirnya jadi terbengkalai karena kemalasan saya menulis. Padahal saya sudah membuang uang demi membuat domain khusus buat blog ini. Jadi, kebetulan karena dari kemarin saya penasaran dengan film-film Indonesia, lalu saya mencoba mencari referensi film Indonesia yang bagus, dan bertemulah saya dengan film berjudul Posesif yang dirilis tanggal 26 Oktober 2017 kemarin.

Seperti tampak dari judul dan poster yang manis dengan warna cerah yang menggambarkan kebahagiaan dua pasang remaja SMA Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino) yang sedang memadu romansa kehidupan cinta mudanya, saya mengira film yang disutradarai oleh Edwin ini bakal bercerita banyak soal romantisme klise murahan bergaya rom-com ala drama FTV. Tapi, diluar ekspetasi Posesif berubah menjadi film dengan taste berbeda, cerdik merangkai naskah yang memiliki limpahan gejolak emosional luar biasa untuk drama coming of age yang minimalis seperti ini, apalagi nuansa sekolah sederhananya membentuk kejenakaan dan kenaifan remaja yang justru disentil melalui penceritaan yang realistis dan berani oleh Edwin.

Lala adalah seorang gadis SMA sekaligus atlet lompat indah, bersama ayah sekaligus pelatihnya (Yayu A.W. Unru), Lala menjadi anak tunggal semata wayang yang menjadi tumpuan harapan keluarganya agar bisa menjadi atlet lompat indah profesional seperti mendiang ibunya yang telah tiada. Suatu hari Lala bertemu dan berkenalan dengan Yudhis, murid pindahan baru yang bersekolah ditempatnya. Karena saling tertarik dan jatuh cinta keduanya pun berpacaran, namun meski begitu hubungan mereka harus mengalami jungkir balik yang menyertai hubungan keluarga hingga masalah berat yang menguji komitmen dan masalah cinta diantara mereka.


Edwin sang sutradara memang bukan sutradara yang boleh dipandang sebelah mata, lewat karya film pendeknya berjudul Kara, Anak Sebatang Pohon yang berhasil menembus ajang Festival Film Cannes 2005 dalam sesi Director's Forthnight. Selain itu film pendek lainnya, Perempoean Yang Dikawini Andjing diputar di berbagai ajang festival internasional dan berhasil meraih berbagai pernghargaan dalam negeri. Jadi, bisa dikatakan Edwin ini memang bukan filmmaker konvensional, setelah Posesif pun akhirnya film karya terbarunya ini mendapatkan berbagai penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia 2017 dalam kategori Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik (Putri Marino) dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik untuk (Yayu Unru).

Maka dari itu Posesif melalui naskah cerita Gina S. Noer (Rudy Habibie, Pinky Promise) terbilang luar biasa yang mampu menekan sisi gelap dari yang namanya berpacaran, alias sisi yang menimbulkan tindak kekerasan dalam love-relationship. Posesif mampu membuat judul terasa kuat dan lekat dalam cita rasa yang berbeda, kuat mengiringi bukan saja lewat hubungan dan masalah antara Yudhis dan Lala, tapi permasalahan yang saling berbenturan satu sama lain antara kehidupan sosial Lala maupun masalah antara keluarga yang juga saling menguatkan definisi soal Posesif itu sendiri, semacam bola billiard yang dipukul saling berbenturan satu sama lain menimbulkan kompleksitas dan keriuhan yang berarti. Menonton Posesif ini ibarat saya seperti merasa was-was saat menonton film "The Gift", yang mampu menimbulkan rasa tidak nyaman, ketakutan dan teror,  tentu saja yang berbeda adalah definisi bahaya itu sendiri datang dari orang yang paling dekat dan paling dicintai.


Edwin pandai meracik narasi, meski menenggelamkan saya ditengah-tengah cumbu, rayu dan gombal disetiap adegan dan dialog yang kadang terselip kelucuan, tapi tidak membuatnya menjadi chessy dan justru membuat chemistry kedua tokoh utamanya semakin kuat. Karena chemistry yang dibangun saya semakin lupa dan akhirnya tersadar, bahwa Edwin sebenarnya sedang membawa saya pada tahap realita kehidupan, tak ayal membangunkan saya dari mimpi-mimpi indah tentang cinta yang sesungguhnya racun dan tentu saja relatively violent, bahwa ia pun mampu membawa luka juga melukai tanpa sadar. Posesif membawa sebuah kisah yang relatable, mengundang pernyataan bahwa cinta itu bisa mendatangkan labilitas emosional dan psikologis. Dan kemudian ikatan kuat itu malah membuatnya semakin menjerat dan merantai. Ada kompleksitas yang hadir, obsesi serta kegilaan membuat perasaan saya menjadi campur aduk menonton film ini.

Tentu saja kekuatan itu mampu ditunjukkan melalui akting para pemeran utama dan pendukungnya, terutama Adipati dan Putri yang tampil memikat. Salah satunya Yudhis yang diperankan Adipati. Tokoh yang sempat membuat saya menyangka hanya sebagai protagonis sentris biasa, namun kemudian ia berubah menjadi antagonis berbahaya, dibalik sikapnya yang penyayang dan pengertian, namun ia over possessive, temperamental, hingga kadang bisa berperilaku kasar dan kejam. Lalu ada Putri Marino yang berperan sebagai Lala yang mampu mensinkronitaskan kehadiran Yudhis, seorang gadis biasa nan luar biasa yang mampu menarik perhatian hati saya, melalui setumpuk masalah kompleks dan penderitaan baik fisik dan psikis, tapi ia adalah wujud dari tough-girl, dari kesetiaan, ketulusan dan pengorbanannya meski dibalik itu pun ia sosok yang naif dan egois. Tapi, tak urung mengimbangi sosok Yudhis yang keduanya punya karakter kuat. Posesif mampu menunjukkan sebuah 'warning' dalam realitas kehidupan remaja atau dewasa sekalipun dalam tindak kekerasan gender dan selipan moral, dengan begitu banyaknya bombardir emosi dan sebuah 'breakthrough' film romantis yang juga tak luput untuk tetap tampil manis ini mampu meletupkan rasa berbeda dari genre romantis sendiri.